
Penguatan Rupiah Hanya Masalah Waktu atau Cuma Mimpi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Senin (128/11/2022). Padahal, banyak faktor yang mendukung dari dalam dan luar negeri. Hingga pukul 13:00 WIB, rupiah tercatat melemah 0,38% ke Rp 15.730/US$. Sepanjang tahun ini pelemahannya sekitar 9% dan berada di level terlemah dalam lebih dari dua tahun terakhir.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) bulan ini mengumumkan realisasi produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III-2022 tumbuh 5,72% (year on year/yoy). Rilis tersebut sedikit lebih tinggi dari proyeksi pemerintah 5,7%, dan Bank Indonesia (BI) 5,5%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6%.
Bank Indonesia (BI) melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Oktober sebesar 120,3, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 117,2. IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas antara zona optimis dan pesimis. Di atasnya 100 artinya optimis, semakin tinggi tentunya semakin bagus.
Saat konsumen semakin optimistis, maka belanja bisa mengalami peningkatan yang pada akhirnya mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Seperti diketahui, belanja rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, di kuartal III-2022 kontribusinya lebih dari 50%.
Selain itu, inflasi juga mengalami penurunan. BPS melaporkan inflasi Indonesia pada Oktober 2022 mencapai 5,71% (yoy), lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yaitu 5,95%.
Data inflasi November akan dirilis pada Kamis (1/12/2022). Hasil polling Reuters menunjukkan inflasi diperkirakan tumbuh 5,5% (yoy). Artinya, kembali, artinya kenaikan harga-harga di dalam negeri mulai melandai, hal ini bisa berdampak bagus, daya beli masyarakat bisa bertambah kuat dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Dengan outlook perekonomian yang cukup kuat, BI tentunya punya ruang untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut guna mengimbangi bank sentral AS (The Fed). Nilai tukar rupiah bisa terdongkrak.
Apalagi, investor asing mulai masuk ke pasar obligasi lagi.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang bulan ini hingga 21 November, investor asing melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai Rp 16 triliun. Porsi kepemilikan asing pun meningkat menjadi Rp 729,24 triliun.
Tidak hanya di pasar sekunder, lelang obligasi yang dilakukan pemerintah juga kembali diminati investor asing.
Jumlah penawaran dari investor asing pada lelang Surat Utang Negara (SUN), Selasa (23/11/2022) kemarin mencapai Rp 6,4 triliun. Jumlah tersebut naik hampir dua kali lipat dibandingkan lelang sebelumnya yang tercatat Rp 3,62 triliun, dan naik tiga kali lipat dibandingkan pada lelang sebulan sebelumnya yakni 27September 2022 (Rp 1,7 triliun).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Akan Kendurkan Laju Kenaikan Suku Bunga
Dari eksternal, The Fed yang segera mengendurkan laju kenaikan suku bunga sempat membuat rupiah menguat dalam 3 hari beruntun pekan lalu.
Pada Kamis pekan lalu, dalam rilis risalah rapat kebijakan moneter edisi November para pejabat The Fed sepakat untuk segera mengendurkan laju kenaikan suku bunga.
"Mayoritas partisipan menilai pelambatan laju kenaikan suku bunga akan tepat jika segera dilakukan," tulis risalah tersebut, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (24/11/2022).
Bank sentral paling powerful di dunia ini akan kembali mengadakan rapat kebijakan moneter pada pertengahan Desember mendatang. Pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4,25% - 4,5% dengan probabilitas sebesar 73%, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group.
![]() |
Seperti diketahui, The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell sebelumnya sudah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin empat kali beruntun hingga suku bunga saat ini menjadi 3,75% - 4%.
Risalah tersebut juga menunjukkan dengan kenaikan suku bunga yang lebih kecil, para pejabat The Fed bisa mengevaluasi dampak dari kenaikan agresif sebelumnya.
Sebelumnya harapan akan mengendurnya The Fed muncul setelah tingkat pengangguran di Amerika Serikat mengalami kenaikan pada Oktober, sementara inflasi menurun.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan tingkat pengangguran bulan Oktober naik menjadi 3,7% dari bulan sebelumnya 3,5%.
Kemudian inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) dilaporkan tumbuh 7,7% (yoy). Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dari bulan sebelumnya 8,2% (yoy).
Inflasi tersebut sudah mulai menurun sejak Juli lalu, semakin menjauhi rekor tertinggi 40 tahun di 9% yang dicapai pada Juni lalu.
Meski The Fed akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya, bukan berarti tekanan bagi rupiah selesai. Memang tekanan akan sedikit berkurang, tetapi kenaikan suku bunga The Fed seberapa pun itu tetap menjadi penekan rupiah.
Pelaku pasar dalam beberapa hari terakhir sudah memprediksi The Fed akan menaikkan 50 basis poin bulan depan, dan rupiah masih tetap sulit menguat.
Selain itu, yang menjadi fokus utama sebenarnya bukan berapa basis poin kenaikan, tetapi seberapa tinggi suku bunga The Fed di akhir periode pengetatan moneter.
Berdasarkan data FedWatch, pasar melihat suku bunga berada di sekitar 5% pada Maret 2023, yang kemungkinan menjadi akhir kampanye kenaikan.
Artinya, ada tambahan sekitar 125 basis poin dari level saat ini. Artinya, agar rupiah mampu menguat, BI ke depannya juga harus tetap menaikkan suku bunga acuannya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Analisis Teknikal
Secara teknikal, area Rp 15.450/US$ terbukti menjadi support kuat yang menahan penguatan rupiah yang disimbolkan USD/IDR.
Ketika menguat Jumat (11/11/2022) lalu, rupiah hanya mampu menguji saja, dan gagal melewatinya. Setelahnya rupiah berbalik merosot 5 hari beruntun.
Level tersebut merupakan merupakan Fibonacci Retracement 38,2% dan menjadi 'gerbang keterpurukan' bagi rupiah, selama tertahan di atasnya.
Fibonacci Retracement tersebut ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.
![]() Foto: Refinitiv |
Rupiah sebelumnya terus tertekan sejak menembus ke atas rerata pergerakan 50 hari (moving average 50/MA50).
Indikator Stochastic pada grafik harian sudah berada di wilayah jenuh beli (overbought).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Resisten terdekat berada di kisaran Rp 15.700/US$, jika ditembus rupiah berisiko melemah ke Rp 15.750/US$. Penembusan ke atas level tersebut akan membawa rupiah ke Rp 15.800/US$ di pekan ini.
Di sisi lain, support berada di kisaran Rp 15.630/US$ - Rp 15.600/US$. Jika ditembus konsisten, rupiah berpeluang menguat ke Rp 15.520/US$ pekan ini.
Ke depannya, level Rp 15.450/US$ akan menjadi kunci pergerakan. Jika mampu menembus dan bertahan di bawahnya, rupiah berpeluang menguat lebih jauh.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ini Strategi BI Buat Rupiah Perkasa, Soal Pangkas Bunga Nanti Dulu
