Newsletter

Awas! Sudah di Zona Resisten, IHSG Rawan Longsor Hari Ini

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
12 September 2022 06:20
Uang Rupiah Khusus Seri Presiden Republik Indonesia Pecahan 850.000 (Dok: Bank Indonesia)
Foto: Uang Rupiah Khusus Seri Presiden Republik Indonesia Pecahan 850.000 (Dok: Bank Indonesia)

Seiring dengan IHSG, rupiah menguat tajam pada pekan kemarin di tengah hiruk pikuk kenaikan harga BBM subsidi. Mata uang Garuda bahkan menjadi salah satu yang terbaik di Asia.

Pada perdagangan Jumat (9/9/2022), rupiah ditutup menguat 0,45% ke posisi Rp 14.828/US$, di pasarspot. Posisi tersebut adalah yang terkuat sejak 26 Agustus lalu atau dalam 14 hari terakhir.

Pada minggu kemarin rupiah juga menguat 0,45% ptp. Dalam sebulan, mata uang Garuda menanjak 0,15% tetapi dalam setahun masih amblas 4,1%. Dalam lima hari perdagangan terakhir, rupiah ditutup melemah dua kali yakni pada Senin dan Rabu sementara sisanya ditutup pada zona hijau.

Perkasanya rupiah tidak bisa dilepaskan dari jebloknya dolar Amerika Serikat (AS). Mata uang greenback melemah pekan kemarin, salah satunya karena kenaikan suku bunga acuan bank sentral Eropa.

Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps pada Kamis. Langkah tersebut kembali menguatkan euro yang sempat goyang dan sebaliknya membuat dolar AS terpuruk. Seperti diketahui, euro berkontribusi paling besar dalam pembentukan indeks dolar AS, sekitar 57%.

Dolar index yang mengukur kekuatan dolar AS terhadap enam mata uang lainnya melandai 0,64% pada perdagangan Jumat ke posisi 109,0. Dolar index melemah 0,48% dalam sepekan terakhir. Ambruknya dolar AS inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa rupiah tetap menguat setelah kenaikan harga BBM.

Sementara harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat pada perdagangan Jumat (9/9/2022), di mana investor mencerana pernyataan dari ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) yang masih bernada hawkish.

Mayoritas investor memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan penurunan imbal hasil (yield). Namun untuk SBN tenor 25 tahun cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 25 tahun menanjak 2,6 basis poin (bp) ke posisi 7,522%. Sedangkan yield SBN tenor 30 tahun cenderung stagnan di posisi 7,294%.

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara berbalik menurun 3,3 bp ke posisi 7,177%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

(ras/luc)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular