CNBC Indonesia Research

Deretan Perusahaan Bakal PHK Massal 2023, Ada Tempat Kerjamu?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 December 2022 08:15
Suasana sepi pabrik garmen PT. Fotexco Busana International, Gn. Putri, Bogor, Jawa Barat, Rabu (2/11/2022). (Tangkapan layar CNBC Indonesia TV)
Foto: Suasana sepi pabrik garmen PT. Fotexco Busana International, Gn. Putri, Bogor, Jawa Barat, Rabu (2/11/2022). (Tangkapan layar CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena pemutusan hubungan kerja massal (PHK) mulai menghantui Indonesia. Setidaknya ada dua penyebab utama, pelambatan ekonomi hingga ancaman resesi global, serta suku bunga yang tinggi. Melihat penyebab tersebut, dua sektor yang paling rentan mengalami PHK massal yakni manufaktur dan startup

Hal tersebut juga diungkapkan staf khusus menteri ketenagakerjaan M. Reza Hafiz. 

"Sektor yang paling berdampak itu manufaktur, kedua mungkin di startup tapi sektor teknologi, informasi dan komunikasi yang perusahaannya masih di level startup," ungkapnya dalam Indef School of Political Economy Jurnalisme Ekonomi, Selasa (14/12/2022).

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi yang pertama menderita akibat pelambatan ekonomi global.

Inflasi tinggi di negara-negara tujuan ekspor memicu penurunan dan pembatasan order ke pabrik-pabrik TPT di Tanah Air.

Akibatnya, terjadi penurunan kapasitas produksi. Hingga menyebabkan efisiensi karyawan, dengan merumahkan bahkan PHK.

Perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor berisiko mengalami hal yang sama.

Di tahun depan, tantangannya akan lebih berat. Sebab dunia diramal mengalami resesi. Untuk diketahui, pasar ekspor terbesar Indonesia yakni China dan Amerika Serikat (AS). Ekspor ke Eropa juga cukup besar.

China merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia, nilainya sepanjang Januari - November sebesar US$ 57,75 miliar dan berkontribusi 22,7% dari total ekspor.

Kemudian Amerika Serikat di urutan kedua dengan pangsa pasar 10,3%. Nilainya pada periode yang sama mencapai US$ 26 miliar, dan Uni Eropa nilainya sebesar US$ 21,2 miliar yang berkontribusi 7,7% dari total ekspor.

Jika ketiganya digabungkan, maka total ekspor sekitar 40%. Dengan pelambatan ekonomi hingga resesi yang mungkin terjadi, permintaan ekspor tentunya berisiko menurun.

China kini menghadapi masa 'tergelap' dalam hampir 5 dekade terakhir.

Survei terbaru dari Reuters yang melibatkan 40 ekonom menunjukkan perekonomian China diperkirakan tumbuh 3,2% di 2022, jauh di bawah target pemerintah 5,5%.

Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tersebut menjadi yang terendah sejak 1976.

Sementara itu Eropa diperkirakan akan mengalami resesi di kuartal I-2023, berdasarkan hasil survei terbaru Reuters ke para ekonom. Artinya dalam dua bulan ke depan, Eropa mulai memasuki resesi jika prediksi tersebut benar.

Median hasil survei tersebut menunjukkan kemungkinan resesi terjadi di zona euro sebesar 78%, naik dari survei Oktober lalu sebesar 70%.

Ekonom Bank of America memprediksi Negeri Paman Sam akan mengalami resesi di juga di kuartal I-2023, saat PDB-nya mengalami kontraksi 0,4%.

"Kabar buruknya di 2023, proses pengetatan moneter akan menunjukkan dampaknya ke ekonomi," kata ekonom Bank of America, Savita Subramanian, sebagaimana dilansir Business Insider, akhir November lalu.

Sementara itu investor ternama, Michael Burry, memprediksi Amerika Serikat akan mengalami resesi selama beberapa tahun.

"Strategi apa yang bisa mengeluarkan kita dari resesi? Kekuatan apa yang bisa membawa kita keluar? Tidak ada. Kita akan mengalami resesi bertahun-tahun," kata Burry dalam cuitannya di Twitter, sebagaimana dilansir Business Insider.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> 500.000 Orang Terancam PHK Tahun Depan

Ekspansi sektor manufaktur yang mulai melambat menjadi indikasi peningkatan risiko PHK massal.

S&P Global awal bulan ini melaporkan aktivitas sektor manufaktur yang dilihat dari purchasing managers' index (PMI) mengalami pelambatan ekspansi yang cukup tajam. Pada November, PMI manufaktur dilaporkan sebesar 50,3, turun dari bulan sebelumnya 51.8.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atas 50 adalah ekspansi. Ketika kontraksi terjadi, maka PHK massal berisiko semakin meluas.

S&P Global melaporkan penyebab penurunan tersebut terjadi akibat rendahnya demand, yang menjadi indikasi pelambatan ekonomi global, bahkan menuju resesi di tahun depan.

Akibat rendahnya demand, output juga rendah, dan tingkat perekrutan karyawan mulai melambat. Satu lagi indikasi PHK massal berisiko meluas.

"Keyakinan bisnis secara keseluruhan menurun pada November, menunjukkan sektor manufaktur berisiko mengalami kontraksi kecuali ada peningkatan demand yang signifikan," kata Jingyi Pan, economic associate director di S&P Global Market Intelligence.

Sementara itu Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, kini sudah ada lebih 100 ribu buruh tekstil yang terkena pemangkasan oleh perusahaan. Angka itu, ujarnya, bisa lebih besar lagi jika memperhitungkan tenaga penjahit industri kecil dan skala mikro.

"Kalau kondisi ini tidak segera diantisipasi pemerintah, bisa sampai 500 ribu orang di kuartal pertama tahun 2023 yang kena pengurangan. Tapi pemerintah nggak percaya," kata Redma kepada CNBC Indonesia dikutip Rabu (14/12/2022).

"Sekarang ini sudah ada sekitar 20 perusahaan garmen juga serat yang tutup. Mereka nggak lapor karena nanti akan disuruh bayar pesangon kalau PHK. Ada yang punya karyawan 1.000, disuruh masuk bergantian, ya cuma bersih-bersih pabrik, ngecat," tambahnya.

Pabrik-pabrik itu, ungkapnya, korban anjloknya order di pasar ekspor. Hingga menyebabkan penurunan produksi, dan perlahan harus menghentikan operasional.

"Mereka sambil nunggu angin. Kalau ada sinyal bagus, ada order lagi, jalan lagi. Buruh yang tadinya dirumahkan, kalau belum bekerja, bisa dipanggil lagi. Yang jelas, ada pengurangan karyawan, ada pabrik tutup, berlanjut sampai sekarang," katanya.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Awas PHK di Startup

Gaya bisnis startup yang mengedepankan pertumbuhan dengan arus kas negatif akan mengalami kesulitan. Pada akhirnya, bisnis yang sehat harus punya arus kas yang positif.

Model bisnis startup yang sepenuhnya bergantung kepada dana investor. Modal mereka kemudian dihabiskan untuk segala bentuk promosi dan pemasaran demi menggaet pengguna, yang dikenal dengan "bakar duit".

Bisnis tidak bisa terus-terusan berharap suntikan modal baru terus datang untuk mendanai ekspansi mereka. Subsidi ke konsumen, hanya merupakan cara untuk meningkatkan penguasaan pasar, yang kemudian menjadi fondasi bisnis yang sehat.

Hal sudah terjadi di Indonesia. Berapa startup maupun perusahaan teknologi yang belum bisa membukukan laba melakukan PHK demi mengurangi beban.

Mereka harus melakukan operasionalisasi karena keterbatasan modal, tidak bisa lagi bakar-bakar duit, sumber dana dari investornya sudah hampir habis.
Maklum saja era suku bunga murah sudah berakhir. Bank sentral di berbagai negara menaikkan suku bunga dengan agresif di tahun ini.

Lihat saja bagaimana bank sentral AS (The Fed) yang menaikkan suku bunga dalam tempo 9 bulan menaikkan suku bunganya sebesar 425 basis poin menjadi 4,25% - 4,5%. Dalam waktu singkat, suku bunga kredit yang sebelumnya berada di rekor terendah sepanjang sejarah naik ke level tertinggi dalam 15 tahun terakhir.

Artinya, para investor harus membayar mahal jika mengambil kredit investasi. Pendanaan bagi startup pun seret. Masalahnya di tahun depan situasinya masih sama, bahkan bisa lebih buruk lagi. Kampanye bank sentral menaikkan suku bunga masih belum berakhir guna memerangi inflasi. Suku bunga bisa lebih tinggi lagi, dan resesi hampir bisa dipastikan akan terjadi.

Maka perusahaan startup akhirnya menjaga cash flow supaya tetap sehat. Oleh karena itu, perusahaan memilih melakukan PHK terhadap para karyawan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular