
Inflasi dan Kurs Turki Kacau, Negara Diambang Kebangkrutan

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian Turki dalam kondisi kacau balau dengan inflasi meroket, utang menggunung, dan kurs mata uang terjun bebas. Ini membuat sistem keuangan negeri berpenduduk mayoritas muslim di Eropa ini berada di ambang krisis ekonomi.
Krisis yang sudah berlangsung sejak 2018 ini sekarang semakin parah.
Hampir 70% warga di Turki kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan membayar sewa tempat tinggal mereka. Ini karena kenaikan biaya hidup sudah tak terimbangi oleh pendapatan mereka, ungkap sebuah survie yang dilakukan Yöneylem Social Research Center pada Agustus lalu.
Tingkat inflasi di Turki menggila mencapai 83,5% bulan September lalu, tertinggi lebih dari dua dekade, dan merupakan kenaikan berturut-turut sejak 16 bulan terakhir. Angka itu adalah nomor dua tertinggi di dunia, setelah Venezuela (114%) dan di atas Argentina (78,5%).
Angka inflasi Turki pun diragukan, sebab sejumlah analis independen menilai inflasi di sana sudah lebih dari dua kali angka tersebut, atau di atas Venezuela. Semua barang impor mahal di Tukri terutama bahan makanan dan material yang bergantung dari luar negeri, di mana krisis energi Eropa memperparah situasi.
Neraca transaksi berjalan mereka defisit, mencapai US3,11 miliar pada Agustus, tiga kali lipat dari bulan yang sama tahun lalu. Ini adalah 10 kali berturut-turut neraca berjalan Turki defisit menggambarkan betapa ketergantungan mereka semakin besar terhadap barang dari luar negeri untuk hidup.
Sementara itu, nilai tukar Lira terhadap dolar AS terjun bebas, tahun ini setelah terus-menerus melemah sejak 2013. Sepanjang tahun ini saja sudah melemah hampir 40%, dari kisaran TRY13 pada awal tahun menjadi TRY18,6 pada hari ini (Selasa/25/10/2022).
Kondisi utang negara juga tak kalah memburuk, membuat negara ini sudah jatuh ke dalam krisis utang. Utang pemerintah ke kreditur internasional mencapai $451 miliar, dimana utang jangka pendeknya mencapai $185 miliar.
Tren penguatan dolar AS dan kenaikan suku bunganya diyakini akan semakin memperparah situasi ke depan.
Cengkraman 'diktator' Erdogan
Tanda-tanda Turki lepas dari krisis masih tak tampak. Negara ini dipimpin cara sentralistik oleh Recep Tayyip Erdoğan yang telah menjabat sebagai presiden sejak 2014. Sebelumnya, ia menjabat Perdana Menteri dari 2003 dan merupakan pimpinan partai berkuasa, Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP).
Salah satu kebijakan kontroversialnya adalah semua keputusan ekonomi, termasuk moneter di bank sentral Turki (CBRT) ada di tangannya. Berbalik dengan semua keputusan bank sentral di dunia saat ini, Erdogan justru terus menerus memangkas suku bunga acuan, tak peduli inflasi berada di atas 80%.'
Siapa yang tidak sependapat dengannya dipecat.
CBRT pekan lalu bahkan memangkas suku bunga acuan 150 basis poin dari 12% menjadi 10,5% dengan alasan ingin menjaga pertumbuhan ekonomi dan mendororong ekspor.
Erdogan beranggapan menaikkan suku bunga justru akan memicu inflasi, dan menyebut kenaikan suku bunga adalah 'ibu dari semua setan'
Tidak sedikit yang menilai pandangan itu dianggap sebagai politisasi kebijakan moneter sebab nasib Erdogan sendiri akan ditentukan pada tahun pemilu 2023. Ia gemar menggunakan dana pemerintah dan suku bunga rendah untuk mempertahankan suaranya.
Tim Riset CNBC Indonesia
(mum/mum)