Kabar Baik Tiba! "Hantu" Resesi Beneran Pergi dari Amerika?
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Amerika Serikat (AS) belakangan memang di proyeksi bakal resesi. Diketahui bahwa negeri Paman Sam ini sudah tertekan pasca perang Rusia-Ukraina meletus. Lalu benarkah itu hanya ramalan belaka? Padahal negara-negara di dunia sudah was was jika negara dengan ekonomi terbesar ini jatuh ke jurang resesi.
Risiko resesi di Amerika Serikat (AS) memang sudah lama dikhawatirkan karena memiliki dampak berkelanjutan bagi ekonomi global. Resesi AS juga bisa mempengaruhi perekonomian nasional, karena negeri Pam Sam ini merupakan mitra dagang utama Indonesia.
Tadi malam waktu Indonesia, AS telah melaporkan pertumbuhan ekonominya pada kuartal III-2022 ini yang ternyata berada di luar ekspektasi atau tumbuh 2,6%. Tentu saja, ini menandakan ekonomi Paman Sam telah pulih dari kontraksi ekonomi yang terjadi pada paruh pertama tahun ini.
Mengutip laporan dari Biro Analisis Ekonomi AS yang dirilis Kamis (27/10/2022), sebelumnya PDB AS menyusut sebesar 0,6% di kuartal kedua dan 1,6% di kuartal pertama. Sehingga, kenaikan Ekonomi AS pada kuartal III-2022 yang mencapai 2,6% kali ini mengalahkan perkiraan pasar yang diprediksi hanya 2,4%.
Tumbuhnya ekonomi AS menujukan penurunan yang lebih kecil dalam investasi inventaris swasta, percepatan dalam investasi tetap non-perumahan, dan peningkatan dalam pengeluaran pemerintah federal.
Peningkatan pengeluaran pemerintah federal sendiri sebagian diimbangi oleh penurunan yang lebih besar dalam investasi tetap residensial dan perlambatan dalam belanja konsumen.
Di sisi pengeluaran, konsumsi pribadi di AS menyumbang 68% dari total PDB, terdiri dari pembelian barang 23% dan jasa 45%.
Sementara investasi swasta menyumbang 16% dari PDB, dan konsumsi serta investasi pemerintah sebesar 18%. Karena nilai barang yang diekspor (13,5%) lebih rendah dari nilai barang yang diimpor (16,5%), ekspor neto mengurangi 3% dari total nilai PDB AS.
Jika ditarik ke belakang, perekonomian AS sudah merosot tajam sejak 2021 karena program stimulus The Fed berakhir. Kemudian, inflasi merajalela dan memotong belanja konsumen serta pendapatan perusahaan. Ditambah lagi dengan naiknya harga energi pasca perang Rusia-Ukraina meletus 24 Februari lalu.
Inflasi di Amerika Serikat (AS) berada di dekat level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Pada September, inflasi tercatat melambat menjadi 8,2%. Ini merupakan angka terendah dalam tujuh bulan. Agustus lalu, inflasi tercatat 8,3%. Meski begitu, ini tetap lebih tinggi di atas perkiraan pasar 8,1%.
Pada akhirnya The Fed tak segan mengorbankan ekonomi demi mencapai tujuannya menurunkan inflasi. Hingga kini, The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell sudah menaikkan suku bunga sebesar 300 basis poin menjadi 3% - 3,25%.
Langkah agresif inilah yang menyebabkan banyak sekali analis yang memproyeksikan ekonomi AS mengalami perlambatan ekspansi dan pemulihan. Tapi benar saja, sejak agresifnya The Fed Secara definisi, AS sudah masuk ke dalam resesi dengan mencatatkan pertumbuhan negatif dua kali berturut-turut selama dua kuartal di tahun yang sama. Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada kuartal II-2022.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Jadi, AS Batal Jatuh Ke Jurang Resesi Dong?
(aum/aum)