Nasib Sektor Properti di Era Suku Bunga Tinggi & Resesi Dunia

Pertanyaan yang kembali muncul, yakni apakah pemulihan sektor properti akan berlanjut pada 2023?
Tantangan yang berlangsung pada tahun 2022, tampaknya masih akan membayangi. Terutama mengenai potensi resesi global.
Bahkan, Bank Dunia memprediksikan perekonomian global akan menyusut 1,9% poin menjadi 0,5% pada 2023, yang merupakan skenario terburuk. Namun, pemburukan ini tidak berhenti sampai di situ. Pasalnya, pada 2024, lembaga internasional ini melihat ekonomi dunia akan kembali menurun 1% menjadi 2,0%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa hampir semua negara di dunia yang mengalami risiko kemunduran ekonomi. Beberapa negara, dipastikan mengalami resesi ekonomi, di antaranya Amerika Serikat, Eropa, Inggris, dan China.
"Resesi bukannya tidak mungkin terjadi di Amerika Serikat. Pada 2022 dan 2023, Eropa juga kemungkinan terjadi resesi," kata Sri Mulyani, dikutip Senin(4/12/2022).
Namun, International Monetary Fund (IMF) masih memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia masih akan tumbuh 5,3% tahun ini dan 5% pada 2023.
Selain itu, untuk menjaga momentum pertumbuhan, Bank Indonesia juga berencana akan memberikan bantuan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo vahwa akan terus memberikan stimulus alias 'jamu manis' untuk memberikan dorongan kepada sektor industri di Indonesia di tahun depan.
Perry menjelaskan, bank sentral akan terus memberlakukan kebijakan makroprudensial secara longgar. Likuiditas di tanah air juga dipastikan akan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pelaku usaha.
"Untuk kebijakan uang muka 0% kredit properti dan bermotor sudah kami perpanjang hingga 2023," jelas Perry dalam Seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2023 bertajuk 'Mengelola Ketidakpastian Ekonomi di Tahun Politik' yang diselenggarakan oleh Indef, Senin (5/12/2022).
BI pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 4,5% hingga 5,3% pada 2023 dan meningkat menjadi 4,7% hingga 5,5% pada 2024. Angka inflasi pun diprediksi akan kembali melandai pada 2023.
"Inflasi yang saat ini masih 5,4% tahun depan akan kembali ke sasaran 3% plus minus 1% pada 2023. Inflasi inti akan di bawah 4%. Tahun 2024 akan lebih turun lagi ke dalam sasaran 2,5% plus minus 1%," jelas Perry.
Adapun, beberapa tantangan yang patut dicermati oleh para pelaku industri pada tahun ini yakni
Windfall Komoditas Diprediksikan Akan Berakhir
Pada 2022 silam, Indonesia mendapatkan 'durian runtuh' dari lonjakan harga komoditas dunia setelah perang Rusia-Ukraina mencuat pada 24 Februari 2022. Tak tanggung-tanggung, neraca perdagangan RI bahkan membukukan surplus hingga 31 bulan beruntun berkat harga batu bara dan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) melonjak.
Namun, pada 2023 tampaknya windfall tersebut akan terhenti. Harga batu bara dan CPO diprediksikan akan melandai.
Sejumlah lembaga mulai dari Bank Dunia, Fitch Solutions, Perusahaan riset pasar McCloskey, hingga pemerintah Australia kompak memperkirakan harga batu bara akan melandai ke depan.
Serupa, harga CPO diproyeksikan akan diperdagangkan lebih rendah dari rata-rata tahun ini di US$ 850/ton dari US$ 1.175/ton.
Jelang Tahun politik
Pada 2023, Indonesia akan memasuki tahun politik jelang pemilihan presiden di 2024 mendatang.
Ketika tahun politik, konsumen dan para pelaku industri akan cenderung bersikap wait and see sebab adanya pergantian pemimpin akan mempengaruhi arah kebijakan ke depannya. Sehingga para pengusaha dan konsumen biasanya akan memilih untuk menunggu.
Outlook 2023
Meski sektor properti di hadapkan dengan sejumlah tantangan, tapi sektor ini masih mendapatkan sejumlah kelonggaran dan insentif.
BI telah memutuskan untuk tetap melanjutkan kebijakan relaksasi rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) untuk kredit atau pembiayaan property maksimal 100%. Kebijakan tersebut memungkinkan para calon pembeli properti membayar Down Payment/DP 0% ketika menggunakan Kredit Pemilikan Rumah atau apartemen (KPR/KPA).
LTV atau FTV akan berlangsung pada 1 Januari hingga 31 Desember 2023.
Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna juga menegaskan bahwa pemerintah sedang mengembangkan lima usulan KPR Subsisdi yang akan dijalankan pemerintah yakni dengan optimalisasi KPR FLPP, memperluas jangkauan KPR ASN/TNI/Polri, Rent to Own (RTO) untuk MBR Informal, KPR dengan skema Staircasing Shared Ownership (SSO) dan juga pemberian KPR Mikro.
Selain kebijakan dari pemerintah, tentu bantuan dari perbankan juga akan memiliki dampak yang besar terhadap kebangkitan sektor properti.
Apalagi, angka backlog perumahan atau kekurangan perumahan masih tinggi di Indonesia hingga saat ini yakni 12,75 juta orang. Sehingga, peluang di sektor ini masih sangat besar. Meski begitu, para pelaku industri tetap harus waspada sebab tantangan cukup banyak di tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)