Newsletter

Siap-Siap! Sepertinya Bakal Ada "Plot Twist" Bank Sentral

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
18 January 2023 05:57
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Hari ini, pelaku pasar masih mencermati sejumlah isu penting yang menjadi sentimen pasar utama hari ini sebagai harapan bahwa pasar keuangan terus bisa melanjutkan kinerja positifnya di tengah bayang-bayang tekanan ekonomi global hingga isu resesi tahun ini.

CEO Yugen Bertumbuh Sekuritas, William Surya Wijaya memperkirakan perkembangan pergerakan IHSG saat ini terlihat masih memiliki kecenderungan menguat dalam jangka pendek dan telah berhasil menggeser rentang konsolidasi ke arah yang lebih baik, namun momentum koreksi wajar masih dapat terus dimanfaatkan oleh investor baik jangka pendek, menengah maupun panjang, untuk melakukan trading ataupun investasi jangka pendek, hari ini IHSG berpotensi menguat terbatas.

Wall Street yang ditutup menguat pada perdagangan semalam tentunya membuka peluang penguatan IHSG pada hari ini.  Tiga indeks utama Wall Street ditutup di zona hijau pada perdagangan Selasa (17/1/2023) waktu New York.

Di sisi lain pelaku pasar masih mencermati rilis data ekonomi china. Pertumbuhan ekonomi China sepanjang 2022 tercatat 3%, meleset dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,5%.

Pertumbuhan tersebut menjadi salah satu yang terlemah dalam 40 tahun terakhir, di samping 2020 yang hanya naik 2,2% akibat pandemi Covid-19. Adapun, pada 2021, ekonomi China melesat sebesar 8.1%.

Berdasarkan data yang dirilis Biro Statistik Nasional China, Selasa (17/1/2023) pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2022 tercatat sebesar 2,9% secara tahunan (year-on-year/yoy). Pertumbuhan tersebut turun dari realisasi pada kuartal sebelumnya sebesar 3,9% yoy, namun jauh di atas ekspektasi dan konsensus para analis sebesar 1,8% yoy.

Pertumbuhan ekonomi yang melampaui ekspektasi itu terjadi di tengah meningkatnya kasus Covid-19 di Negeri Tirai Bambu sejak akhir tahun lalu. Adapun, pemerintah telah melonggarkan kebijakan pengetatannya Sejak Desember 2022.

Secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq) pertumbuhan ekonomi China tercatat stagnan 0%. Hasil tersebut turun dari kuartal sebelumnya yang tumbuh 3,9% qtq, namun tak seburuk proyeksi sebesar -0,8%.

Data penting ini tentunya patut diperhatikan. Sebab, Siapa yang tidak kenal China, negara yang produk dagangannya ada di mana-mana. Negara dengan 1,4 miliar penduduk ini muncul sebagai kekuatan ekonomi baru mulai tahun 2000-an, tetapi kini memasuki era tergelap dalam beberapa dekade terakhir.

Maklum saja, China bukan hanya pasar ekspor terbesar Indonesia, tetapi juga sebaliknya. Impor dari negara pimpinan Presiden Xi Jinping ini tercatat nyaris 34% dari total impor Indonesia, paling besar dibandingkan negara lainnya. China menjadi mitra strategis Indonesia.

Jika PDB China tak sesuai ekspektasi, maka maka pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya tentunya menghadapi tantangan berat.

Sementara itu, ada banyak data penting yang patut dicermati hari ini diantaranya datang dari Amerika Serikat (AS) akan ada rilis data penjualan retail.

Penjualan ritel AS mengalami penurunan terbesar dalam 11 bulan pada bulan November dan penurunan serupa pada bulan Desember akan menambah indikasi baru-baru ini bahwa kenaikan suku bunga agresif Federal Reserve mendinginkan ekonomi.

Kalender ekonomi juga menampilkan data inflasi harga produsen, penjualan rumah lama dan klaim pengangguran awal bersama dengan laporan regional untuk output manufaktur.

Data akhir pekan lalu yang menunjukkan bahwa harga konsumen AS turun untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua setengah tahun pada bulan Desember menambah harapan bahwa inflasi berada pada tren penurunan berkelanjutan yang dapat memberikan ruang bagi The Fed untuk mengurangi kenaikan suku bunga.

Pelaku pasar uang kini melihat peluang sebesar 91,6% bahwa Fed akan memberi kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin dalam rapat kebijakan berikutnya pada 31 Januari - 1 Februari.

Selain itu, investor akan sangat menunggu kesimpulan dari rapat  kebijakan dua hari BOJ pada hari Rabu di tengah spekulasi bahwa BOJ dapat membuat penyesuaian lanjutan terhadap kebijakan kontrol kurva imbal hasilnya, tahap pertama dari penghentian stimulus besar-besaran.

BOJ mengejutkan pasar bulan lalu dengan memperlebar batas target imbal hasil obligasi 10 tahun, sebuah langkah yang dilihat investor sebagai awal tindakan untuk kenaikan suku bunga di masa depan.

Tanda-tanda tekanan inflasi yang meluas telah memperkuat ekspektasi bahwa BOJ pada akhirnya akan menormalkan kebijakan moneter.

RDG BI Hari Ini Jadi Fokus Utama Pasar

Dari dalam negeri, para pelaku pasar tengah menanti keputusan Bank Indonesia (BI) terkait kebijakan suku bunganya. Kolega BI diketahui akan memulai rapat pada hari ini.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia terbelah antara yang memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan dan yang memperkirakan bank sentral akan menahan suku bunga acuan.

Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, 10 lembaga/institusi memperkirakan bank sentral akan mengerek mengerek BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 menjadi 5,75%.

Sebanyak tiga institusi/lembaga memproyeksi BI akan menahan suku bunga di level 5,50%.

Sebagai catatan, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 200 bps pada periode Agustus-Desember 2022 menjadi 5,50%.  Suku bunga Deposit Facility sebesar 4,75%, dan suku bunga Lending Facility ada di 6,25%.

BI bahkan secara agresif menaikkan suku bunga sebesar 50 bps selama tiga bulan pada September, Oktober, dan November 2022. Kenaikan suku bunga sebesar 200 bps adalah yang paling agresif sejak 2005.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mempekirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuannya pada level 5,50% pada bulan ini sejalan dengan melandainya inflasi umum dan inti.

Sebagai catatan, inflasi umum tercatat 5,51% (year on year/yoy) pada Desember 2022 sementara inflasi inti 3,36% (yoy).

"Selain terkendalinya inflasi, kinerja dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang utama, cenderung terkoreksi sehingga mendorong penguatan rupiah," tutur Josua, kepada CNBC Indonesia.

Bank sentral AS (The Fed) diperkirakan akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya pasca rilis data inflasi yang menunjukkan penurunan.

Pasar kini melihat The Fed akan menaikkan suku bunga masing-masing 25 basis poin pada Februari dan Maret menjadi 4,75% - 5%. Proyeksi tersebut lebih rendah dari sebelumnya di mana pasar melihat puncak suku bunga The Fed di 5% - 5,25%.

Jika selisih suku bunga yang dipertahankan sebesar 125 bp, capital outflow bisa semakin membanjiri pasar obligasi Tanah Air.

(aum/aum)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular