Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus skandal mega korupsi Asabri-Jiwasraya masih terus bergulir, dengan satu persatu tersangka akhirnya telah divonis oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) RI.
Korupsi tersebut merupakan skandal terbesar yang terjadi di pasar modal RI dan membuat negara sekitar Rp 39,5 Triliun. Dalam keberjalanannya, skandal ini telah menyeret sejumlah nama besar di pasar modal RI yang tidak hanya tenar, tapi juga pernah masuk dalam daftar orang terkaya RI versi Forbes.
Secara spesifik, korupsi Asabri diduga telah merugikan negara hingga Rp 22,7 triliun. Sementara dalam kasus di Jiwasraya kerugian negara ditaksir mencapai Rp 16,8 triliun.
Meskipun merupakan dua kasus yang berbeda, terdapat benang merah dengan temuan pihak berwenang menyebut terdapat sejumlah nama yang sama terseret dalam dua mega skandal tersebut.
Awal Permasalahan
Skandal Jiwasraya (JS) dimulai dari manipulasi laporan keuangan. Proses rekayasa laporan keuangan JS telah dilakukan lebih dari satu dekade lalu, pada 2006 laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban. Oleh karenanya, BPK memberikan opini disclaimer untuk laporan keuangan 2006 dan 2007 karena penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.
Sementara kasus korupsi Asabri terjadi di perusahaan pengelola dana pensiun TNI dan Polri terkait manipulasi investasi dengan melibatkan pihak-pihak yang bukan merupakan manajer investasi dan tidak menggunakan analisis dalam penempatan dananya.
Dalam skandal tersebut komplotan penjahat pasar modal RI menempatkan dana ke saham-saham gorengan, dengan harga yang telah dimanipulasi sehingga bernilai tinggi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kinerja portofolio investasi terlihat baik. Sejumlah saham perusahaan publik yang masuk dalam pusaran manipulasi ini termasuk Sugih Energy (SUGI), IPO saham Bumi Citra Permai (BCIP) dan Sekawan Intipratama (SIAP).
Kemudian saham-saham yang sejatinya non-likuid tersebut dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat ramai berpindah tangan dengan cara melakukan transaksi semu yakni saham dijual dan dibeli oleh pihak yang sama dengan nominee (nama alias) yang berbeda agar tidak terdeteksi oleh regulator.
Akibat aksi goreng menggoreng tersebut, emiten milik komplotan pernah menjadi penghuni LQ45 pada medio 2016 hingga pertengahan 2018. Selama periode itu pula, kinerja kedua saham yang menjadi porto Asabri dan Jiwasraya tersebut sempat cemerlang, karena harga saham yang meroket. Bahkan nama para komplotan ikut masuk daftar orang terkaya RI.
Benny Tjokro
Benny Tjokrosaputro atau yang di pasar modal lebih dikenal sebagai Bentjok merupakan salah satu dalang utama mega korupsi, dengan namanya muncul di dua skandal tersebut.
Atas keterlibatannya di kasus Jiwasraya, Benny Tjokro telah divonis seumur hidup. Sementara untuk kasus Asabri, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Benny Tjokrosaputro hukuman pidana mati.
Pekan lalu, Majelis Hakim menunda pembacaan vonis Bentjok dan jadwalnya dipindah menjadi hari ini, Kamis 12 Januari 2023 pukul 09.00 pagi. Apabila hakim sepakat dengan tuntutan JPU, ini akan menjadi kasus kejahatan pasar modal perdana yang memperoleh vonis mati.
Eks perusahaan tekstil yang berganti bisnis ke bidang properti milik Bentjok, Hanson International (MYRX), merupakan salah satu emiten yang masuk dalam pusaran skandal pasar modal tersebut. Akibat lama di wajan penuh minyak panas, pada 2016 kinerja tahunan saham MYRX mencapai 34% dan pada 2018 sebesar 6%. Ini sebelum 'terjun bebas' 50-an persen pada 2019.
Bentjok yang merupakan cucu dari pendiri Batik Keris tercatat sebagai orang terkaya RI peringkat 43 tahun 2018 versi Majalah Forbes. Kala itu kekayaannya ditaksir mencapai US$ 670 juta.
Bentjok yang sudah mulai main saham sejak umur 19 tahun sebelum terjerat mega skandal ini juga pernah berseteru dengan bank investasi raksasa AS, Goldman Sachs.
Heru Hidayat
Heru Hidayat merupakan pengusaha asal Surakarta, Jawa Tengah dan mengenyam pendidikan formal terakhir di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Solo.
Keterlibatannya di mega skandal ini karena ia merupakan komisaris utama dan pemilik perusahaan energi PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM).
Kala memanipulasi pasar modal, saham TRAM sempat meroket 180-an persen pada 2016 dan melejit 45% pada 2017. Kejayaan tersebut rontok setelah harga saham turun 14% pada 2018 dan anjlok 70% pada 2019.
Sama dengan Bentjok, Forbes mencatat kekayaan Heru sempat mencapai US$ 530 juta, meningkat tajam karena lonjakan harga saham TRAM.
Heru divonis penjara seumur hidup atas keterlibatannya di kasus Jawasraya dan vonis nihil oleh Majelis Hakim di kasus Asabri, meski oleh JPU dituntut hukuman mati.
Rennier Latief
Rennier Abdul Rachman Latief terjerat dalam pusaran mega skandal karena merupakan salah satu orang penting di saham gorengan lainnya yakni Sekawan Intipratama (SIAP).
Sebelumnya Rennier juga sempat ditahan dalam kasus korupsi PT Danareksa Sekuritas, meski diputus lepas oleh Mahkamah Agung.
Rennier merupakan Komisaris Utama SIAP, perusahaan yang melakukan penawaran perdana pada 2008. Pada 2014 SIAP melakukan penawaran umum terbatas I dengan hak memesan efek terlebih dahulu (rights issue) sehingga sejak saat itu Fundamental Resource menguasai 99,74% saham SIAP.
Sosok Rennier Latif merupakan pemilik manfaat terakhir (beneficial owner) dari Fundamental Resources.
Meski sempat beberapa kali disuspensi, Asabri tetap melakukan pembelian saham SIAP melalui PT Evio Sekuritas di pasar negosiasi dengan harga Rp 170 per lembar sampai Rp 415 per lembar. Pembelian saham SIAP pada Desember 2014 dilakukan di harga premium dan setelah itu mengalami penurunan harga signifikan.
Atas keterlibatannya, Rennier dituntut pidana badan selama 8 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 400 juta dengan subsidiair 5 bulan penjara.
Selain itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga menuntut terdakwa membayar uang pengganti sejumlah Rp 254,23 miliar dengan memperhitungkan aset milik terdakwa atau subsidair 4 tahun penjara.
Edward Soeryadjaya dan Betty Halim
Dalam kasus ini, terdapat juga dua terdakwa lainnya yang disidangkan secara terpisah, yaitu Edward Soeryadjaya dan Betty Halim. Sidang terdakwa Edward Soeryadjaya digelar dengan agenda pemeriksaan satu orang ahli dan saksi a de charge. Sementara sidang terdakwa Betty digelar dengan agenda pemeriksaan 3 orang saksi.
Saksi a de charge adalah saksi yang meringankan, diajukan oleh terdakwa dalam rangka melakukan pembelaan atas dakwaan yang ditujukan pada dirinya.
Edward terjerat pusaran kasus ini karena bekerja sama dengan Betty menggoreng saham SUGI yang oleh dikoleksi Asabri dan dialihkan menjadi aset dasar (underlying) portofolio reksa dana miliknya.
Edward merupakan saudara dari taipan RI pemilik sejumlah perusahaan RI ternama seperti Adaro Energy Indonesia (ADRO) dan Saratoga Investama Sedaya (SRTG). Dirinya juga merupakan anak dari pendiri Grup Astra.
Selain di SUGI, Betty ikut aksi goreng saham lewat Bumi Citra Permai (BCIP), perusahaan yang melakukan penawaran perdana pada akhir 2009.
Grup Millennium memiliki saham BCIP sebanyak 61%, dan Komisaris Utama PT BCIP adalah Tahir Ferdian yang merupakan mertua dari Betty Halim sehingga saham BCIP dikendalikan oleh Betty.
Betty bersekongkol dengan pihak lain menawarkan saham BCIP kepada Asabri dengan jaminan apabila mengalami penurunan harga, maka Betty harus membeli kembali saham tersebut atau menggantinya dengan saham yang lebih bagus.
Pembelian perdana saham BCIP oleh Asabri dilakukan pada 2014 dan berlanjut sampai 2017 tanpa adanya penawaran dari emiten BCIP dan tanpa dilakukan analisis atas saham BCIP oleh Divisi Investasi Asabrri. Aksi goreng-menggoreng dilakukan lewat transaksi melalui pasar negosiasi.
Sama dengan yang lain, saham ini dibeli di harga premium dan pada akhirnya ambruk.
Sebelumnya, Edward dan Betty Halim juga pernah tersangkut perkara korupsi pengelolaan dana pensiun PT Pertamina (Persero) senilai Rp 1,4 triliun di PT Sugih Energy Tbk (SUGI).
TIM RISET CNBC INDONESIA