Newsletter

Investor Cermati Efek Suku Bunga BI, IHSG Bisa Happy Weekend?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
18 November 2022 06:10
Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Foto: Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air ditutup bervariasi pada penutupan perdagangan Kamis (17/11/2022), dengan kenaikan suku bunga acuan BI menjadi faktor pendorong utama perdagangan kemarin.

Investor saham tampaknya merespons positif keputusan tersebut, namun masih belum mampu mendorong rupiah keluar dari zona merah yang kembali diperdagangkan melemah. Sementara itu Surat Berharga Negara (SBN) juga kembali dilepas oleh investor.

Indeks bursa saham acuan Tanah Air, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,44% pada perdagangan volatil kemarin dan masih tetap bertengger di level 7.000, tepatnya berakhir di posisi 7.044,985. IHSG secara nyaris eksklusif bergerak di zona merah pada sesi satu, namun melonjak tinggi di sesi kedua.

Penguatan IHSG hari ini berlawanan dengan pergerakan bursa utama Asia lain yang mayoritas berakhir di zona merah. Indeks acuan bursa Shanghai dan Jepang melemah 0,15% dan 0,35%, sedangkan Hang Seng ambruk 1,15%.

IHSG yang cenderung bergerak sideways sepanjang pekan ini tampaknya kembali antusias setelah BI mengumumkan siklus baru pengetatan kebijakan moneter, sehingga IHSG mampu ditutup menguat. Sebelumnya, Investor dan pedagang terlihat waswas dan tidak mampu membawa IHSG naik signifikan, meskipun terdapat sejumlah sentimen positif baik dari data makroekonomi hingga perhelatan KTT G-20

Aktivitas bursa kemarin relatif sepi, dengan nilai transaksi IHSG tercatat hanya senilai Rp 11,83 triliun, melibatkan 21,76 miliar saham dan berpindah tangan 1,20 juta kali. Investor asing kembali melakukan aksi jual bersih (net sell) dalam empat hari beruntun yang kemarin nilainya Rp 179,59 miliar. Artinya sepanjang pekan ini, asing telah melego Rp 3,03 triliun saham RI di pasar reguler.

Selanjutnya dari pasar keuangan lain, mata uang Garuda kembali keok melawan dolar AS untuk hari ketiga beruntun. Kemarin rupiah berakhir melemah 0,38% ke Rp 15.660/US.

Pelemahan ini merupakan yang keempat beruntun yang mana artinya pekan ini rupiah secara eksklusif dilibas oleh dolar AS. kembali gagalnya rupiah menguat sebagian besar didorong oleh faktor eksternal, mengingat kebijakan BI menaikkan suku bunga 50 bps menjadi 5,25% tidak digubris pedagang dan masih belum mampu menjadi vitamin bagi rupiah.

Faktor eksternal utama yang membebani kinerja rupiah adalah kondisi pasar yang masih bertaruh bahwa The Fed akan tetap menaikkan suku bunga secara moderat. Ekonom Senior Chatib Basri dalam wawancara dengan CNBC Indonesia mengungkapkan setidaknya ada tiga faktor yang membuat dolar mampu mebuat rupiah bertekuk lutut, mulai dari kondisi fundamental ekonomi AS yang dinilai bagus, AS berhasil menjadi negara net eksportir energi, hingga langkah The Fed menjinakkan inflasi lewat kebijakan moneter yang lebih ketat.

Terakhir dari pasar obligasi, mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah. Investor tercatat melego SBN yang ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield).

Pasar saham AS ditutup terkoreksi pada perdagangan Kamis (17/11/2022) karena investor mencerna potensi lonjakan suku bunga setelah pejabat The Fed mengisyaratkan kenaikan siklus terbaru untuk memperlambat inflasi masih tidak terkontrol.

Dow Jones Industrial Average tergelincir 8 poin atau turun 0,02%. S&P 500 tergelincir 0,31%, sedangkan indeks padat teknologi Nasdaq turun 0,35%.

Presiden Federal Reserve St Louis James Bullard mengatakan dalam pidatonya Kamis bahwa "tingkat kebijakan belum berada di zona yang dapat dianggap cukup membatasi [tingginya inflasi]."

"Perubahan sikap kebijakan moneter tampaknya hanya memiliki efek terbatas pada inflasi yang diamati, tetapi kondisi pasar menunjukkan penurunan inflasi diperkirakan terjadi pada 2023," tambah Bullard.

Imbal hasil Treasury 2 tahun melonjak menjadi 4,437%, meningkatkan kekhawatiran suku bunga yang lebih tinggi akan mengirim ekonomi ke dalam resesi.

"Saya melihat pasar tenaga kerja yang sangat ketat, saya tidak tahu bagaimana Anda terus menurunkan tingkat inflasi ini tanpa melambat secara nyata, dan mungkin kita bahkan mengalami kontraksi ekonomi untuk mencapainya," kata Presiden Fed Kansas City Esther George kepada Wall Street Journal pada hari Rabu.

Saham yang rentan terhadap resesi dan tingkat suku bunga yang lebih tinggi diperdagangkan terkoreksi. Harga saham material mengalami penurunan, begitu pula saham konsumen.

Pengetatan moneter tambahan dan dampak kumulatif dari kenaikan suku bunga tahun ini menunjukkan risiko resesi tetap tinggi, tulis Mark Haefele, kepala investasi UBS Global Wealth Management, dalam sebuah catatan dilansir CNBC International.

"Kami terus percaya bahwa prasyarat ekonomi makro untuk reli yang berkelanjutan-bahwa penurunan suku bunga dan ujung dari pertumbuhan dan pendapatan perusahaan sudah di depan mata-belum ada."

Hari ini tidak terdapat banyak sentimen yang mampu menjadi pendorong utama pergerakan pasar. Namun investor patut menyimak dan mencerna hasil keputusan BI kemarin beserta implikasinya bagi masing-masing sektor dan tiap emiten secara lebih spesifik.

Kemarin, BI mengumumkan kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis points (bps) menjadi 5,25%.

Keputusan ini merupakan siklus keempat beruntun. Secara kumulatif BI telah menaikkan suku bunga 175 bps dalam empat bulan. Sebelumnya BI telah mengerek suku bunga acuan sebesar 25 bps pada Agustus, 50 bps pada September, dan 50 bps pada Oktober.

Kenaikan 175 bps dalam kurun waktu empat bulan pada 2022 adalah yang paling agresif sejak 2005 atau tahun pertama di mana BI mengenalkan kebijakan moneter sebagai kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF)) pada 1 Juli 2005.

MH Thamrin sebelumnya juga pernah menaikkan suku bunga secara agresif pada 2008, 2013, dan 2018. Namun, suku bunga dinaikkan secara bertahap dan belum pernah dikerek sebanyak 50 bps dalam tiga bulan beruntun.

Kendati demikian, kenaikan suku bunga 'agresif' kemarin nyatanya masih belum mampu menyelamatkan rupiah yang kembali K.O. terus melawan dolar AS dalam empat hari perdagangan beruntun.

Hal ini memperpanjang nasib buruk rupiah, pedagang sebelumnya juga tidak merespons antusias sentimen yang sebenarnya juga positif yakni surplus neraca perdagangan pada Oktober 2022 dengan rekor kini menjadi 30 bulan.

Dalam konferensi pers kemarin, pejabat BI menyebut kelangkaan dolar sebagai kambing hitam lesunya pergerakan rupiah. Saat ini peredaran dolar AS di pasar memang sedang kering karena The Fed secara agresif menaikkan suku bunga acuannya

Akan tetapi, merespons terkaparnya rupiah, BI memastikan akan terus berada di pasar untuk melakukan stabilitas dalam menghadapi berbagai gejolak yang bisa membuat lemah nilai tukar. BI pun dalam beberapa waktu terakhir kerap berada di pasar untuk melakukan intervensi.

Bulan depan bank sentral AS tersebut diproyeksi akan kembali menaikkan 50 bps sehingga Federal Funds Rate berada di rentang 4,25% - 4,50%. Artinya spread keduanya diproyeksikan dengan BI7DDR 5,25% akan semakin menyempit dan memberikan ancaman capital outflow lebih lanjut.

Data BI menunjukkan pada periode 1 Januari-10 November 20222, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 172,11 triliun pada pasar Surat Berharga Negara (SBN) tetapi membukukan net buy sebesar Rp 78,39 triliun di pasar saham.

Sentimen selanjutnya datang dari pasar modal AS yang mana tiga indeks utama Wall Street ditutup melemah pada perdagangan Kamis (16/11) karena investor kembali ditakutkan oleh resesi setelah imbal hasil Treasury 2 tahun melonjak.

Selanjutnya, investor juga perlu mencerna pengungkapan yang dilakukan oleh emiten, mulai dari laporan kinerja keuangan hingga aksi korporasi.

Kemarin, Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut, sampai dengan tanggal 11 November 2022 terdapat 42 Perusahaan Tercatat yang berada pada pipeline right issue. Perkiraan total dana yang akan diperoleh melalui aksi korporasi ini sebesar Rp 39,4 triliun.

Hari ini merupakan cum date rights issue dua bank mini yang berupaya memenuhi kewajiban modal inti minimal yakni Bank Neo Commerce (BBYB) dan Bank Maspion Indonesia (BMAS). Kemarin kedua saham tersebut diperdagangkan hijau, dengan BBYB naik 5,56% dan BMAS melonjak 18,47%.

Berikut beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:

Pidato pejabat The Fed Kashkari (01.45)

Data laju inflasi Jepang Oktober (06.30)

Data penjualan ritel Inggris Oktober (14.00)

Pidato pimpinan bank sentral Eropa (15.30)

Musim laporan keuangan untuk kuartal ketiga telah dimulai akhir bulan lalu dan masih akan terus berlangsung, dengan satu per satu perusahaan mulai melaporkan kinerja keuangan sembilan bulan terakhir.

Selain pelaporan kinerja keuangan, terdapat lima agenda korporasi yakni Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) POOL, PKPK dan MGLV. Kemudian hari ini juga merupakan cum date rights issue Bank Neo Commerce (BBYB) dan Bank Maspion Indonesia (BMAS).

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular