Market Commentary

Duh! 4 Saham Bank Penguasa IHSG Udah Turun Segini

Research - Chandra Dwi, CNBC Indonesia
11 January 2023 12:17
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo) Foto: Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali terkoreksi pada perdagangan sesi I Rabu (11/1/2023).

Per pukul 11:30 WIB, IHSG melemah 0,51% ke posisi 6.588,54. Bahkan selama perdagangan sesi I berlangsung, IHSG sempat terkoreksi nyaris 1%. IHSG pun kembali diperdagangkan di level psikologis 6.500 pada sesi I hari ini.

Saham empat bank raksasa (big four) kembali menjadi pemberat terbesar IHSG pada hari ini dan harganya kembali ambles.

Berikut pergerakan saham bank big four pada perdagangan sesi I hari ini.

EmitenKode SahamIndeks PoinHarga TerakhirPerubahan Harga
Bank MandiriBMRI-9,559.075-2,16%
Bank Central AsiaBBCA-7,178.075-1,22%
Bank Negara IndonesiaBBNI-5,718.425-3,44%
Bank Rakyat IndonesiaBBRI-3,764.400-0,68%

Sumber: Refinitiv & RTI

Dari laggard,saham PT Bank Mandiri Tbk (BBNI) kembali menjadi pemberat indeks yang paling besar yakni hingga mencapai 9,55 indeks poin. Sedangkan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) di posisi kedua yang memberatkan indeks hingga 7,17 indeks poin.

Berikutnya saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang memperberat indeks hingga 5,71 indeks poin dan saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk sebesar 3,76 indeks poin.

Dari pergerakan sahamnya, saham BBNI menjadi yang paling parah koreksinya pada sesi I hari ini, yakni ambruk 3,44% ke posisi harga Rp 8.425/unit. Sedangkan saham BBRI menjadi yang paling rendah koreksinya yakni melemah 0,68% menjadi Rp 4.400/unit.

Saham bank big four kembali merana seiring dengan sikap bank sentral utama yang masih hawkish. Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) telah menyatakan komitmennya untuk memerangi inflasi dan mengharapkan suku bunga yang lebih tinggi tetap berlaku sampai lebih banyak kemajuan dibuat dan bukti kuat telah terekam dalam data ekonomi.

Sebelumnya, Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan dalam pidatonya kemarin bahwa bank sentral berkomitmen kuat untuk menurunkan inflasi, meskipun berpotensi memangkas pertumbuhan ekonomi dan memicu tekanan dari politisi.

"Stabilitas harga adalah bantalan utama bagi ekonomi yang sehat dan memungkinkan masyarakat mendapatkan keuntungan yang tak terhitung dari waktu ke waktu," tutur Powell, dalam pidatonya di Riskbank Conference Selasa kemarin dikutip dari CNBC International.

Powell menambahkan komitmen The Fed untuk memerangi inflasi bisa berdampak buruk ke pertumbuhan ekonomi AS.

"Memulihkan stabilitas harga saat inflasi tinggi membutuhkan upaya yang mungkin tidak populer dalam waktu dekat karena bisa memperlambat ekonomi," imbuhnya.

Tak hanya Powell saja, beberapa pejabat The Fed pun mengharapkan yang sama. Mary Daly, Presiden The Fed San Francisco dan Raphael Bostic, Presiden The Fed Atlanta, dalam komentar pada Senin lalu menyoroti bahwa suku bunga perlu naik di atas 5% dan tetap di sana untuk beberapa waktu. Suku bunga acuan The Fed saat ini berkisar antara 4,25% dan 4,5%.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat The Fed akan menaikkan suku bunga masing-masing 25 basis poin pada Februari dan Maret, sehingga puncaknya menjadi 4,75% - 5%.

Probabilitas kenaikan 25 basis poin pada Februari sebesar 75% dan pada Maret 65,9%.

Di lain sisi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan, meskipun stabilitas sistem keuangan saat ini terjaga baik, namun perlu dicermati risiko di tengah ketidakpastian global yang dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi.

"Beberapa risiko yang perlu diwaspadai perbankan antara lain scarring effect pandemi Covid-19, kenaikan yield surat berharga, potensi depresiasi Rupiah dan penurunan likuiditas," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae dalam keterangan tertulis, Rabu (11/1).

OJK mencatat pada November 2022, kredit perbankan tumbuh 11,16% secara tahunan (year-on-year/yoy) sedangkan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh sebesar 8,78% (yoy).

"Tingkat pertumbuhan kredit dan DPK tersebut telah mencatatkan tingkat pertumbuhan yang melebihi level pra-pandemi Covid-19 dengan indikator risiko perbankan yang terjaga," ucapnya.

Dian juga mengungkapkan, perkembangan perbankan yang positif juga tercermin dari kondisi likuiditas yang ample tercermin dari rasio AL/NCD dan AL/DPK masing-masing sebesar 134,97 persen dan 30,42%.

"Rasio likuiditas tersebut masih jauh di atas threshold, walaupun lebih rendah dari periode tahun lalu karena akselerasi penyaluran kredit dan kebijakan kenaikan rasio Giro Wajib Minimum (GWM)," tuturnya.

Permodalan bank juga tergolong kuat dan diyakini mampu menyerap risiko yang dihadapi dengan CAR sebesar 25,49%. Risiko kredit cenderung menurun tercermin dari rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) baik gross dan neto masing-masing sebesar 2,65% dan 0,75%, sedangkan Loan at Risk sebesar 15,12%.

"Penurunan risiko kredit tersebut antara lain disebabkan membaiknya kualitas kredit yang direstrukturisasi dampak Covid-19," sebutnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Sanggahan: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli atau menjual saham terkait. Keputusan investasi sepenuhnya ada pada diri anda, dan CNBC Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(chd/chd)

[Gambas:Video CNBC]