
Penuh Gejolak, Mampukah Pasar Keuangan RI Ceria Lagi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham, obligasi pemerintah hingga nilai tukar rupiah masih tertekan sepekan kemarin.
Nilai tukar rupiah terdepresiasi 0,27% di pasar spot seminggu ini dan masih dekat dengan level psikologis Rp 15.000/US$.
Sementara itu, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik tipis 1,5 basis poin (bps) ke 7,26%.
Kenaikan yield mencerminkan bahwa harga aset yang dianggap rendah risiko ini sedang mengalami penurunan.
Di pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga melemah 0,8% dan ditutup di 6.740,22 pada perdagangan Jumat (8/7/2022).
Koreksi di pasar saham juga terjadi seiring dengan aliran keluar modal asing (outflows). Asing tercatat net sell Rp 2,56 triliun di pasar reguler minggu lalu.
Beberapa rilis data ekonomi domestik masih menunjukkan bahwa Indonesia tetap kuat dalam menghadapi ancaman yang datang dari eksternal.
Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa Indonesia naik US$ 800 juta menjadi US$ 136,4 miliar pada Juni 2022.
Posisi cadangan devisa Juni 2022 menjadi yang tertinggi sejak bulan Maret 2022. Kendati terjadi outflows tetapi peningkatan cadangan devisa disebabkan oleh penerbitan global bond serta penerimaan pajak dan jasa.
Untuk diketahui, pada Juni 2022 pemerintah menerbitkan Samurai Bond senilai Rp 8,76 triliun.
Kemudian dari sisi rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), meski terjadi penurunan secara bulanan sebesar 0,7 poin, tetapi angka IKK menunjukkan bahwa konsumen tetap optimis.
Dari enam sub-indeks IKK hanya dua sub-indeks yang mengalami penurunan yaitu sub-indeks untuk kondisi ekonomi saat ini dan pendapatan saat ini.
Sementara itu optimisme konsumen terhadap outlook ekonomi, ekspektasi pendapatan 6 bulan ke depan, ketersediaan lapangan kerja dibanding 6 bulan lalu serta ekspektasi ketersediaan lapangan kerja 6 bulan mendatang masih menunjukkan peningkatan.
Gejolak yang dialami oleh pasar keuangan Tanah Air masih tak bisa dilepaskan dari kondisi eksternal yang memang belum mendukung.
Indeks saham Bursa New York akhir pekan ini juga ditutup variatif. Indeks Dow Jones dan S&P 500 melemah 0,15% dan 0,08% sedangkan Nasdaq Composite berhasil lolos dari koreksi dengan penguatan 0,12%.
Namun, berbeda nasib dengan pasar saham Indonesia yang didera koreksi, indeks saham Bursa New York terpantau naik secara mingguan.
Indeks Dow Jones naik 0,77%, indeks S&P 500 melesat 1,94% sedangkan indeks Nasdaq Composite memimpin penguatan dengan apresiasi 4,56%.
Pergerakan harga saham di AS juga tak lepas dari sentimen rilis data ekonomi serta risalah rapat komite pengambil kebijakan The Fed (FOMC).
Komite Fed terus mengantisipasi kenaikan lanjutan dari suku bunga acuan Fed Funds Rate sebesar 50-75 basis poin (bps) untuk pertemuan bulan Juli 2022.
Dengan kenaikan suku bunga acuan yang agresif prospek pertumbuhan ekonomi AS memang berpotensi melambat.
Namun para pengambil kebijakan lebih menitikberatkan pada upaya untuk menurunkan laju inflasi AS kembali ke 2% dan mencapai maximum employment.
Di sisi lain data ketenagakerjaan AS juga menunjukkan angka yang mengejutkan. Data non-farm payrolls AS naik 372 ribu jauh lebih tinggi dari perkiraan konsensus di 268 ribu pada Juni 2022.
Tingkat pengangguran di AS juga tetap berada di 3,6%. Data ketenagakerjaan AS yang masih positif sebenarnya adalah hal yang baik.
Namun dengan data ketenagakerjaan yang solid, pelaku pasar juga mulai mengantisipasi bahwa the Fed bisa semakin agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya.
Bagaimanapun juga laju inflasi yang tinggi disertai dengan kebijakan moneter yang agresif telah membuat pasar keuangan global bergejolak di sepanjang tahun ini.
Secara global sentimen akan probabilitas perlambatan ekonomi yang meningkat masih dominan di kalangan pelaku pasar.
Di AS sinyal resesi kembali muncul. Pembalikan kurva imbal hasil atau inverted yield curve kembali terjadi pekan ini.
Secara historis, pembalikan kurva imbal hasil menjadi leading indicator bahwa ekonomi AS akan segera memasuki resesi.
Kemungkinan resesi di AS disebabkan karena laju inflasi yang sangat tinggi dan juga pengetatan kebijakan moneter yang agresif.
Likuiditas yang terserap di sistem keuangan membuat investor mencemaskan bahwa output perekonomian Paman Sam akan mengalami kontraksi.
Risiko global tentu berdampak pada ekonomi domestik. Dari dalam negeri, kasus infeksi Covid-19 kembali meningkat karena adanya varian baru Omicron.
Namun tampaknya Covid-19 sudah bukan lagi menjadi risiko yang besar untuk pasar. Justru inflasi dan risiko perlambatan ekonomi yang sekarang menjadi fokus utama.
Minggu ini akan ada dua rilis data ekonomi yang dipantau oleh pasar. Pertama di awal pekan ada data penjualan ritel bulan Mei 2022 dan di akhir pekan ada rilis data neraca dagang Indonesia untuk periode Juni 2022.
Trading Economics memperkirakan penjualan ritel Indonesia bulan Mei 2022 masih akan tumbuh positif sebesar 7,0% secara tahunan seiring dengan adanya momentum hari raya Idulfitri.
Sementara itu neraca dagang Indonesia diperkirakan masih surplus US$ 2 miliar atau US$ 900 juta lebih rendah dari bulan sebelumnya.
Bagaimanapun juga salah satu faktor yang akan mempengaruhi kinerja neraca dagang Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang kembali membuka keran ekspor untuk minyak sawit.
Selain data ekonomi, dari pasar komoditas isu yang berpotensi menjadi sentimen penggerak pasar adalah kenaikan harga batu bara.
Harga batu bara kembali tembus US$ 400/ton seiring dengan terjadinya krisis energi di Eropa dan gangguan rantai pasok di Australia.
Dengan harga batu bara yang masih tinggi diharapkan masih bisa menjadi katalis positif baik untuk rupiah maupun pasar saham terutama untuk emiten-emiten produsen si batu hitam.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis data machinery orders Jepang bulan Mei 2022 (06:50 WIB)
- Rilis data penjualan ritel Indonesia bulan Mei 2022 (11:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY) | 5,01 % |
Inflasi (Juni 2022, YoY) | 4,35% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2022) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022) | -4,65% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q1-2022) | 0,1% PDB |
Cadangan Devisa (Juni 2022) | US$ 136,4 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp) Next Article Investor Berdebar Menanti Rapat The Fed, IHSG Rawan Terkoreksi