CNBC Indonesia Outlook 2023

Selamatkan Ekonomi, Bank Sentral Bawa Dunia ke Jurang Resesi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 January 2023 08:00
[THUMB] Resesi
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - 2022 baru saja berlalu, menjadi tahun dengan perubahan kebijakan moneter paling mencolok di era milenium. Bank sentral di dunia seakan berlomba menaikkan suku bunga acuannya, dan masih akan berlanjut di tahun ini.

Tujuannya, guna menurunkan inflasi yang sangat tinggi, khususnya di negara maju. 2023 akan menjadi puncaknya, dan menjadi dari periode panjang suku bunga tinggi, higher for longer, seperti kata Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo.

"Higher interest for longer, suku bunga yang tinggi dan akan berlangsung lama," jelas Gubernur BI Perry Warjiyo saat melakukan rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (21/11/2022).

Secara teori suku bunga tinggi akan menurunkan inflasi. Dengan suku bunga tinggi, masyarakat akan cenderung menyimpan uangnya dan mengurangi belanja. Demand pull inflation akan tertahan, bahkan menurun.

Tetapi tentunya ada yang dikorbankan, yakni pertumbuhan ekonomi. Belanja konsumen yang merupakan motor penggerak perekonomian, kemudian dunia usaha tentunya akan mengurangi ekspansi karena tingginya suku bunga kredit.

Alhasil, pertumbuhan ekonomi akan melambat, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa hampir dipastikan akan mengalami resesi tahun ini. Bahkan, perekonomian dunia juga banyak yang memprediksi akan mengalami resesi.

Meski tidak bermaksud, tetapi langkah agresif bank sentral AS (The Fed), bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB), bank sentral Inggris (BoE) dan bank sentral lainnya yang sangat agresif menaikkan suku bunga, seolah sengaja membawa perekonomiannya mengalami resesi.

Semakin cepat resesi, maka penurunan demand akan terakselerasi. Inflasi pun bisa segera diturunkan. Resesi sementara akan lebih baik ketimbang inflasi tinggi yang mendarah daging, kira-kira seperti itulah yang ada di benak para pembuat kebijakan moneter.

Hal ini terlihat dari The Fed Cs yang terus menaikkan suku bunga, meski banyak yang memprediksi resesi akan terjadi.

Sepanjang 2022, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 425 basis poin menjadi 4,25% - 4,5%, menjadi yang tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Kenaikan tersebut juga menjadi yang paling agresif sejak tahun 1980an.

Pada 2023, The Fed berpeluang menaikkan suku bunga dua kali lagi, 50 basis poin pada Februari dan 25 basis poin sebelulan berselang hingga menjadi 5% - 5,25%. Itu kan menjadi level puncak suku bunga di Amerika Serikat, tersirat dari Fed dot plot yang dirilis Desember lalu.

Selain The Fed, ECB dan BoE juga akan terus menaikkan suku bunganya di tahun ini. ECB puncak suku bunga ECB diperkirakan akan mencapai 3,5% pada Juli 2023, dan BoE mencapai 4,25% pada kuartal pertama tahun depan, berdasarkan survei Reuters.

BI juga bertindak agresif di tahun ini, selain menurunkan inflasi langkah tersebut perlu dilakukan guna menjaga stabilitas rupiah yang nilainya merosot akibat perkasa dolar AS merespon kebijakan The Fed.

Sepanjang 2022, BI menaikkan suku bunga sebanyak 5 kali dengan total 200 basis poin. BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) dikerek hingga menjadi 5,5% pada Desember lalu.

Dengan alasan yang sama, Tim Riset CNBC Indonesia memproyeksi BI masih akan mengerek suku bunganya beberapa kali lagi di awal tahun ini hingga menjadi 6,25%.

Langkah ini perlu dilakukan, sebab The Fed dan bank sentral lainnya tidak hanya menaikkan suku bunga, tetapi juga mengurangi nilai neraca (balance sheet) yang dimiliki.

Ketika suku bunga semakin tinggi, maka masyarakat akan cenderung melakukan saving ketimbang belanja. Kemudian ekspansi dunia usaha juga akan melambat, pelambatan ekonomi pun menjadi keniscayaan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Quantitative Tightening dan Kejutan Bank Sentral Jepang

Pengurangan balance sheet artinya quantitative tightening (QT), di mana bank sentral menjual obligasi yang dimiliki, sehingga jumlah uang yang beredar kembali diserap.

Sebelumnya saat pandemi Covid-19, bank sentral menyuntikkan likuiditas ke perekonomian melalui program pembelian obligasi atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE). The Fed misalnya program quantitative easing yang dilakukan menyentuh angka US$ 4,8 triliun. Alhasil neraca The Fed saat ini nyaris mencapai US$ 9 triliun pada Maret 2022 lalu.

Di waktu yang sama, The Fed mengumumkan akan melakukan quantitative tightening senilai US$ 95 miliar per bulan. Pada pertengahan Desember lalu, nilai balance sheet bank sentral pimpinan Jerome Powell ini turun menjadi US$ 8,6 triliun.

QT masih akan terus dilakukan The Fed di tahun ini, dolar AS yang beredar di pasar akan diserap, hal ini tentunya mendongkrak kinerja the greenback.

Tidak hanya The Fed, ECB juga melakukan QT senilai EUR 15 miliar per bulan mulai Maret nanti.

Bank sentral yang disebutkan sebelumnya sudah melakukan pengetatan pada tahun lalu, hanya ada satu yang belum yakni Bank of Japan (BoJ).

Namun, pada 2023 BoJ seperti akan mengikuti arus. Hal ini terindikasi dari perubahan kebijakan yang diambil penghujung tahun lalu. BoJ di bawah pimpinan Haruhiko Kuroda memperlebar kebijakan yield curve control (YCC) menjadi 50 basis poin dari sebelumnya 25 basis poin.

YCC merupakan kebijakan BoJ yang menahan imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun dekat dengan 0%. Ketika yield mulai menjauhi 0% maka BoJ akan melakukan pembelian obligasi.

Pembelian tersebut artinya BoJ menyuntikkan likuiditas ke perekonomian.

Kini dengan YCC diperlebar menjadi 50 basis poin, kebijakan BoJ menjadi lebih fleksibel, likuiditas yang disuntikkan ke perekonomian menjadi lebih kecil.

"Ini di luar perkiraan, kami melihat mereka (BoJ) mulai menguji respon pasar dari exit strategy yang akan diambil," kata Bart Wakabayashi, branch manager di State Street Tokyo, sebagaimana dilansir Reuters Selasa (20/12/2022).


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Akan Baik-Baik Saja?

Sedikit saja perubahan kebijakan yang diambil oleh BoJ membuat nilai tukar yen Jepang langsung melesat melawan dolar AS.

Indeks dolar AS pun menurun, dan bisa menjadi indikasi tren penguatan dolar AS sudah mencapai puncaknya.

Sepanjang 2022 indeks yang mengukur kekuatan dolar ini AS tercatat menguat 7,87%. Tetapi jika melihat posisi akhir Desember lalu di 103,52, jauh mengalami penurunan ketimbang level tertinggi 20 tahun di 114,77 yang dicapai pada 28 September, melansir data Refinitiv.

Indeks dolar AS tercatat merosot hampir 10% pada penutupan 2022 jika dibandingkan dengan level puncak tersebut. Padahal, The Fed sudah menegaskan akan terus menaikkan suku bunga hingga ke atas 5%.

Pergerakan tersebut mengindikasikan pasar sudah price in terhadap langkah The Fed, sehingga indeks dolar AS tak mampu lagi melesat tajam.

Memang dengan suku bunga yang tinggi dan risiko resesi dunia, daya tarik dolar AS tentunya akan tetap tinggi. Tetapi untuk terbang tinggi lagi sepertinya tidak akan terjadi. Kecuali, dunia mengalami resesi yang parah.

Rupiah sendiri sepanjang 2022 tercatat melemah sekitar 8%, dan pada tahun ini berpeluang lebih stabil.

BI tentunya akan kembali menaikkan suku bunga mengikuti The Fed guna menjaga daya tarik aset-aset rupiah. Sejauh ini upaya BI terbilang sukses menarik lagi capital inflow ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) pada November dan Desember 2022 tercatat inflow di pasar obligasi sekunder sekitar Rp 50 triliun. Dengan demikian, outlow yang sebelumnya lebih dari Rp 170 triliun terpangkas menjadi sekitar Rp 128 triliun sepanjang 2022.

Dengan kenaikan suku bunga, selisih imbal hasil (yield) SBN dengan Treasury AS bisa dijaga di atas 3% yang bisa menarik capital inflow. Apalagi, Jika BI sukses mengendalikan inflasi, serta resesi dunia tidak separah perkiraan, tentunya capital inflow bisa semakin deras yang bisa menjaga kinerja rupiah.

Selain itu, jika BI sukses membuat devisa hasil ekspor (DHE) kembali ke dalam negeri dan bertahan lebih lama, peluang rupiah menguat tentunya akan lebih besar. Seperti diketahui DHE selama ini ditempatkan di luar negeri oleh eksportir Indonesia, menyebabkan pasokan valuata asing menjadi tiris dan rupiah tertekan.

Jika dilihat secara teknikal, 15.450/US$, yang akan menjadi kunci pergerakan.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv 

Level tersebut merupakan Fibonacci Retracement 38,2%, yang ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.

Jika rupiah sukses menembus dan bertahan di bawahnya, maka pergerakannya akan lebih stabil bahkan berpeluang menguat tahun ini, meski juga tidak akan besar.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> FX Insight

Seperti disebutkan sebelumnya, nilai tukar yen langsung menguat tajam ketika BoJ sedikit mengubah kebijakannnya. Sepanjang 2022 yen tercatat melemah sekitar 14% melawan dolar AS ke kisaran US$ 131/US$. Namun, posisi tersebut jauh menurun dari level terlemah 22 tahun JPY 151,94 yang dicapai pada 21 Oktober 2022.

Yen akan menjadi mata uang yang menarik pada 2023, sebab BoJ menjadi satu-satunya bank sentral utama dunia yang belum mengetatkan kebijakan moneternya. Ketika itu dilakukan, maka kurs yen tentunya berpeluang menguat tajam.

Rapat kebijakan moneter BoJ bulan ini akan berlangsung pada tanggal 17 -18. Harian Nikkei yang mengutip sumber terkait mengatakan Kuroda dkk akan menaikkan proyeksi inflasi mereka, dan bisa jadi menguatkan ekspektasi BoJ sebentar lagi akan mulai mengetatkan kebijakannya.

Sumber yang dikutip Nikkei tersebut mengatakan BoJ akan menaikkan proyeksi inflasi inti tahun fiskal 2022 menjadi 3% dari sebelumnya 2,9%. Kemudian untuk tahun fiskal 2023 dinaikkan menjadi 1,6% - 2% dan hampir 2% di 2024. Proyeksi tersebut lebih tinggi ketimbang yang diberikan Oktober lalu sebesar 1,6% pada tahun ini dan 2024.

Jika melihat proyeksi tahun fiskal 2022 dan 2023, terjadi penurunan. Langkah yang ditempuh untuk menurunkan inflasi tersebut tentunya pengetatan moneter.

Apalagi, dengan berakhirnya masa jabatan Gubernur Haruhiko Kuroda pada April 2023, tentunya potensi perubahan kebijakan bisa terjadi, dan yen bisa menguat tajam.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap) Next Article Resesi, "Jalan Ninja" Bank Sentral Dunia Selamatkan Negara!

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular