
Wacana Tarif KRL Untuk Orang 'Kaya', Ini Rantai Masalahnya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir Desember 2022 lalu, masyarakat sempat dihebohkan terkait wacana pembedaan harga tiket Commuter Line (KRL). Harga tiket moda transportasi yang ditumpangi ratusan ribu warga aglomerasi ibu kota per harinya akan dibedakan berdasarkan golongan masyarakat kaya dan miskin.
Jumlah pengguna KRL sempat anjlok akibat pandemi Covid-19. Ini disebabkan karena pembatasan mobilitas masyarakat, termasuk pembatasan pengguna transportasi umum untuk mengurangi risiko penularan virus.
Tahun 2022 ini, pengguna KRL mulai tumbuh. Menurut laporan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), rata-rata jumlah pengguna KRL Commuterline mencapai 538.537 orang per hari sejak awal Januari hingga Agustus 2022.
Jumlah tersebut meningkat dibanding sepanjang tahun 2021, di mana rata-rata volume pengguna KRL Commuterline hanya 350.210 orang per hari.
Seiring dengan pencabutan PPKM, diperkirakan jumlah pengguna KRL akan terus menunjukkan tren peningkatan. Ini memunculkan wacana kebijakan baru dari pemerintah untuk cabut subsidi pengguna KRL bagi masyarakat 'kaya'.
Hal ini diungkapkan langsung oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memastikan, pemerintah tak akan menaikkan tarif KRL saat ini. Namun, pihaknya ingin memberlakukan tarif baru bagi kelompok masyarakat mampu.
Artinya, mereka yang dianggap cukup 'kaya' atau berasal dari golongan ekonomi kelas menengah atas harus membayar tiket lebih mahal. Tujuannya, agar skema subsidi public service obligation (PSO) lebih tepat sasaran dan dinikmati oleh mereka yang betul membutuhkan.
Penumpang dengan kategori mampu akan membayar sesuai dengan harga tiket KRL sesuai keekonomiannya. Ini artinya, tarif KRL untuk penumpang mampu bisa mencapai Rp 10-15 ribu.
Untuk diketahui, tarif penumpang KRL masih disubsidi oleh pemerintah. PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) atau KAI Commuter mencatat, realisasi subsidi tarif pengguna KRL dalam bentuk Public Service Obligation (PSO) pada 2021 mencapai Rp 2,14 triliun.
Wacana Kebijakan yang Menimbulkan Pro Kontra
Wacana kebijakan ini memunculkan pro dan kontra. Lagi-lagi memang kebijakan ini memunculkan narasi "subsidi jadi lebih tepat sasaran". Tapi, apakah tepat jika dilakukan pada KRL? Sebab, mestinya transformasi umum bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Di sisi lain, muncul segudang masalah dan pertanyaan yang mesti dilontarkan pada pemerintah. Jika kebijakan ini jadi diberlakukan, masalah pertama yang menjadi perhatian mendasar adalah data.
Pendataan soal kelas pendapatan dari pemerintah juga kerap tak bisa diandalkan, misalnya terkait penerima bantuan sosial. Sehingga, dalam hal ini bagaimana pemerintah mengukur mereka yang dianggap kaya?
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dalam keterangan resminya pada akhir tahun lalu, menyebut bahwa penumpang kaya yang naik KRL adalah mereka yang berdasi. Namun demikian, yang jelas belum ada kepastian seperti apa kelas sosial ini akan ditentukan.
Bagaimana pemerintah menerapkan studi kelayakan untuk memastikan bahwa harga tiket baru akan sesuai dengan kebutuhan menutup subsidi. Jika kenaikannya tidak seberapa, bisa jadi kebijakan ini tak ada gunanya diterapkan.
Jika kenaikannya terlalu tinggi, ini berlawanan dengan semangat transportasi publik yang bisa dimanfaatkan semua orang. Apalagi di tengah upaya pemerintah dalam transisi energi. Ini justru mendorong orang dengan yang dimaksud 'kaya' bakal lebih memilih menggunakan mobil atau motor pribadi.
Masalahnya, motor dan mobil yang digunakan belum banyak yang bertransformasi ke hybrid maupun listrik. Ini justru akan menambah polusi dan berpotensi menggagalkan upaya pemerintah dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).
Di sisi lain, pembedaan ini sulit diberlakukan mengingat dalam kondisi resesi global sekarang, orang-orang dihadapkan pada ketidakpastian. Bisa saja status ekonomi mereka berubah sewaktu-waktu.
Belum lagi, kebijakan macam ini berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial dan entitlement (merasa berhak) di dalam gerbong, entah dari mereka yang membayar lebih atau yang menerima subsidi, karena merasa transportasi publik ini ditujukan untuk mereka.
Masalah berikutnya, bakal muncul pertanyaan bagaimana pemerintah menetapkan harga bagi mereka yang berasal dari golongan yang dianggap sejahtera. Masalah akan muncul jika gap-nya terlalu tinggi.
Sehingga, menimbulkan pertanyaan akan keseriusan pemerintah untuk mengurai kemacetan dan mendorong penggunaan modal transportasi umum.
Kalau hal ini sudah terjadi, kebijakan pembedaan harga ini bisa jadi kontra produktif. Pengguna KRL beralih ke kendaraan pribadi, maka cita-cita atau keinginan pemerintah untuk mengurangi beban subsidi bisa tak tercapai karena pengguna KRL-nya jadi berkurang.
Kita patut mempertanyakan studi yang dilakukan pemerintah sehingga memutuskan untuk menambal subsidi dengan menaikkan tarif untuk masyarakat 'sejahtera'. Padahal di banyak tempat di dunia seperti di London (Inggris), atau di Long Angles dan Washington D.C (Amerika Serikat) yang justru memberi subsidi besar-besaran demi meningkatkan mobilitas warganya, terutama pensiunan atau penyandang disabilitas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum)