
Tak Ada Kabar Baik Dari Amerika, China Bikin Gonjang-ganjing!

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup tertekan pada perdagangan Selasa (10/1), setelah sempat mengalami penguatan tipis sehari sebelumnya. Pelemahan ini memperparah kinerja buruk IHSG yang dalam pekan perdana mengawali tahun 2023 dengan performa terburuk di kancah global.
Pada perdagangan kemarin IHSG berakhir di 6622,499 atau terkoreksi 0,98% secara harian. Kemarin, IHSG secara eksklusif diperdagangkan di zona merah, sebelum akhirnya mampu memangkas pelemahan jelang akhir sesi perdagangan.
Emiten perbankan raksasa tercatat menjadi pemberat (laggard) IHSG. Keempat emiten big four yakni Bank Mandiri (BMRI), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), Bank Central Asia (BBCA) dan Bank Negara Indonesia (BBNI) menduduki empat posisi teratas daftar laggard IHSG. Sementara itu emiten penopang IHSG mayoritas berasal dari perusahaan yang bergerak di sektor pertambang, khususnya batu bara.
Kemarin, sektor finansial menjadi yang paling tertekan, sedangkan sektor energi menjadi sektor dengan apresiasi paling besar.
Investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net buy) senilai Rp 515 miliar di seluruh pasar. Lagi-lagi saham yang dilego asing berasal dari sektor perbankan yakni BBCA, BBRI dan BMRI. Sementara itu saham emiten tambang menjadi yang paling banyak dikoleksi asing kemarin. Secara berurutan Adaro Energy Indonesia (ADRO), Aneka Tambang (ANTM), Indo Tambangraya Megah (ITMG) dan Merdeka Copper Gold (MDKA) menjadi saham yang paling diserbu investor asing.
Kemarin, terdapat satu saham baru memulai debut perdagangan di bursa. Produsen minuman beralkohol dari Pulau Dewata, Hatten Bali (WINE), menguat tajam 34,88% dan menyentuh batas auto rejection atas (ARA).
Sementara itu, bursa Asia tercatat ditutup beragam pada perdagangan kemarin, dengan indeks acuan Jepang, Korea dan Taiwan ditutup menguat, sedangkan indeks Shanghai, Hong Kong, Singapura dan India ditutup melemah.
Sebelumnya, sejak awal tahun bursa Asia berada dalam tren penguatan, salah satunya disebabkan oleh kembalinya kepercayaan investor karena China yang kembali membuka ekonominya secara lebih luas. Selain itu data tenaga kerja AS yang menggembirakan ikut meningkatkan antusiasme investor di pasar modal Asia Pasifik.
Dari pasar keuangan lain, Rupiah juga ikut melemah cukup tipis 0,03% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 15.570/US$ pada perdagangan Selasa (10/1/2023). Pelemahan ini terjadi meski pada awal perdagangan rupiah sebenarnya sempat menguat 0,29%.
Investor yang kemarin masih waswas dan menanti wangsit dalam pidato ketua The Fed, Jerome Powell ikut menjadi sentimen negatif dan membuat rupiah masih sulit menguat, meski indeks dolar AS jeblok.
Kemudian, pasar obligasi tampaknya tidak terpengaruh oleh sentimen global yang mana pada perdagangan kemarin harganya menguat, dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) untuk semua tenor tercatat turun.
Pasar saham Amerika Serikat (AS) ditutup naik pada perdagangan Selasa (10/1) waktu New York, dengan investor masih mencerna komentar dari pejabat Federal Reserve yang mengisyaratkan prospek suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama.
Indeks S&P 500 berakhir menguat 0,70%, dengan Dow Jones Industrial Average naik 0,56%. Sementara itu, indeks padat teknologi Nasdaq terapresiasi 1,01%.
Tiga indeks utama Wall Street tersebut sebelumnya ditutup bervariasi pada Senin, karena investor menunggu petunjuk dari data ekonomi terkait trajektori inflasi dan suku bunga.
Ketua Fed Jerome Powell mengatakan dalam pidatonya hari Selasa (10/1) bahwa bank sentral berkomitmen kuat untuk menurunkan inflasi, meskipun berpotensi memangkas pertumbuhan ekonomi dan memicu tekanan dari politisi.
Meski demikian, hari ini investor tampaknya masih optimis akan kondisi ekonomi AS yang membuat reli Wall Street awal tahun masih berlanjut. Investor masih menunggu data ekonomi penting yakni inflasi AS yang akan diumumkan pekan ini. Selain itu sejumlah perusahaan juga akan mengumumkan kinerja keuangan kuartal terakhir tahun lalu mulai akhir pekan ini.
Sejumlah tanda inflasi yang mulai mendingin serta harapan bahwa pejabat bank sentral akan mempertimbangkan kapan harus berhenti menaikkan suku bunga telah meningkatkan kepercayaan diri investor dalam beberapa pekan terakhir. Antusiasme tersebut tetap mengalir meski The Fed telah memberikan peringatan bahwa ketika kenaikan suku bunga berakhir, kebijakan moneter akan tetap dijaga ketat untuk memastikan penurunan inflasi.
Mary Daly, presiden The Fed San Francisco dan Raphael Bostic, presiden The Fed Atlanta, dalam komentar Senin (9/1) menyoroti bahwa suku bunga perlu naik di atas 5% dan tetap di sana untuk beberapa waktu. Suku bunga acuan The Fed saat ini berkisar antara 4,25% dan 4,5%.
Walaupun akhir kenaikan suku bunga yang masih tentatif mulai terlihat, manajer investasi tetap waswas akan kinerja beberapa bulan mendatang karena dampak dari kebijakan moneter yang lebih ketat pada tidak langsung terasa pada pendapatan perusahaan dan pertumbuhan ekonomi perusahaan, melainkan membutuhkan waktu untuk dapat dirasakan.
Investor masih memantau secara cermat angka pembacaan inflasi bulanan yang akan dirilis Kamis (12/1) waktu setempat. Selain itu pengungkapan kinerja kuartal keempat yang akan segera diumumkan juga akan menjadi pendorong penting pergerakan pasar saham.
Musim laporan keuangan Wall Street akan dimulai akhir pekan ini, dengan sejumlah bank-bank besar termasuk Bank of America, JPMorgan Chase dan Citigroup akan merilis laporan keuangan pada hari Jumat.
Harga obligasi pemerintah AS tercatat melemah pada Selasa. Yield obligasi acuan, Treasury 10 tahun, tercatat naik. Lalu indeks ICE Dollar, yang melacak kinerja greenback terhadap sejumlah mata uang utama dunia, juga naik 0,5%.
Pertama investor patut mencerna isi pidato ketua The Fed, Jerome Powell, dalam pertemuan yang digelar oleh bank sentral Swedia. Meski tidak banyak memberikan informasi baru, Powell tetap mempertegas komitmennya untuk memastikan inflasi dapat turun dan dijaga di level rendah. Artinya sepanjang tahun ini, The Fed masih berpotensi menaikkan suku bunga ke tingkat yang lebih tinggi apabila inflasi masih belum mampu dijinakkan.
Dalam pidato tersebut Powell juga menyebut bahwa The Fed tidak akan ikut campur dan menjadi "pembuat kebijakan iklim," dan hanya akan berfokus pada tugas utamanya untuk memastikan ekonomi dapat berjalan lancar.
Kedua adalah terkait pembukaan kembali ekonomi China secara lebih luas, yang pada dasar menjadi berita positif bagi perekonomian RI, mengingat negara pimpinan Xi Jinping ini merupakan mitra dagang utama. Meski demikian, kondisi ini juga dapat menjadi tantangan bagi pasar ekuitas domestik.
Pembukaan ekonomi tersebut dapat memperparah sentimen buruk yakni kaburnya investor asing dari pasar saham dalam negeri. Investor asing bisa saja keluar dari pasar keuangan Indonesia dan masuk ke China untuk membeli aset yang masih dianggap undervalued, atau murah secara valuasi.
Meski dapat menjadi sentimen bagi pasar modal secara luar, jika dilihat secara spesifik terdapat sejumlah sektor yang akan diuntungkan atas pembukaan ekonomi China tersebut, salah satunya yang bergerak di sektor batu bara dan sektor pendukung bisnis lainnya, seperti pelayaran. Pembukaan ekonomi yang lebih luas, berarti akan meningkatkan konsumsi yang pada akhirnya menambah permintaan batu bara yang mana RI menjadi penyuplai utama bagi China.
Kemudian investor juga patut memperhatikan pergerakan harga sejumlah komoditas utama dunia, termasuk yang menjadi unggulan di Indonesia. Sejumlah emiten di sektor energi, pertambangan hingga perkebunan pergerakannya sering kali ditopang oleh naik turunnya harga di pasar global.
Emas menjadi salah satu komoditas yang belakangan rajin menguat, didorong oleh ambruknya indeks dolar. Indeks dolar sendiri mulai mengalami penurunan karena investor berharap The Fed akan segera berhenti menaikkan suku bunga acuannya.
Sementara itu, dua komoditas ekspor unggulan RI yakni batu bara dan CPO masih berada dalam tren penurunan sepanjang tahun ini.
Selain itu, investor juga perlu mewanti-wanti sejumlah data ekonomi penting dari mancanegara yang akan diumumkan pekan ini mulai dari inflasi China dan AS hingga pertumbuhan ekonomi Inggris. Data tersebut dapat menjadi proksi bagi kondisi ekonomi yang lebih luas serta pegangan bagi bank sentral untuk menentukan arah kebijakan moneter.
Data inflasi China periode Desember 2022 akan diumumkan besok pagi dan diperkirakan bakal kembali naik menjadi 2% secara tahunan (year-on-year/yoy). Sementara itu, 12 jam berselang, malamnya giliran AS yang akan mengumumkan data inflasi dengan konsensus pasar memperkirakan angkanya akan melandai menjadi 6,5% secara tahunan (yoy).
Kemudian akhir pekan ini Inggris akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) pada November 2022 yang diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 0,2%. Turunnya PDB Inggris dapat memberikan gambaran ekonomi Eropa yang diperkirakan akan segera masuk ke jurang resesi.
Lalu ada juga pembacaan awal sentimen konsumen AS untuk periode Januari 2022. Indeks sentimen konsumen yang dipublikasikan oleh University of Michigan merupakan salah satu indikator yang paling dapat diandalkan untuk memprediksi terjadinya resesi di AS.
Berikut beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
Data tingkat pengangguran Korea Selatan Desember (06.00)
Laju inflasi Australia November (07.30)
Data penjualan ritel Australia November (07.30)
Hari ini setidaknya terdapat dua agenda korporasi yakni:
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bank BTN (BBTN)
Pencatatan saham IPO Lavender Bina Cendikia (BMBL) beserta waran
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd/fsd) Next Article Powell Buat Pasar Happy, IHSG Bisa Cuan Saat Window Dressing