Market Insight
Kurang Laris & Belum Penuhi Modal Inti, Kemana Arah BABP?

Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu bank 'mini' yang sempat digadang-gadang menjadi bank digital dengan pertumbuhan pesat adalah PT Bank MNC International Tbk (BABP) atau yang kini lebih dikenal dengan Motion Bank.
Bank digital milik MNC Group tersebut sempat menikmati fenomena 'hype' digital bank di tahun 2021. Harga saham yang sempat 'nyender' di level gocap alias Rp 50/unit tiba-tiba melesat signifikan di awal Februari 2021 ketika bank milik konglomerat Harry Tanoesoedibjo (HT) ini akan dirombak menjadi bank digital.
Harga saham BABP bahkan sempat melesat tajam sampai 10 kali dalam kurun waktu 6 bulan saja. Puncaknya pada 6 Agustus 2021. Kala itu harga saham BABP ditutup di Rp 589/unit. Namun sayangnya, setelah mencapai puncaknya, harga saham BABP ikut longsor dengan saham-saham bank digital lain.
Jika dibandingkan dengan posisi All Time High (ATH) pada awal Agustus 2021, harga saham BABP pada penutupan akhir tahun lalu sudah tembus cepek atau tergerus lebih dari 80% dari posisi ATH.
Kendati perseroan baru saja melakukan aksi korporasi berupa Penambahan Modal Dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMHMETD) di harga Rp 130/saham, nyatanya kinerja harga sahamnya masih terus longsor.
Pada perdagangan akhir pekan lalu, harga saham BABP ditutup di Rp 92/unit. Sejak awal tahun 2023, harga saham BABP cenderung konsisten berada di bawah cepek atau Rp 100/unit.
Melihat kinerja harga saham yang terus turun tersebut, lantas seperti apa prospek saham BABP untuk ke depan?
Sejatinya digital bank yang harga sahamnya longsor tahun lalu tidak hanya BABP, terdapat berbagai alasan mengapa harga saham bank digital terkoreksi parah setahun terakhir.
Sejauh ini saham bank digital sering diasosiasikan dengan saham-saham teknologi karena growth yang pesat. Kenaikan suku bunga acuan yang agresif oleh bank sentral global terutama The Fed membuat saham-saham teknologi tertekan hebat. Ini tidak hanya terjadi di AS, tetapi juga merambat ke Indonesia.
Kenaikan suku bunga yang agresif dinilai akan berdampak negatif terutama untuk kinerja bank dengan modal yang relatif cekak. Hal ini karena tingkat suku bunga yang tinggi akan menurunkan appetite debitur mengambil pinjaman sehingga volume kredit melambat.
Sementara itu dari sisi deposan, kenaikan tingkat suku bunga akan ditransmisikan oleh bank ke dalam suku bunga simpanan yang lebih tinggi. Hal ini tentu saja menimbulkan konsekuensi yang akan menggerus margin dari bank.
Selain faktor sentimen suku bunga global, ada faktor lain yang menarik untuk dicermati yaitu faktor fundamental masing-masing bank digital.
Selain BABP, terdapat kompetitor bank digital lain yang sudah relatif established seperti Bank Jago (ARTO), Allo Bank (BBHI), Bank Neo Commerce (BNC), Sea Bank dan Blu by BCA.
Hingga September 2022, BABP memang termasuk bank digital yang sudah meraup laba bersih, berbeda dengan BBYB dan Blu by BCA. Namun secara permodalan, BABP merupakan bank dengan modal paling cekak, meski secara aset tergolong relatif in line dengan peers.
![]() Tabel |
Meski secara nominal kredit BABP merupakan yang terbesar kedua setelah Sea Bank, akan tetapi dari sisi kemampuan BABP untuk mencetak pendapatan bunga bersih masih kalah jauh dengan pesaingnya yaitu ARTO, BBYB dan Sea Bank.
Secara kasat mata, pendapatan bunga bersih BABP hanya separo dari ARTO dan BBYB dan bahkan hanya seperlima dari Sea Bank.
![]() Tabel |
Ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Faktor pertama adalah volume dan tingkat suku bunga kredit yang ditetapkan, serta besaran bunga dan komposisi pendanaan dari bank yang tercermin dari Dana Pihak Ketiga (DPK).
Dari sisi pendanaan, BABP masih kalah dengan ARTO dan Sea Bank yang mayoritas DPK-nya didominasi oleh dana murah berupa tabungan dan giro (CASA). Rasio CASA ARTO dan Sea Bank per September 2022 bisa di atas 60% sedangkan BABP di bawah 30%.
Dua faktor di atas erat kaitannya dengan bagaimana bank digital membangun ekosistem. Meskipun MNC Group memiliki ekosistem yang besar. Namun secara angka di laporan keuangan BABP, tampak masih kalah dengan ARTO dengan GOTO dan fintech partnernya, juga kalah agresif dengan BBYB dengan Akulaku serta Sea Bank dengan Shopee.
Padahal ekosistem merupakan kunci utama pertumbuhan dan kinerja yang solid bagi bank digital. Lewat ekosistem lah suatu bank digital bisa menerapkan strategi funding dan lending yang optimal.
Kemampuan dalam mengelola funding dan lending BABP juga masih terbilang underperform. Jika rata-rata marjin bunga bersih (NIM) bank digital bisa mencapai 9%, NIM BABP hanya 5.15% saja.
Ditambah lagi, BABP juga memiliki kelemahan dalam mengelola aset tercermin dari rasio kredit macet (NPL) yang paling tinggi jika dibandingkan dengan bank digital lain. Sementara dari sisi beban biaya BABP tidak terlalu jauh dengan bank digital lain.
![]() Tabel |
Well dari sisi helicopter view, kinerja BABP memang tidak terlalu mencolok jika dibandingkan dengan digital bank yang lain meski sudah mencetak laba dan laba bersihnya tumbuh lebih dari 800% pada 9 bulan tahun lalu.
Soal permodalan memang BABP merupakan yang paling mini dan masih membutuhkan tambahan sekitar Rp 1 triliun untuk memenuhi ketentuan OJK minimal Rp 3 triliun per akhir 2022. Hal ini disiasati dengan menggelar aksi korporasi berupa right issue.
Mengacu pada prospektus, perseroan akan menerbitkan sebanyak-banyaknya 9,4 miliar saham seri B setara dengan 23,08% modal ditempatkan dan disetor di harga Rp 130/unit sehingga potensi pendanaan yang diraup mencapai Rp 1,23 triliun.
Disebutkan PT MNC Kapital Indonesia Tbk (BCAP) selaku Pemegang Saham Utama (PSU) disebut dalam dokumen prospektus akan mengeksekusi sebanyak 2,3 miliar saham setara dengan Rp 300 miliar dan sisa HMETD yang tidak dilaksanakan tidak akan dialihkan ke pihak ketiga.
Dilaksanakan di penghujung tahun lalu, BABP harus bersaing dengan bank kecil lainnya untuk mendapatkan pendanaan dari pasar modal.
Untuk kasus bank-bank mini lain yang juga sudah lolos dari ketentuan minimal Rp 3 triliun, seperti AMAR, BBYB, BACA, BCIC, BMAS dan DNAR, pelaku pasar tampak belum terlalu antusias yang tercermin dari pergerakan harga saham yang masih minim.
Sedangkan untuk BABP, jika mengacu pada keterbukaan informasi yang dirilis oleh perseroan, proses right issue BABP telah selesai. Jumlah HMETD yang tidak dilaksanakan mencapai 7,11 miliar. Artinya total pendanaan yang berhasil dihimpun hanya Rp 301,3 miliar.
Dengan tambahan modal tersebut, Mengacu pada Laporan Keuangan Q3 tetap saja ekuitas BABP hanyalah Rp 2,7 triliun dan tentunya masih kurang dari syarat modal inti Rp 3 triliun. Jika mengacu pada ketentuan OJK bagi bank yang tidak memenuhi ketentuan modal inti Rp 3 triliun pada 2022 terancam untuk turun kasta menjadi BPR (Bank Perkreditan Rakyat).
Bicara valuasi, dengan asumsi tambahan modal Rp 301 miliar, secara konservatif PBV di angka 1 kali buku karena saat ini masih belum mampu memenuhi aturan OJK maka harga wajar BABP berada di kisaran Rp 82/unit atau 10,8% di bawah harga pasar saat ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Sanggahan : Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli atau menjual saham terkait. Keputusan investasi sepenuhnya ada pada diri Anda, dan CNBC Indonesia tidak bertanggungjawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(RCI)[Gambas:Video CNBC]