Jakarta, CNBC Indonesia Isu resesi di awal tahun depan membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melemah pada perdagangan Senin kemarin. Rupiah juga kesulitan menguat, sementara Surat Berharga Negara (SBN) mulai kembali diborong investor asing.
China kembali menjadi sorotan, sudah melakukan pelonggaran kebijakan karantina wilayah, kini malah kembali diprediksi mengalami lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19). Negeri Tiongkok diprediksi bakal mengalami tahun yang sulit, bank sentralnya (People's Bank of China/PBoC) hari ini akan mengumumkan suku bunga menjadi perhatian utama.
Sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, kondisi China bisa memberikan dampak signifikan ke perekonomian global Selain itu, China merupakan teman dekat Indonesia, terutama jika dilihat dari sisi perdagangan.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) pada periode Januari - November nilai ekspor ke China sebesar US$ 57,7 miliar, berkontribusi 22,78% dari total ekspor. China merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia, sehingga kondisi perekonomiannya akan memberikan dampak yang besar.
Apa yang pasar harapkan dari PBoC dan faktor-faktor yang mempengaruhi pasar finansial Indonesia akan dibahas pada halaman 3.
IHSG kemarin tercatat melemah 0,48% ke 6.779,698, masih berada di dekat level terendah sejak Juli lalu. Kemudian rupiah stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) di Rp 15.595/US$.
Dari pasar obligasi, mayoritas mengalami penguatan terlihat dari imbal hasil (yield) yang mengalami penurunan.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika harga naik yield turun. Ketika harga naik, artinya ada aksi beli, dan kemungkinan besar investor asing.
Sejak November lalu investor asing mulai rajin lagi memborong SBN di pasar sekunder. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang bulan ini hingga 16 Desember capital inflow tercatat sebesar Rp 22,9 triliun. Sementara sepanjang November terjadi inflow sebesar Rp 23,7 triliun.
Sehingga total inflow sejak November mencapai Rp 46,6 triliun.
Hal ini tentunya menjadi kabar baik, sebab sejak perang Rusia-Ukraina pecah, investor asing getol menjual SBN. Capital outflow yang masif pun terjadi di pasar SBN, bahkan sempat melewati Rp 170 triliun.
Besarnya capital outflow tersebut menjadi salah satu penyebab sulitnya rupiah menguat melawan dolar AS.
Kini dengan berbaliknya arah angin, rupiah tentunya menjadi lebih stabil dan punya peluang untuk menguat. Total dana asing yang keluar sepanjang tahun ini berkurang menjadi Rp 131,5 triliun.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Merosot 4 Hari Beruntun
Bursa saham AS (Wall Street) melemah 4 hari beruntun pada perdagangan Senin. Artinya, Wall Street tidak pernah menguat sejak bank sentral AS (The Fed) menaikkan lagi suku bunganya.
Indeks Down Jones turun 0,4% ke 32.757,54, S&P 500 merosot 0,9% ke 3.817,66, dan Nasdaq jeblok hingga 1,5% ke 10.546,03
The Fed pada Kamis pelan lalu menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4,25% - 4,5%.
Kenaikan tersebut memang lebih rendah dari sebelumnya yakni 75 basis poin 4 kali berturut-turut, tetapi memproyeksikan suku bunga ke depannya berada di kisaran 5% - 5,25% dan akan dipertahankan hingga 2024.
Artinya, higher for longer. Bank sentral lainnya pun sama, tetap berkomitmen menaikkan suku bunga sampai inflasi menurun.
Alhasil, ancaman dunia resesi tahun depan kian nyata dan semakin dekat.
"Kebijakan moneter secara cepat menjadi restriktif sekarang, The Fed menaikkan suku bunga 400 basis poin dalam tempo 9 bulan. Risiko resesi akan semakin meninggi sekarang setelah Ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan kita harus bersiap untuk kenaikan selanjutnya," kata Ed Moya, strategist pasar senior di Oanda dalam catatannya kepada klien yang dikutip CNBC International.
Powell sebelumnya mengatakan suku bunga akan terus dinaikkan, meski belakangan inflasi sudah mulai menurun.
"Data inflasi yang kita lihat pada Oktober dan November menunjukkan penurunan kenaikan harga secara bulanan. Tetapi masih diperlukan bukti yang substansial agar yakin inflasi berada pada jalur penurunan," kata ketua The Fed, Jerome Powell dalam konferensi pers Kamis pekan lalu.
Pernyataan Powell tersebut mengindikasikan kampanye The Fed menurunkan inflasi masih jauh dari kata selesai, suku bunga meski sudah berada di level tertinggi dalam 15 tahun terakhir akan kembali dinaikkan dan ditahan pada level tinggi dalam waktu yang lama.
"Pada awal pekan (minggu lalu) kita memiliki harapan, melihat rilis data inflasi, kita akan berharap The Fed, dan beberapa bank sentral lainnya di dunia akan menjadi kurang hawkish, kata founder Bokeh Capital, Kim Forrest, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat pekan lalu.
Sebagai catatan, inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) Amerika Serikat sudah mengalami penurunan 5 bulan beruntun, pada November tumbuh 7,1% year-on-year (yoy). Angka itu turun jauh dari puncaknya 9,1% pada Juni lalu yang merupakan level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir.
"Tetapi nyatanya tidak dan mereka dengan tegas memberikan pesan ke investor maupun konsumen jika bank sentral fokus untuk menurunkan inflasi secepatnya. Harapan jika perekonomian akan mengalami soft landing (pelambatan ekonomi yang tidak tajam) menjadi sirna," kata Forrest.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Merosotya Wall Street tentunya menjadi kabar buruk. Sebagai kiblat bursa saham dunia, ketika Wall Street merosot artinya sentimen pelaku pasar tidak bagus dan berisiko menyeret bursa saham lainnya, termasuk IHSG. Rupiah dan SBN pun juga bisa kena dampaknya. Selain itu perhatian kini tertuju ke China yang sedang menghadapi masa 'tergelap' dalam hampir 5 dekade terakhir.
Survei terbaru dari Reuters yang melibatkan 40 ekonom menunjukkan perekonomian China diperkirakan tumbuh 3,2% di 2022, jauh di bawah target pemerintah 5,5%.
Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tersebut menjadi yang terendah sejak 1976.
Oleh karena itu dukungan moneter diperlukan guna memacu perekonomian tahun depan.
"Kebijakan moneter perlu dilonggarkan lebih lanjut untuk menurunkan biaya pinjaman," kata Ming Ming, kepala ekonom di Citic Securities, sebagaimana dilansir Bloomberg, Senin (12/12/2022).
Ia memperkirakan PBoC akan menurunkan loan prime rate (LPR) hari ini atau di awal 2023.
Sementara itu Ken Cheung, strategis valuta asing di Mizuho Bank Ltd, LPR tenor 5 tahun, yang menjadi referensi kredit perumahan mungkin akan diturunkan jika pemerintah China memberikan sinyal perlu dukungan kebijakan untuk sektor properti.
Penurunan suku bunga tersebut bisa menjadi secercah cahaya bagi gelapnya ekonomi China, dan tentunya akan menjadi sentimen positif ke pasar finansial global, termasuk di Indonesia.
Sebelumnya di awal bulan ini, PBoC sudah menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 25 basis poin guna menambah likuiditas ke perekonomian.
Kebijakan tersebut membuat perbankan bisa mengalirkan dana senilai US$ 70 miliar, dan dikatakan memberikan ruang untuk penurunan LPR tenor 5 tahun.
"Penurunan GWM pada Desember menciptakan ruang untuk pemangkasan LPR dalam waktu dekat, khususnya tenor 5 tahun. Kami pikir upaya untuk membantu perekonomain (khususnya pasar perumahan) harus dilakukan secepatnya ketimbang ditunda," kata analis Citi dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters, Senin (19/12/2022).
Analis Citi tersebut memperkirakan LPR tenor 5 tahun yang saat ini sebesar 4,3% akan dipangkas sebesar 10 basis poin. Sementara LPR tenor 1 tahun tetap sebesar 3,65%.
Citi menjadi salah satu analis dari 27 analis yang disurvei Reuters terkait suku bunga PboC. Dari semua analis tersebut, sebanyak 17 orang memprediksi PBoC masih akan mempertahankan LPR di semua tenor.
Sementara itu 8 analis memprediksi LPR tenor 5 tahun akan dipangkas, dan 2 analis melihat pemangkasan di semua tenor.
Selain PBoC, ada bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) yang akan mengumumkan kebijakan moneternya hari ini. Reuters melaporkan BoJ diperkirakan akan merubah target inflasi 2% di tahun depan. Pasar pun melihat BoJ akan mulai mengetatkan kebijakan moneternya. Hal ini bisa menambah derita dunia, apalagi jika bank sentral pimpinan Haruhiko Kuroda tersebut menjadi agresif seperti bank sentral utama lainnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis notula bank sentral Australia (7:30 WIB)
2. Pengumuman loan prime rate China (8:15 WIB)
3. Pengumuman suku bunga bank sentral Jepang (10:00 WIB)
4. Survei penawaran dan permintaan pembiayaan perbankan Indonesia (14:30 WIB)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
Cash deviden distribution: BBCA, SICO
Cash deviden ex date: XAFA, BYAN
Right issue distribution: MTWI, EXCL
Public expose: SMMA, MTSM, ULTJ, JECC
RUPS: DSSA, NOBU, SONA
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2022 YoY) | 5,72% |
Inflasi (November 2022 YoY) | 5,42% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (November 2022) | 5,25% |
Surplus Anggaran (APBN 2022) | 3,92% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (Q3-2022 YoY) | 1,3% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q3-2022 YoY) | US$ 1,3 miliar |
Cadangan Devisa (November 2022) | US$ 134 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA