Market Insight

Boncos Triliunan, Kapan GOTO-BUKA Cs Bisa 'Happy' Lagi?

Putra, CNBC Indonesia
28 November 2022 06:05
PHK Startup Terjadi Lagi, dari Shopee Hingga Unicorn Xendit!
Foto: Infografis/ PHK Startup Terjadi Lagi, dari Shopee Hingga Unicorn Xendit!/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham teknologi global 'babak belur' sepanjang tahun ini.Iklim makro yang penuh ketidakpastian ikut merembet ke emiten techno dalam negeri. Kapan titik balik akan muncul?

Bermula dari kebijakan suku bunga tinggi ala bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, demi mengendalikan angka inflasi yang terlalu tinggi, pada gilirannya membuat pasar saham terguncang.

Bursa saham AS alias Wall Street rontok sepanjang tahun ini usai menikmati masa indah sepanjang 2021.

Indeks S&P di Wall Street, misalnya, melonjak 26,9 persen selama tahun lalu. Nasdaq, yang banyak berisikan saham teknologi, melesat 21,4 persen dan Dow tumbuh 18,7 persen pada 2021.

Aksi kerek bunga secara agresif oleh The Fed juga diikuti sejumlah bank negara utama lain. Praktis, situasi pasar saham global, terutama di AS dan Eropa, menjadi kurang kondusif.

Berbanding terbalik dengan 2021, S&P turun 16,06 persen dan Dow Jones merosot 6,12 persen sejak awal tahun ini (YtD). Sedangkan, Nasdaq anjlok 29,09 persen selama 2022.

Saham raksasa teknologi AS pun boncos gede-gedean.

Sebut saja, harga saham induk Google (GOOGL) turun tajam hingga minus 32,7 persen, Amazon (AMZN) anjlok 45 persen, Apple Inc (AAPL) terkikis 18,6 persen, dan Microsoft (MSFT) menyusut 26 persen.

Nama lainnya, saham induk Facebook dan Instagram (Meta Platforms Inc) ambles 67 persen YtD.

Kapitalisasi pasar (market cap) Meta, sebelumnya bernama Facebook Inc, sempat menyentuh USD1 triliun setahun lalu. Kini, nilai tersebut terkikis menjadi 'hanya' USD295 miliar.

Tentu, ini situasi yang kurang bagus mengingat sektor tech Negeri Paman Sam menjadi pemimpin pasar selama bertahun-tahun ini.

Apalagi, nama-nama seperti Amazon dan Meta berencana melakukan aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) atau lay-off besar-besaran.

Amazon disebut akan mem-PHK sekitar 10.000 karyawan, sedangkan Meta bakal melakukan PHK terhadap 13 persen dari total staf atau lebih dari 11.000 karyawan.

Tidak hanya di daratan Amerika bagian utara, raksasa teknologi Asia yang baru mekar beberapa tahun terakhir juga ikut tertekan.

Sea, induk e-commerce Shopee dan pemain industri game Garena, contohnya, melakukan PHK terhadap 7.000 karyawan atau sekitar 10 persen dari pekerja perusahaan selama 6 bulan terakhir. Unit Sea di RI, Shopee Indonesia, juga melakukan lay off karyawannya.

Harga saham Sea, yang tercatat di bursa AS, 'terjun bebas' hingga minus 75,68 persen.

Imbas 'gloomy'-nya sektor tech global juga tampak di kinerja saham perusahaan jasa ride-hailing asal Singapura yang tercatat di Nadaq, Grab Holdings Ltd. Harga saham GRAB sudah turun 59 persen sepanjang tahun ini.

Menyoal industri startup dan teknologi Indonesia, suasananya tidak bisa dibilang baik pula.

Sejumlah pemain utama teknologi di era ekonomi internet, dari Ruangguru hingga GoTo Group, juga memangkas sebagian karyawan perusahaan, mengaku demi efisiensi di tengah kondisi ketidakpastian global.

Bottom line yang masih negatif, artinya masih merugi, di tengah beban marketing dan iklan yang tinggi demi memacu pertumbuhan (growth) pendapatan, menjadi masalah besar bagi perusahaan raksasa digital di RI kala suku bunga tinggi dan kekhawatiran di pasar soal prospek ekonomi ke depan.

Dalam kasus Indonesia, sejumlah perusahaan new technology telah sukses melantai (listing) di Bursa Efek Indonesia (BEI), bahkan di tengah situasi pelik sepanjang tahun ini.

Perusahaan e-commerce PT Bukalapak Tbk (BUKA) mengawali parade penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) oleh para pemain utama techno pada Agustus 2021. Raihan dana IPO BUKA mencapai Rp21,9 triliun, terbesar di bursa.

IPO yang pada awalnya disambut antusias pelaku pasar Tanah Air itu berakhir dengan kekecewaan. Ini karena harga saham BUKA malah anjlok 64,7 persen per 25 November 2022 dibandingkan harga IPO.

Loyonya kinerja BUKA di BEI tidak menyurutkan langkah pemain lainnya untuk ikut manggung.

PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), hasil merger perusahaan jasa ride-hailing Gojek dan e-commerce Tokopedia, pun listing di BEI pada 11 April 2022. Nilai IPO yang diraup pun jumbo, sebesar Rp13,7 triliun.

Sejak IPO, kinerja saham GOTO pun turun, sebesar 45,26 persen.

Teranyar, platform e-dagang besutan Grup Djarum, PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) alias Blibli resmi melantai pada 8 November 2022 atau 20 hari lalu. Sejauh ini, kinerja saham BELI tumbuh positif, dengan naik 8,89 persen sejak listing.

Secara kinerja, ketiga emiten di muka berbagi kisah yang sama: rugi yang jumbo.

Untuk BUKA, memang laba bersih mencapai Rp3,62 triliun dalam periode 9 bulan pertama di 2022. Hanya saja, perlu dicatat, penyumbang utama laba bersih tersebut adalah investasi BUKA di PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI).

Apabila, tidak memasukkan komponen laba bersih nilai investasi yang belum dan sudah terealisasi senilai Rp5,13 triliun, BUKA akan menanggung rugi usaha sebesar Rp1,59 triliun.

Tidak berbeda, GOTO juga membukukan rugi bersih Rp 20,9 triliun hingga kuartal III/2022. Rugi ini melonjak 32% dibandingkan dengan rugi kuartal ketiga tahun lalu sebesar Rp 15,8 triliun.

Setali tiga uang, Blibli juga masih membukukan rugi bersih Rp2,48 triliun hingga semester I 2022.

Melihat saham teknologi global sudah bonyok parahsepanjang tahun ini, sejumlah analis mulai melihat ada titik terang. Walaupun, tidak sedikit pula yang masih berpendapat saham tech belum akan pulih.

Kepala strategi investasi di SoFi, Liz Young, misalnya melihat, laba perusahaan tech turun 1 persen dari posisi tahun lalu. Hal tersebut, kata Liz, bisa semakin buruk.

"Menjadi jelas bahwa kita setidaknya dapat melihat kondisi resesi di beberapa sektor, bahkan jika itu tidak merembes ke semua aspek ekonomi. Teknologi adalah salah satu sektor itu," kata Liz, dikutip dari CNN International (14/11/2022).

Riset CIO Strategy Bulletin juga berpendapat, dalam publikasi pada 13 November 2022, 'terlalu dini untuk kembali beralih ke sektor teknologi'.

Riset tersebut menjelaskan, sektor tech tidak akan kebal akan potensi pelemahan ekonomi.

"The Fed kemungkinan akan tetap menjaga tingkat suku bunga tinggai sampai angka pengangguran naik, yang akan menambah tekanan lebih lanjut untuk saham teknologi  pada 6 bulan ke depan," jelas periset di CIO Strategy Bulletin.

Kendati, buletin besutan Citi Global Wealth Investments tersebut, tetap yakin bahwa pesimisme dalam jangka pendek tidak mengubah pandangan bullish mereka tentang pengembangan teknologi utama untuk jangka panjang,

Namun, beberapa analis berpendapat bahwa tech sector akan bangkit kembali pada tahun depan.

"Teknologi bukan monolit [sesuatu yang tunggal]. Kami percaya keamanan siber dan robotika memiliki potensi untuk melawan siklus ekonomi mengingat keamanan siber telah berpindah dari satu niche ke keniscayaan dan robot sangat penting dalam memerangi tantangan rantai pasokan, kekurangan tenaga kerja, dan inflasi, "jelas head of thematics and active equity ETF AS, Jay Jacobs, dikutip dari CNN International (14/11).

Mulai turunnya angka inflasi AS per Oktober, di luar ekspektasi pasar, juga bisa menjadi sedikit kabar baik saat ini.

Ini berarti pelaku pasar mengharapkan perlambatan laju kenaikan suku bunga oleh The Fed. Dus, bisa membuat investor berpikir lagi untuk mengoleksi saham-saham teknologi yang harganya sudah jatuh signifikan tahun ini.

Penulis kolom Buttonwood di majalah The Economist (edisi 10 November 2022) menggemakan kemungkinan itu.

Usai menganggap bahwa penyejajaran value investing (ala Buffett dan gurunya, Ben Graham) dan saham tech bersifat simplisistik, The Economist menyebut, "saham tech [AS] saat ini jauh lebih memiliki value [nilai] dibandingkan saat awal tahun [2022]."

Sedikit lebih bernuansa, kolumnis The New York Times, Jeff Sommer, menyebut bahwa dirinya tetap optimistis terhadap saham teknologi, kendati ia tidak akan berinvestasi di saham tersebut semata demi ingin 'cuan' cepat saat ini.

"Banyak dari perusahaan tech masih mampu membukukan laba yang masuk akal, dan perusahaan lain mungkin akan menghasilkan banyak uang suatu saat nanti, bahkan mungkin Meta," kata Jeff, dikutip dari New York Times (10/11/2022).

Bagaimana dengan raksasa teknologi RI?

Analis CGS-CIMB Sekuritas Ryan Winipta dan Baruna Arkasatyo, dalam riset pada 22 November 2022, menjelaskan, pihaknya tetap merekomendasikan hold saham GOTO dengan target harga Rp204 per saham.

"Kami mempertahankan Hold rating di GoTo dengan target harga sebesar Rp204 per saham, dengan EV/penjualan bersih FY24F [proyeksi untuk tahun penuh 2024] 7,7x," jelas analis CGS-CIMB.

Memang, masih mengutip CGS-CIMB, masih ada beberapa hal penting yang bisa dilihat dari kinerja 9 bulan pertama GoTo.

Pertama, likuiditas GoTo akan mampu mempertahankan operasional selama 8 kuartal, dengan asumsi burn-rate saat ini. Angka tersebut meningkat dari 7 kuartal per kinerja semester I 2022.

Kedua, GoTo juga telah melakukan reklasifikasi beberapa insentifnya ke dalam beban penjualan dan pemasaran. "[Hal] tersebut dapat menghasilkan potensi peningkatan pendapatan bersih sebesar Rp3 triliun per tahun.

Ketiga, rasio enterprise value [EV] per penjualan turun menjadi 17,9 kali dari sebelumnya 24,3 kali, usai reklasifikasi.

Keempat, pengurangan jumlah karyawan dapat menghemat biaya sebesar Rp915 miliar - Rp955 miliar.

Namun, CGS-CIMB Sekuritas tetap mengingatkan, risiko untuk saham GOTO akan datang dari berakhirnya periode lock-up pada 30 November atau Rabu minggu ini.

Sementara, untuk Bukalapak.com, riset BRI Danareksa Sekuritas pada 7 November 2022, tetap merekomendasik beli (buy) saham BUKA dengan harga target (TP) Rp800 per saham.

Danareksa menyoroti keberhasilan BUKA yang mencetak contribution margin (CM) yang positif berkat pertumbuhan TPV dan take rates yang masih di kuartal III 2022.

Untuk BELI, kendati masih baru di bursa, dukungan dari ekosistem Grup Djarum, dengan Bank Central Asia (BBCA) sebagai perusahaan terbesarnya, tentu tidak bisa dianggap remeh.

Singkatnya, jalan terjal masih menanti untuk sektor teknologi.  Tetapi, peluang untuk bangkit juga tetap terbuka.


(trp/trp) Next Article Deretan Saham Bluechips Paling Dihindari Investor Asing Selama 2024

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular