Jakarta, CNBC Indonesia - Pasca libur Hari Raya Natal pergerakan harga aset keuangan dalam negeri cukup variatif. Saham mengalami apresiasi, obligasi pemerintah stagnan, tetapi rupiah melemah.
Transaksi di pasar saham tergolong sepi. Nilai transaksi di pasar saham awal pekan ini, Senin (26/12/2022) hanya sebesar Rp 6,4 triliun. Ini menjadi transaksi terendah di sepanjang bulan Desember.
Namun kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu ditutup positif dengan penguatan 0,52% di 6.835,81 kemarin.
IHSG mampu ditutup menguat kendati sepi transaksi dan asing masih net sell. Di pasar reguler, asing jual bersih senilai hampir Rp 205 miliar.
Memang tidak banyak bursa saham Asia yang buka mengingat momentum Natal masih kental sehingga perdagangan pun libur.
Di kawasan Asia Tenggara, hanya bursa Indonesia, Thailand dan Vietnam yang buka. Jika dibandingkan dengan kinerja indeks saham acuan Bursa tersebut, IHSG berhasil menyabet juara I.
Meskipun IHSG menguat, tetapi mayoritas saham justru terkoreksi. Statistik perdagangan mencatat ada 271 saham yang melemah, 231 menguat dan 203 saham stagnan kemarin.
Berbeda dengan pasar saham yang mengalami apresiasi, pasar Surat Berharga Negara (SBN) cenderung stagnan. Imbal hasil (yield) SBN berbagai tenor baik menengah maupun panjang tak banyak berubah.
Untuk yield SBN acuan tenor 10 tahun ditutup turun tipis 1,3 basis poin (bps) menjadi 6,91% kemarin. Sementara yield SBN 5 tahun cenderung stagnan di 6,19% di saat yang sama.
Yield dalam konteks investasi di instrument pendapatan tetap merupakan salah satu indikator penting yang menjadi cerminan seberapa menarik valuasi suatu obligasi.
Kenaikan yield biasanya mencerminkan peningkatan risiko dari suatu instrumen pendapatan tetap. Hubungan yield dan harga suatu obligasi juga berbanding terbalik. Ketika yield naik, berarti harga turun, begitu juga sebaliknya.
Oleh sebab itu, yield yang cenderung stagnan menunjukkan bahwa harga obligasi negara cenderung tak bergerak ke mana-mana.
Nasib apes justru harus dialami oleh nilai tukar rupiah. Di pasar spot, rupiah harus kembali bertekuk lutut di hadapan dolar AS. Nilai tukar rupiah ditutup melemah 0,26% terhadap greenback dan ditutup di Rp 15.630/US$ kemarin.
Tak banyak yang bisa diharapkan dari perdagangan di awal pekan ini karena fokus pelaku pasar masih pada liburan.
Awal pekan ini, bursa saham AS maupun Eropa masih merayakan Natal sehingga perdagangan pun libur. Natal memang menjadi momentum sakral terutama untuk negara-negara Barat.
Setelah libur natal, perdagangan saham di bursa global tinggal menghitung hari sebelum tutup kalender tahun 2022.
Namun apabila berkaca secara historis, kinerja bulanan pasar saham AS memiliki pola yang mirip dengan bursa domestik.
Sejak berdiri hampir 1 abad silam, pergerakan indeks acuan saham AS terutama S&P 500 membentuk satu pola musiman.
Terhitung sejak 1928-2021, atau dalam kurun waktu 94 tahun terakhir, S&P 500 tercatat membukukan kinerja bulanan yang positif sebanyak 69 kali dan melemah 25 kali.
Artinya secara historis, S&P 500 memiliki peluang menguat sebesar 73%. Peluang kinerja bulanan yang positif di Desember merupakan yang paling tinggi jika dibanding bulan lainnya.
Selain di bulan Desember, S&P 500 juga memiliki peluang menguat sebesar 64% di bulan April. Dalam kurun waktu 95 tahun terakhir, return bulanan S&P 500 di bulan April mengalami penguatan sebanyak 61 kali dan melemah 34 kali.
Berbeda dengan dua bulan tadi, kinerja S&P 500 di bulan September lebih sering boncos. Sejak 1928-2022, return bulanan S&P 500 tercatat menguat sebanyak 42 kali dan melemah sebanyak 52 kali atau probabilitas melemahnya lebih tinggi hingga 55%.
Bulan | Up | Down | Up Probability |
Januari | 58 | 37 | 61% |
Februari | 50 | 45 | 53% |
Maret | 58 | 37 | 61% |
April | 61 | 34 | 64% |
Mei | 56 | 39 | 59% |
Juni | 54 | 41 | 57% |
Juli | 57 | 38 | 60% |
Agustus | 55 | 40 | 58% |
September | 42 | 52 | 45% |
Oktober | 56 | 39 | 59% |
November | 58 | 37 | 61% |
Desember | 69 | 25 | 73% |
Sumber : Yardeni Research
Dengan pola musiman yang terbentuk tersebut, masih ada harapan Wall Street bakal mengulang sejarahnya, meski kinerja di masa lampau tak menjamin performa di masa depan.
Mayoritas bursa saham yang masih dalam suasana liburan dan minimnya rilis data saat Hari Raya Natal memang membuat pasar menjadi minim sentimen.
Namun setidaknya di momentum penghujung tahun ini, secercah harapan masih ada karena semua kabar buruk telah berseliweran sepanjang tahun.
Kekhawatiran akan kenaikan suku bunga yang agresif telah dibayar 'kontan' oleh bank sentral AS The Fed. Ke depan Fed pun sudah mensinyalkan kenaikan suku bunga yang lebih lambat.
Sejauh ini komunikasi Fed yang jelas dan sinyal yang diberikan berhasil ditangkap oleh pasar tidak begitu membuat kejutan.
Inflasi yang sudah mulai melambat. Inflasi di AS konsisten mengalami perlambatan pada semester kedua tahun 2022.
Setelah sempat naik 9,1% year on year (yoy) di bulan Juni 2022 dan menjadi laju tertingginya dalam beberapa dekade, laju kenaikan harga barang dan jasa di AS terus melambat.
Terakhir di bulan November 2022, AS dilaporkan mengalami kenaikan inflasi 7,1% yoy dan menjadi laju terlambat sejak Februari 2022.
Kendati inflasi masih sangat tinggi dibandingkan dengan target bank sentral di 2%, akan tetapi perlambatan lajunya cukup membuat lega.
Isu resesi juga sudah terlalu sering digaungkan, sehingga apabila terjadi seharusnya tidak membuat pasar terkejut.
Aset-aset berisiko seperti saham juga sudah mengalami penurunan yang tajam di sepanjang tahun ini yang mencerminkan bahwa pasar sudah memfaktorkan berbagai kemungkinan terburuk yang ada.
Apresiasi IHSG di awal pekan terakhir tahun ini seolah menjadi angin segar. Namun untuk mencapai kinerja bulanan yang positif di Desember, IHSG perlu menguat setidaknya 250 poin atau 3,65% dari sekarang.
Dengan transaksi yang cenderung sepi dan asing yang masih menghindar, rasanya cukup menantang untuk IHSG bisa membukukan kinerja positif kali ini.
Namun masuknya aliran dana asing ke pasar obligasi setidaknya mampu membuat harga SBN tidak terlalu bergerak liar. Hingga akhir tahun kemungkinan IHSG tak akan lari ke-mana-mana begitu juga yield SBN.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen Korea Selatan bulan Desember (04:00 WIB)
- Rilis data Penjualan Ritel Jepang bulan November (06:50 WIB)
- Rilis data Laba Industrial China (YTD) bulan November (08.30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY) | 5,44 % |
Inflasi (November 2022, YoY) | 5,42% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2022) | 5,50% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022) | -3,92% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2022) | 1,2% PDB |
Cadangan Devisa (September 2022) | US$ 134 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA