
AS Beneran Resesi? Bursa Saham RI Apa Kabar Nih Bestie?

Kabar utama yang akan mempengaruhi sentimen pasar secara dominan hari ini adalah pelemahan ekonomi Amerika Serikat serta keputusan bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) untuk keempat kali tahun ini sebesar 75 bps menjadi 2,25% hingga 2,5%.
Ekonomi AS remi mengalami kontraksi pada dua kuartal beruntun yakni (-) 1,6% di tiga bulan pertama 2022 dan terbariĀ (-) 0,9% pada kuartal kedua tahun ini. Hal ini memenuhi definisi resesi yang umum digunakan.
Kendati demikian Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) AS, wasit resmi yang berhak menyatakan resesi, belum mengumumkan secara resmi apakah AS telah berada atau sedang dalam resesi. Lebih kompleks dari pemahaman umum, NBER menggunakan beberapa faktor dalam analisisnya, termasuk angka pengangguran, pendapatan, output industri dan berbagai indikator lain untuk menentukan apakah ekonomi telah mengalami resesi.
Secara resmi, NBER mendefinisikan resesi sebagai "penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian dan berlangsung lebih dari beberapa bulan." Para ekonom biro tersebut bahkan mengaku tidak menggunakan produk domestik bruto sebagai barometer utama.
Sebelumnya, investor di Wall Street sempat waswas dengan tiga indeks utama sempat jatuh ke zona merah di awal perdagangan, namun akhirnya mampu ditutup menguat.
Hal ini tentu ikut menjadi kabar baik bagi investor dalam negeri untuk perdagangan hari ini, akan tetapi tentu masih tetap perlu berhati-hati.
Selain dampak negatif kontraksi ekonomi AS yang akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kenaikan suku bunga AS juga memberikan ancaman nyata yang spesifik. Tingginya suku bunga AS, berarti saat ini selisih FFR dengan suku bunga Bank Indonesia (BI) akan semakin menyempit.
Menyempitnya selisih tersebut dapat menjadi ancaman karena membuat investasi di pasar keuangan Indonesia menjadi relatif kurang menarik, khususnya di pasar obligasi. Data Kementerian Keuangan bahkan mencatat eksodus dari pasar keuangan domestik sudah mulai terjadi, yang mana pada bulan Mei pasar obligasi mengalami outflow Rp 32,12 triliun. Kemudian Juni sebesar Rp 15,51 triliun dan bulan Juli ini hingga tanggal 26 dana asing yang dibawa kabur mencapai Rp 29,15 triliun.
Kaburnya dana asing membuat nilai tukar rupiah juga berpotensi tergerus dan dapat menjadi sentimen negatif yang turut membebani harga aset berisiko seperti saham-saham domestik.
Jika aksi jual asing ikut merembes ke pasar ekuitas domestik dan terjadi secara signifikan, artinya ini dapat memberikan tekanan bagi IHSG.
Sejatinya sejak awal tahun asing tercatat rajin memborong saham RI, mengingat bursa domestik mencatatkan kinerja terbaik di Asia Pasifik. Sejak awal tahun net buy asing telah mencapai 58,23 triliun di seluruh pasar.
Namun dalam beberapa waktu ini tren tersebut mengalami perubahan dengan net buy harian yang semakin kecil atau bahkan asing malah melepas saham RI. Kemarin asing mencatatkan jual bersih (net sell) Rp 137,44 miliar di pasar reguler, dalam sepekan dana asing yang keluar di pasar tersebut sebesar Rp 821,18 miliar, sedangkan dalam sebulan terakhir aksi jual mencapai Rp 5,29 triliun.
Selanjutnya, investor perlu menyimak sentimen utama dalam negeri yang berpotensi dapat membantu menggerakkan pasar ke zona positif, yakni kinerja keuangan sejumlah emiten yang satu per satu mulai melapor.
Hingga kemarin tiga bank raksasa Tanah Air yakni BBCA, BBRI dan BMRI telah melaporkan kinerja yang gemilang didorong oleh relaksasi PPKM sehingga terjadi pembukaan ekonomi lebih luas. Penguatan pada kuartal kedua tahun ini bertepatan dengan momen puasa dan lebaran yang mana merupakan puncak konsumsi tahunan masyarakat Indonesia.
Dari sisi lain, proksi ekonomi RI juga terlihat dari kinerja positif emiten sektor konsumer yakni Unilever Indonesia (UNVR) dan Astra Internasional (ASII) yang mencerminkan konsumsi masyarakat pada kuartal kedua dan selama momen lebaran tidak melemah.
Hari ini Bank Negara Indonesia (BBNI) dijadwalkan akan mengumumkan kinerja keuangannya, dan merupakan yang terakhir dari the big four perbankan RI.
njutnya investor perlu menyimak pergerakan harga komoditas yang sering kali ikut mendikte pergerakan pasar saham domestik. Sejumlah emiten di sektor energi, pertambangan hingga perkebunan pergerakannya nyaris secara eksklusif ditopang oleh naik turunnya harga komoditas di pasar global.
Harga gas alam kontrak AS sempat menyentuh rekor tertinggi dalam 14 tahun pada perdagangan intraday beberapa hari lalu. Sedangkan harga batu bara kontrak Agustus di pasar ICE Newcastle meski ditutup melemah 3% di US$ 424/ton, akan tetapi masih dekat dengan level tertinggi sepanjang sejarah di US$ 446/ton yang tercatat pada 2 Maret 2022.
Sentimen komoditas lainnya datang dari CPO yang mana pemerintah Indonesia berencana untuk menghapus kebijakan kewajiban pemenuhan untuk pasar domestik alias Domestic Market Obligation (DMO).
Jika terealisasi, akan berdampak pada peningkatan volume ekspor CPO dalam negeri dan harga yang semakin kompetitif. Ditambah dengan penghapusan pungutan pajak ekspor CPO (15 Juli hingga 31 Agustus 2022), harga CPO Indonesia menjadi kian menarik dimata pembeli asing dibanding dengan CPO Malaysia. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan permintaan akan CPO Indonesia.
Dari ranah global, investor perlu menyimak kondisi perekonomian global, khususnya setalah AS mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi dua kali beruntun tahun ini. Investor perlu mencerna kembali kabar buruk dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang sepertinya sangat mungkin terjadi. Awal pekan ini IMF memangkas pertumbuhan ekonomi global 2022. Sebelumnya pada April lalu IMF memproyeksi ekonomi global tumbuh 3,6%, sedangkan dalam proyeksi terbaru turun menjadi 3,2%.
Pemangkasan proyeksi tersebut nyaris terjadi di seluruh ekonomi termasuk ASEAN-5 yang pertumbuhannya berkurang 0,8% dari sebelumnya dan terbaru ekonominya diperkirakan mengalami ekspansi 5,3%. ASEAN-5 yang disebut IMF terdiri dari Indonesia, Thailand, Malaysia, Vietnam dan Filipina.
(fsd/fsd)