
Sentimen Masih Ngeri-ngeri Sedap, Kabar IHSG Dkk Kurang Sehat

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Tanah Air masih belum bergairah. Saham dan obligasi pemerintah melemah sementara rupiah stagnan.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir dengan koreksi tipis 0,05% ke level 6.816,2 pada perdagangan kemarin, Rabu (11/5/2022).
Sempat melemah di awal perdagangan, bahkan keluar dari level psikologis 6.800, IHSG sukses rebound dan berakhir di zona hijau di sesi I.
Namun sayang, di sesi II, gerak IHSG justru berbalik arah. Tekanan jual yang meningkat membuat penguatan IHSG terpangkas hingga akhirnya kembali ke zona merah.
Data perdagangan mencatat asing net sell Rp 876 miliar di pasar reguler.
Sementara itu di pasar obligasi pemerintah, harga berbagai obligasi seri acuan mengalami pelemahan. Hal ini tercermin dari kenaikan imbal hasil (yield).
Yield SBN tenor 15 tahun dan 30 tahun stagnan di masing-masing level 7,011% dan 7,084%. Sementara untuk yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara, kembali menguat 8,9 bp ke level 7,419%.
Kinerja buruk di pasar saham dan SBN hingga outflows di pasar keuangan RI pun tak mampu membuat nilai tukar rupiah menguat. Akhirnya rupiah pun harus rela berakhir stagnan di Rp 14.555/US$ di pasar spot.
Dari AS, yield obligasi pemerintah (US Treasury) cenderung kembali melemah, jelang rilis data inflasi pada periode April 2022.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury tenor 10 tahun melemah 7 bp ke level 2,923%, dari sebelumnya pada penutupan perdagangan Selasa kemarin di level 2,993%.
Kinerja buruk di pasar saham dan SBN hingga outflows di pasar keuangan RI pun tak mampu membuat nilai tukar rupiah menguat. Akhirnya, rupiah pun harus rela berakhir stagnan di Rp 14.555/US$ di pasar spot.
Rilis data ekonomi domestik yang bagus ternyata masih belum mampu menjadi katalis positif untuk pasar keuangan karena sentimen eksternal masih sangat dominan.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan April 2022 meningkat 2,1 poin ke level 113,1.
Peningkatan IKK ditopang oleh membaiknya persepsi konsumen terhadap kondisi perekonomian saat ini, sejalan dengan penghasilan, ketersediaan lapangan kerja, serta (durable goods) yang meningkat.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) berakhir longsor pada perdagangan Rabu (11/5/2022), setelah sempat menguat pada perdagangan kemarin. Koreksi bursa AS terjadi di tengah kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun yang kembali naik ke atas level 3%.
Indeks Dow Jones Industrial Average ambruk 326 poin (-1,01%), Indeks Nasdaq turun 373 poin (-3,18%) ke 11.364,24 dan menjadi koreksi terparah diantara 3 indeks utama Wall Street, sedangkan S&P 500 anjlok 64,32 poin (-1,61%) ke 3.936,73.
Indeks Harga Konsumen (IHK) April melompat 8,3% atau lebih buruk dari ekspektasi ekonomi dan analis dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 8,1%. Namun, realisasi tersebut masih lebih landai dari inflasi Maret yang tercatat sebesar 8,5%.
Inflasi inti, yang mengecualikan harga energi dan makanan, melompat 6,2% atau lebih buruk dari ekspktasi sebesar 6%. Dalam basis bulanan, inflasi tercata sebesar 0,3% sedankan inflasi inti sebesar 0,6%.
Inflasi memang masih menjadi risiko utama ekonomi AS. Kenaikan inflasi yang mencapai level tertingginya dalam lebih dari 4 dekade terakhir diyakini berdampak ke semua elemen masyarakat.
Tidak hanya masyarakat kalangan bawah saja yang menderita karena tingginya harga barang dan jasa di AS.
Orang-orang kaya di AS juga ikut terdampak, terutama mereka yang memiliki portofolio saham-saham teknologi.
Kenaikan inflasi yang sangat tinggi membuat The Fed yang sebelumnya royal tebar uang mendadak menjadi sangat agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya.
Suku bunga acuan diramal bakal dinaikkan sampai lebih dari 5x tahun ini. Alhasil aset-aset yang tergolong dalam growth stock berguguran. Kekayaan para crazy rich pun menguap.
Kenaikan harga telah menjadi perhatian utama, terutama karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuan dan memangkas neraca untuk mengatasi inflasi.
Menyusul rilis inflasi tersebut, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang menjadi acuan di pasar-dengan kembali menguat melewati level psikologis 3%.
Pelaku pasar dalam negeri masih akan menerima sentimen negatif setelah pasar AS ditutup kembali ambruk pada penutupan perdagangan dini hari tadi.
Inflasi tetap menjadi sorotan utama pelaku pasar. Bank sentral global terutama dari negara-negara maju yang sudah menaikkan suku bunga acuannya, sebut saja AS, Inggris dan Australia.
Inflasi di dalam negeri bulan lalu naik 3,47% secara tahunan dan menjadi kenaikan tertinggi sejak Agustus 2019.
Meski naik, inflasi masih berada di kisaran target BI di 2-4%. Prospek inflasi di Tanah Air ke depan diramal masih akan meningkat.
Namun pandangan ekonom dan analis soal kapan BI akan mulai menaikkan suku bunga acuan terbelah. Beberapa ekonom memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga BI 7 Day Reverse Repo di bulan Mei 2022.
Akan tetapi sebagian lain meyakini bahwa siklus pengetatan baru akan dimulai pada semester kedua tahun ini dengan argumentasi inflasi inti masih terjaga.
Sebagai catatan, inflasi inti di bulan April 2022 naik 2,6%. Pemicu inflasi bulan lalu lebih ke pos harga bergejolak dan diatur pemerintah.
BI sendiri sebenarnya sudah menyiapkan ancang-ancang untuk menaikkan suku bunga acuan.
"BI terus memonitor resiko inflasi ke depan, besaran dan timing dari respons kebijakan moneter akan tergantung pada faktor-faktor penyebab inflasi. Jika tekanan inflasi, khususnya inflasi inti, dipandang permanen dan akan melampaui sasaran, BI siap mengambil langkah-langkah berikutnya termasuk penyesuaian suku bunga," tutur Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo, Selasa (10/5/2022), kepada CNBC Indonesia.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memang masih akan digelar pada 23-24 Mei nanti. Namun sebagai investor, ancang-ancang perlu disiapkan.
Hari ini aka nada rilis data ekonomi berupa penjualan ritel bulan Maret 2022. Sejak Oktober 2021, penjualan ritel di Indonesia sudah tumbuh positif secara tahunan.
Penurunan kasus Covid-19 dan perbaikan mobilitas publik di bulan Maret kemungkinan akan mendorong penjualan ritel tetap tumbuh positif. Konsensus memperkirakan penjualan ritel tumbuh 11,5%.
Namun sepertinya data positif penjualan ritel pun belum cukup kuat untuk mempengaruhi sentimen pasar yang didominasi oleh kenaikan harga barang dan jasa atau inflasi. Investor pun harus siap dengan volatilitas tinggi.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis data Transaksi Berjalan Jepang Maret 2022 (06:50 WIB)
- Rilis data Penjualan Eceran Indonesia bulan Maret 2022 (11:00 WIB)
- Rilis data PDB Kuartal I 2022 Inggris pembacaan awal (13:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY) | 5,01 % |
Inflasi (April 2022, YoY) | 3,47% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2022) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022) | -4,65% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q4-2021) | 0,40% PDB |
Cadangan Devisa (Oktober 2021) | US$ 139,1 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp) Next Article Investor Berdebar Menanti Rapat The Fed, IHSG Rawan Terkoreksi