CNBC Indonesia Research

Turki, Negara yang Aneh Tapi Nyata!

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
04 November 2022 12:00
tayyip erdogan
Foto: Cem Oksuz/Turkish Presidential Palace

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Turki kembali meninggi pada periode Oktober 2022 yakni 85,51% year-on-year (yoy). Angka ini menjadi rekor tertingginya sejak 1997. Hal ini disampaikan dalam pengumuman resmi Kamis (3/11/2022).

Inflasi terus menunjukkan tren kenaikan yang tinggi, kebutuhan konsumen terkait pangan dan energi di Turki terus meningkat. Kendati demikian, Presiden Recep Tayyip Edrogan masih kekeh menjelaskan bahwa ekonomi negara itu masih dalam kondisi baik-baik saja.

Sejak Agustus, Bank Sentral Turki memang sudah mengejutkan pasar dengan memangkas suku bunga utamanya sebesar 100 basis poin. Tingkat suku bunga acuan yang tadinya berada di 14% selama 7 bulan terakhir, kemudian dipangkas menjadi 13%. Ini terjadi di tengah inflasi yang saat itu nyaris menembus 80%.

Saat ini inflasinya sudah sangat tinggi, Edrogan membela kebijakan yang anti mainstream itu untuk memerangi krisis biaya hidup. Saat bank-bank sentral di seluruh dunia menaikkan biaya pinjaman dalam upaya untuk menjinakkan harga konsumen yang melonjak, tetapi Turki telah melawan tren global.

Erdogan menyebut suku bunga yang lebih tinggi sebagai musuh terbesarnya. Bahkan dengan pemilihan umum tahun depan, Erdogan berpendapat bahwa suku bunga tinggi adalah penyebab inflasi, bukan sebaliknya, yang bertentangan dengan teori ekonomi ortodoks.

Bulan lalu, bank sentral Turki memangkas suku bunga acuannya untuk ketiga kalinya berturut-turut. Ini membuatnya turun menjadi 10,5% dari 12%.

Kebijakan yang dimaksudkan untuk memberikan kredit murah dan mendorong ekspor itu pun langsung menekan mata uang lira yang turun.

Komite penetapan kebijakan bank sentral mengatakan perlu bertindak karena indikator utama menunjukkan hilangnya momentum ekonomi pada kuartal ketiga. Padahal pelonggaran kebijakan itu memicu krisis mata uang pada bulan Desember yang menyebabkan inflasi melonjak.

Pemotongan suku bunga yang telah lama didesak oleh Erdogan itu juga telah menyebabkan suku bunga riil di teritori negatif dan telah mempercepat krisis biaya hidup untuk rumah tangga Turki.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berlawanan Arah Dengan Negara-Negara Di Dunia

Zona Eropa

Seperti bank sentral lainnya, Bank Sentral Eropa (ECB) melawan inflasi dengan serangkaian kenaikan suku bunga guna mengurangi permintaan dengan membuat kredit lebih mahal untuk rumah tangga dan bisnis.

ECB sudah menaikkan suku bunganya pada Kamis pekan lalu (27/10/2022). Keputusan ini diambil meski ada kekhawatiran zona euro tengah meluncur menuju jurang resesi.

Dewan pemerintahan ECB yang beranggotakan 25 orang memilih kenaikan lain sebesar 75 basis poin, membuat tiga suku bunga utamanya berada di kisaran antara 1,5 dan 2,25%.

Kenaikan itu diperkirakan akan berlanjut karena institusi Frankfurt menghadapi tekanan untuk mengendalikan rekor tertinggi inflasi yang utamanya didorong oleh lonjakan biaya energi setelah perang Rusia di Ukraina.

Namun biaya pinjaman yang lebih tinggi juga mengurangi aktivitas ekonomi, menjadi tanda-tanda baru bahwa prospek zona euro telah memburuk. Dalam tekadnya untuk menurunkan tekanan harga, ECB disebut ekonom telah menutup mata terhadap risiko resesi.

Kebijakan ini bagi negaranya dinilai penting diambil karena inflasi zona Euro sudah mencapai 10,7% pada Oktober, lebih dari lima kali lipat dari target 2% ECB.


Amerika Serikat

Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) juga sudah kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin menjadi 3,75%-4% pada Rabu (2/11/2022) malam waktu setempat.

Ini menandai kenaikan suku bunga keenam berturut-turut dan kenaikan 0,75% keempat berturut-turut, mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi baru sejak 2008. Keputusan itu sejalan dengan ekspektasi pasar.


Adapun, agresifnya The Fed dalam menaikkan suku bunga bertujuan untuk mengendalikan inflasi ke target 2%, yang hingga September 2022 tetap tinggi sebesar 8,2% secara tahunan atau masih berada di kisaran level tertinggi dalam 40 tahun.

Geng Powell juga mengatakan bahwa kenaikan berkelanjutan dalam kisaran target akan sesuai dan mereka akan memperhitungkan pengetatan kumulatif kebijakan moneter, kelambatan yang mempengaruhi kebijakan moneter terhadap aktivitas ekonomi dan inflasi, dan perkembangan ekonomi dan keuangan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap) Next Article Kalau Edrogan Lengser, Kabar Baik atau Buruk Bagi Turki?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular