Market Commentary

IHSG Rebound, Tapi Kok 4 Saham 'Penguasanya' Loyo, Kenapa?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
06 January 2023 10:06
Presiden Joko Widodo resmi menutup perdagangan bursa tahun 2017 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (29/12/2017). Perdagangan bursa ditutup menguat pada angka 6,355
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham perbankan berkapitalisasi pasar terbesar (big bank) terpantau masih terkoreksi pada perdagangan sesi I Jumat (6/1/2023), meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil rebound ke zona hijau.

Hingga pukul 09:36 WIB, empat saham 'big bank' terpantau masih terkoreksi berkisar 0,6% hingga 1% lebih.

Berikut pergerakan empat saham big bank pada perdagangan sesi I hari ini.

EmitenKode SahamHarga TerakhirPerubahan Harga
Bank MandiriBMRI9.650-1,78%
Bank Rakyat IndonesiaBBRI4.600-0,86%
Bank Negara IndonesiaBBNI8.925-0,83%
Bank Central AsiaBBCA8.200-0,61%

Sumber: RTI

Saham PT Bank Mandiri Tbk (BBRI) kali ini memimpin koreksi yakni ambruk 1,78% ke posisi Rp 9.650/unit. Sedangkan saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) berada diurutan kedua, yakni merosot 0,86% menjadi Rp 4.600/unit.

Bahkan, keempat saham big bank tersebut juga masih memberatkan IHSG, meski IHSG sudah berhasil menguat.

Melansir data dari Refinitiv, saham BMRI yang menjadi pemberat terbesar IHSG pada pagi hari ini, yakni hingga 4,8 indeks poin. Kemudian disusul BBRI sebesar 3,76 indeks poin

Masih terkoreksinya saham big bank terjadi karena potensi bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) yang masih akan menaikkan suku bunga acuannya, setelah mereka melihat data tenaga kerja di AS yang masih cukup kuat.

Dengan The Fed masih bersikap hawkish, maka bank sentral lainnya termasuk Bank Indonesia (BI) berpotensi juga masih akan bersikap agresif.

Sebelumnya kemarin, data tenaga kerja yang dirilis Automatic Data Processing Inc. (ADP) menunjukkan sektor swasta AS menambah tenaga kerja sebanyak 235.000 orang, jauh di atas estimasi Dow Jones sebesar 153.000 orang. Kenaikan upah juga tercatat cukup tinggi.

Pemerintah AS juga melaporkan klaim tunjangan pengangguran mingguan lebih rendah dari ekspektasi.

Data tersebut cukup mengejutkan mengingat The Fed masih sangat agresif dalam menaikkan suku bunganya.

Sepanjang 2022, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebesar 425 basis poin (bp) menjadi 4,25% - 4,5%, menjadi yang tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Kenaikan tersebut pun juga menjadi yang paling agresif sejak tahun 1980an.

Pada 2023, The Fed berpeluang menaikkan suku bunga dua kali lagi, yakni 50 basis poin pada Februari dan 25 basis poin sebulan berselang hingga menjadi 5% - 5,25%. Hal ini akan menjadi level puncak suku bunga di AS, tersirat dari Fed dot plot yang dirilis Desember lalu.

Ketika suku bunga semakin tinggi, maka masyarakat akan cenderung melakukan saving ketimbang belanja. Kemudian ekspansi dunia usaha juga akan melambat, kemerosotan ekonomi hingga resesi pun menjadi keniscayaan.

Data tenaga kerja AS yang baru sejatinya menjadi sentimen positif. Tetapi saat ini, hal tersebut tidak berlaku karena semakin positif data tenaga kerja di AS, maka The Fed makin enggan untuk mengubah sikap hawkish-nya.

The Fed (dan bank sentral utama lainnya) justru "mengharapkan" pasar tenaga kerja melemah, bahkan jika perlu resesi segera terjadi.

Hal tersebut diperlukan untuk menurunkan inflasi yang sangat tinggi. Ketika pasar tenaga kerja kuat, maka daya beli masyarakat juga masih akan kuat, hal ini tentunya sulit menurunkan inflasi.

Alhasil, suku bunga bisa semakin tinggi dan ditahan lebih lama lagi sampai inflasi menurun. Jika itu terjadi, maka resesi yang akan dialami AS dan negara maju lainnya bisa jadi akan dalam dan panjang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Sanggahan: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli atau menjual saham terkait. Keputusan investasi sepenuhnya ada pada diri anda, dan CNBC Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(chd/chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation