Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan minyak dunia hingga kuartal ketiga ini sedang menikmati 'panen cuan' karena boom oil.
Harga minyak mentah dunia telah menguat 24% sepanjang tahun ini. Bahkan sempat mencatatkan rekor harga di level US$139 per barel pad Maret. Ketika harga minyak mentah naik, harga jual rata-rata para produsen minyak pun turut meningkat. Hal ini yang membuat para perusahaan produsen minyak dunia mencatatkan pertumbuhan laba signifikan.
Delapan perusahaan minyak terbesar di dunia pada periode Januari hingga September 2022 rata-rata labanya naik 190% dibandingkan dengan laba dengan periode yang sama sebelumnya (year-on-year (yoy).
Saudi Aramco
Perusahaan minyak terbesar asal Arab ini berhasil membukukan laba senilai US$130 miliar pada periode Januari hingga September 2022. Pencapaian ini naik 68%yoy.
Laba bersih yang melonjak sejalan dengan pendapatan Aramco yang melonjak 67%yoy menjadi US$419 miliar. Pendapatan terbesar berasal dari kontrak minyak mentah sebesar SAR838 miliar dan kontrak gas alam & gas cair senilai SAR654 miliar. Pendapatan dari kedua segmen tersebut tumbuh masing-masing 84% dan 51% yoy.
ExxonMobil Corp
Sepanjang Januari hingga September 2022 ExxonMobil Corp berhasil mencatatkan pertumbuhan laba signifikan, yakni 203% yoy. Laba yang dibukukan menjadi US$43 miliar.
Laba jumbo yang berhasil diraih oleh ExxonMobil Corp ditopang oleh pendapatan yang juga tumbuh solid sepanjang periode sembilan bulan 2022. Total pendapatan ExxonMobil Corp senilai US$318 miliar, tumbuh 59% yoy.
 Foto: Berbagai sumber dan diolah Laba Perusahaan Minyak Dunia |
Shell
Laba Shell sepanjang periode Januari hingga September 2022 melejit 271% yoy menjadi US$31,9 miliar. Sedangkan pada periode yang sama tahun lalu Shell berhasil membukukan laba sebesar US$8,6 miliar.
Laba yang tumbuh signifikan ditopang oleh pendapatan yang naik 56% yoy menjadi US$280 miliar. Hampir semua pendapatan segmen Shell meningkat. Adapun segmen tersebut adalah penjualan bensin (+138% yoy), marketing (+55% yoy), produk kimia (+34% yoy), dan EBT (+199% yoy). Hanya segmen upstream yang turun 18% yoy.
Chevron Corp
Chevron Corp berhasil meraih laba bersih senilai US$29 miliar sepanjang periode sembilan bulan 2022. Pencapaian tersebut tumbuh 175% yoy.
Pertumbuhan laba Chevron didukung oleh pertumbuhan laba dari bisnis eksplorasi dan pengolahan minyak gas (migas). Laba dari eksplorasi migas Chevron mampu bertumbuh dua kali lipat menjadi US$24,8 miliar. Sementara dari bisnis pengolahan minyak tumbuh tiga kali lipat menjadi US6 miliar.
Laba bersih Chevron pun selaras dengan pendapatan perusahaan yang tumbuh 66% yoy menjadi US$181 miliar sepanjang Januari hingga September 2022.
Petro China Company Limited
Perusahaan minyak asal China, Petro China Company Limited mampu mencatatkan pertumbuhan laba sebesar 60% yoy. Laba yang berhasil diraih pada periode Januari hingga September senilai RMB 120 miliar.
Pendapatan Petro China tercatat RMB2,5 triliun, naik 30,6% dibandingkan dengan pendapatan periode yang sama tahun lalu senilai RMB1,9 triliun.
TotalEnergies
Perusahaan minyak lainnya yang berhasil meraih 'durian runtuh' dari tingginya harga minyak mentah adalah TotalEnergies. Laba yang berhasil diperoleh Total Energies selama sembilan bulan 2022 adalah US$17,3 miliar. Pencapaian tersebut tumbuh 69% yoy.
Penjualan TotalEnergies tumbuh 46% yoy menjadi US$212 miliar menjadi penopang pertumbuhan laba. Penyulingan minyak mentah dan kimia menjadi penyumbang terbesar pendapatan TotalEnergies senilai US$129 miliar. Kemudian segmen eksplorasi tercatat US$50 miliar, tumbuh 79% yoy.
Valero Energy Corporation
Valero Energy Corporation berhasil memperoleh laba setelah tahun lalu rugi. Laba bersih Valero Energy Corporation tercatat US$8,4 miliar pada periode Januari hingga September 2022. Melejit dari pencapaian periode yang sama tahun lalu yang rugi US$79 juta.
Pendapatan yang bertumbuh 72% yoy menjadi pendorong kinerja Valero Energy Corporation untuk mampu membalikkan rugi menjadi keuntungan.
Pendapatan terbesar Valero Energy Corporation berasal dari bisnis penyulingan minyak yang berhasil membukukan US$129 miliar, naik 775 yoy.
Phillips 66
Perusahaan minyak mentah asal Amerika Serikat ini berhasil mencatatkan pertumbuhan laba signifikan. Tidak tanggung-tanggung, labanya terbang 483% yoy menjadi US$7 miliar.
Laba Phillips 66 terbesar dari bisnis penyulingan minyak mentah yang berhasil membukukan laba sebesar US$6 miliar dari sebelumnya rugi US$2,9 miliar pada periode Januari hingga September 2021.
Sementara dari bisnis pengolahan minyak mentah, Phillips 66 mencatatkan laba sebesar US$4,2 miliar sepanjang sembilan bulan 2022. Jumlah ini tumbuh empat kali lipat dari periode yang sama tahun lalu yakni US$1 miliar.
Harga minyak mentah dunia yang perkasa pada 2022 diprediksi akan tumbang pada 2023 seiring dengan perkiraan resesi dunia. Perusahaan-perusahaan minyak dunia akan kena dampak negatif dari penurunan harga minyak yakni pertumbuhan profitabilitas yang melemah.
Saat ekonomi atau bahkan resesi menjangkit ekonomi dunia, permintaan minyak akan susut sehingga harga akan ikut terdepresiasi. Sehingga penjualan dan laba perusahaan minyak dunia berpotensi ikut turun.
Rata-rata harga minyak mentah dunia dengan acuan Brent pada 2022 diperkirakan oleh Bank Dunia senilai US$100 per barel. Angka tersebut kemudian akan turun pada 2023 menjadi US$92 per barel dan kemudian makin melemah
Bank Dunia dalam laporan Outlook Commodity mengatakan faktor penurunan harga minyak mentah dunia datang dari resesi global dan pembatasan mobilitas di China.
"Prospek resesi global dapat menyebabkan konsumsi minyak jauh lebih lemah. Pertumbuhan global telah melambat dan diperkirakan akan melambat lebih lanjut pada tahun 2023, karena pengetatan kebijakan yang sinkron, kondisi keuangan yang memburuk, dan kepercayaan yang menurun," tulis Bank Dunia dalam risetnya.
Secara historis permintaan minyak dunia saat terjadi resesi dunia akan turun. Hal ini terjadi dalam krisis 1973, 1979, 1992, 2007, dan 2019. Permintaan rata-rata akan pulih setelah masuk dua tahun paska krisis.
Sementara itu, China masih berjibaku melawan Covid-19 yang masih menjangkit. Strategi Zero-Covid membuat ekonomi China menjadi tidak pasti. Strategi tersebut membuat peningkatan kasus Covid-19 di suatu wilayah bisa langsung dilakukan karantina atau lockdown.
Dampaknya adalah permintaan minyak yang turun. Padahal China adalah konsumen utama minyak mentah dunia. Menurut data BP Statistic pada 2021 konsumsi China mencapai 15,4 juta barel per hari atau 16,4% konsumsi dunia. Sehingga permintaan dari China dapat mempengaruhi gerak minyak mentah dunia.
Ketatnya pasokan dari pemotongan produksi OPEC+ menjadi penopang harga minyak mentah dunia untuk tidak jatuh lebih dalam pada 2023.
Selain itu, pelepasan Cadangan Minyak Strategis (SPR) Amerika Serikat untuk mendinginkan harga minyak mentah domestik memiliki risiko berkurangnya pasokan minyak mentah dunia. Sebab Amerika Serikat adalah satah satu produsen minyak mentah utama dunia.
 Foto: Bank Dunia Permintaan Minyak Saat Resesi |
TIM RISET CNBC INDONESIA