Setelah "Keajaiban" di Wall Street, Sanggupkah IHSG Bangkit?
Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas pasar keuangan Indonesia masih terpuruk dan belum menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Indeks Harga Saham Gabungan (HIS) dan nilai tukar rupiah masih berkutat di zona merah. Sementara itu, pasar Surat Berharga Negara (SBN) sudah membukukan kinerja yang positif.
Pada perdagangan Kamis (13/10/2022), IHSG ditutup melemah 28,58 poin atau 0,41% ke posisi 6880,63. Dengan demikian, IHSG sudah mengakhiri perdagangan di zona merah dalam lima hari terakhir.
Sebanyak 203 saham menguat, 340 saham melemah, dan 147 saham bergerak stagnan. Nilai perdagangan tercatat Rp 11,2 triliun dengan melibatkan lebih dari 21,9 miliar saham.
Berbanding terbalik dari dua hari sebelumnya di mana investor asing masih mencatatkan net buy maka pada perdagangan kemarin investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 310,11 miliar di seluruh pasar.
Saham yang paling banyak dijual asing adalah PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI), PT Bank Central Asia (BBCA), dan PT Telkom Indonesia (TLKM).
IHSG sempat rebound di sesi I perdagangan kemarin dan menguat 0,16% di 6.919,94 setelah mengalami perdagangan yang volatile. Namun, IHSG kemudian melemah dan longsor di akhir perdagangan.
Saham-saham yang menjadi top gainers adalah PT Sigma Energy Compresindo (SICO) yang melesat 20,65%, PT Sidomulyo Selaras (SDM) yang melonjak 20,27%, serta PT Bangun Karya Perkasa Jaya ( KYA) yang nak 13,29%.
Saham yang paling aktif diperdagangkan adalah PT Bumi Resources (BUMI) diikuti dengan PT Gaya Abadi Sempurna (SLS).
Ambruknya IHSG disebabkan oleh banyaknya sentimen negatif dari perekonomian global mulai dari kisruh di pasar obligasi Inggris, muramnya perekonomian China, hingga ekspektasi berlanjutnya kebijakan hawkish bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed). Pasar juga menunggu data inflasi AS yang keluar Kamis malam tadi.
Pasar berekspektasi jika The Fed akan melanjutkan kebijakan hawkish-nya setelah risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) September lalu keluar pada Kamis dini hari (13/10/2022).
Dalam risalah tersebut, pejabat The Fed menegaskan sikapnya untuk membawa inflasi ke kisaran 2%. The Fed tidak mau mengambil risiko dengan terlambat memerangi inflasi karena ongkosnya bisa lebih mahal. Bank sentral AS pun akan terus menaikkan suku bunga sampai inflasi bergerak di kisaran target mereka.
"Partisipan melihat jika inflasi masih terlalu tinggi dan menggarisbawahi pentingnya stance kebijakan tegas selama mungkin jika diperlukan. Pengalaman sejarah menunjukkan bahayanya mengakhiri kebijakan ketat secara prematur," tulis risalah FOMC, dikutip dari website The Fed.
(mae/luc)