Newsletter

BBM Naik, Bencana Buat Pasar Keuangan RI?

Tri Putra, CNBC Indonesia
05 September 2022 06:00
Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketika nilai tukar rupiah dan harga Surat Berharga Negara (SBN) melemah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru masih mencatatkan penguatan.

Meski menguat, IHSG belum mampu bertahan di atas level psikologis 7.200. Apresiasi sebesar 0,59% hanya bisa mengantarkan IHSG ke 7.177,18.

Penguatan yang dialami IHSG boleh saja tipis. Namun jangan salah, aliran dana asing masih saja membanjiri pasar ekuitas domestik.

Asing mencatatkan net buy saham sebesar Rp 1,88 triliun di pasar reguler. Sedangkan di pasar negosiasi asing net sell Rp 378 miliar sehingga secara neto asing membeli Rp 1,5 triliun.

Angka tersebut masih terbilang jumbo seiring dengan banjir sentimen positif di dalam negeri.

Selain karena kondisi ekonomi yang terus membaik tecermin dari PMI manufaktur yang ekspansif, rilis kinerja keuangan emiten juga turut menjadi bensin bagi IHSG.

Indeks sektoral industrial menjadi pendorong penguatan IHSG dalam sepekan disusul oleh indeks sektoral kesehatan dan indeks energi.

Apresiasi indeks energi juga didukung oleh kinerja keuangan konstituennya yang moncer. Asal tahu saja, emiten batu bara Tanah Air banyak yang baru merilis laporan keuangan semesteran. Hasilnya sangat memuaskan.

Bagaimana tidak, laba bersih perusahaan tambang batu hitam melesat ratusan hingga ribuan persen. Harga batu bara global yang naik 200% dan tembus US$ 400/ton seolah menjadi durian runtuh bagi emitennya.

Nasib berbeda dialami oleh pasar SBN yang mencatatkan outflow sebesar Rp 4,49 triliun pada periode 29 Agustus - 1 September di pasar SBN.

Kendati terjadi aliran modal keluar, imbal hasil (yield) SBN acuan tenor 10 tahun cenderung stagnan di 7,14%.

Dengan outflow dari pasar SBN yang lebih besar dari inflow di pasar saham, secara neto, pasar keuangan domestik masih mencatatkan aliran modal keluar lebih dari Rp 2,5 triliun.

Outflows ini pun turut menekan kinerja nilai tukar rupiah. Di pasar spot, rupiah melemah 0,54% di hadapan dolar AS dan ditutup di Rp 14.895/US$.

Di saat yang sama indeks dolar AS juga menguat lebih dari setengah persen dan mencicipi posisi 109,53.

Beralih ke Bursa New York, ketiga indeks saham acuannya mengalami pelemahan pada perdagangan terakhir pekan lalu.

Indeks Dow Jones dan S&P 500 masing-masing melemah 1,07%. Sementara itu indeks Nasdaq Composite anjlok 1,31%.

Dalam seminggu terakhir, ketiga indeks acuan tersebut juga melemah lebih dari 2%. Bahkan Nasdaq Composite anjlok lebih dari 3%.

Pasar masih terus dibayangi dengan pernyataan bos besar The Fed Jerome Powell dalam Simposium Tahunan Jackson Hole pekan lalu soal arah kebijakan suku bunga bank sentral AS tersebut.

Apa yang disampaikan oleh Jay Powell kurang lebih mensinyalkan bahwa ke depan ruang untuk kenaikan suku bunga acuan masih terbuka.

The Fed bersiap untuk mengambil kebijakan yang cukup restriktif untuk mengembalikan inflasi ke kisaran target 2%, meskipun harus berdampak negatif untuk rumah tangga dan pelaku bisnis.

Hal ini membuat indeks saham anjlok, tetapi indeks dolar AS menguat dan imbal hasil obligasi pemerintah AS untuk tenor 10 tahun kembali mengalami kenaikan ke atas level 3%.

Sementara itu tingkat pengangguran di AS dilaporkan meningkat ke 3,7%. Tingkat pengangguran ini masih berada di level yang tergolong rendah.

Dengan kondisi tersebut, pelaku pasar masih memperkirakan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) pada pertemuan September ini.

Kebijakan The Fed setelah komentar Jerome Powell memang dinanti oleh pelaku pasar. Namun di tengah ancaman resesi ekonomi AS, beberapa pelaku pasar juga mulai mengantisipasi akan adanya pemangkasan suku bunga acuan pada 2023 nanti.

Namun terlepas dari itu semua, pasar saham AS kembali tertekan. Banyak yang memperkirakan jika S&P 500 gagal bertahan di 3.900, maka bahaya kembali mengintai pasar saham AS, apalagi bulan September secara historis merupakan bulan yang buruk untuk pasar saham.

Kinerja Wall Street yang tak apik pekan lalu memang menjadi katalis negatif untuk pasar saham global termasuk di RI.

IHSG sejauh ini masih mampu menguat karena masih ditopang oleh aliran masuk dana asing dan harga komoditas terutama batu bara yang tetap tinggi.

Namun IHSG tampak masih nyaman bergerak di kisaran level 7.100-7.200 dan seolah enggan mengikuti indeks saham yang kembali tertekan.

Selain pergerakan Wall Street, kemungkinan pasar akan merespons keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM yang diputuskan pada Sabtu (2/9/2022).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memutuskan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Harga Pertalite diputuskan naik dari Rp7.650 jadi 10.000 per liter.

"Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM. Sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini subsidi akan alami penyesuaian," kata Jokowi dalam Konferensi Pers Presiden Jokowi dan Menteri Terkait perihal Pengalihan Subsidi BBM ditayangkan akun Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (3/9/2022).

"Pertalite dari Rp7.650 per liter, solar subsidi dari Rp5.150 pe liter jadi Rp6.800 per liter, Pertamax nonsubsidi naik dari Rp12.000 jadi Rp14.500 per liter. Ini berlaku 1 jam sejak diumumkan, pada pukul 14.30 WIB," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif saat mendampingi Jokowi.

Jokowi mengatakan, anggaran subsidi pemerintah sudah meningkat 3 kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun dan itu akan meningkat terus. Lebih dari 70% subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu, yaitu pemilik mobil pribadi.

"Mestinya uang pemerintah itu diberikan untuk subsidi bagi masyarakat kurang mampu. Subsidi harus menguntungkan masyarakat kurang mampu," kata Jokowi.

Kabar kenaikan harga BBM ini sudah santer sejak beberapa pekan terakhir, hingga sempat memicu perdebatan dan panic buying di sejumlah lokasi.

Dalam 5 kali tahap kenaikan sejak era SBY hingga Jokowi, pengumuman kenaikan harga dilakukan di hari libur.

Pergerakan IHSG saat, satu hari sebelum, hari H, dan satu hari setelah pengumuman cenderung negatif, tercatat 4 kali kecenderungan stagnan, 5 kali melemah, dan dua kali melemah. Waspadai hal ini yang bisa memicu pelemahan IHSG hari ini.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Rilis data Cadangan Devisa bulan Agustus 2022 (04:00 WIB)

  • Rilis data PMI Jasa Australia bulan Agustus 2022 (06:00 WIB)

  • Rilis data PMI Jasa Jepang bulan Agustus 2022 (07:30 WIB)

  • Rilis data Penjualan Ritel Australia bulan Juli 2022 (08:30 WIB)

  • Rilis data Penjualan Ritel Singapura bulan Juli 2022 (12:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY)

5,44 %

Inflasi (Agustus 2022, YoY)

4,69%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2022)

3,75%

Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022)

-3,92% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2022)

1,1% PDB

Cadangan Devisa (Juli 2022)

US$ 132,2 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular