
Sawit yang Bikin Rumit

Tidak hanya bagi dunia, Indonesia pun bisa merasakan 'sakit' akibat larangan ekspor CPO. Pada Januari-Februari 2022, nilai ekspor minyak kelapa sawit tercatat US$ 4,05 miliar. Angka ini berkontribusi 10,73% terhadap total ekspor non-migas.
Sepanjang 2021, nilai ekspor minyak kelapa sawit adalah US$ 28,52 miliar, melonjak 54,61% dibandingkan 2020. Tahun lalu, ekspor komoditas ini menyumbang 13,01% terhadap ekspor non-migas.
![]() |
Oleh karena itu, terlihat nyata bahwa CPO adalah salah satu penyumbang devisa utama bagi Indonesia. Tanpa devisa dari ekspor CPO, maka kemungkinan besar rupiah tidak akan punya pijakan untuk menguat. Tekanan terhadap rupiah sepertinya bakal terjadi.
Selain itu, CPO juga punya sumbangsih yang nyata buat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini tampak nyata di pos penerimaan Bea Keluar (BK).
APBN 2022 menargetkan pendapatan BK sebesar Rp 5.92 trilun. Hingga akhir Maret, realisasinya sudah Rp 10,7 triliun atau 180,88% dari target, nyaris dua kali lipat. Padahal masih ada sembilan bulan lagi.
![]() |
"Kinerja penerimaan BK sampai dengan 31 Maret 2022 tumbuh signifikan 132,22% (yoy), didorong tingginya harga komoditas terutama CPO dan meningkatnya volume ekspor tembaga. Penerimaan BK mencapai Rp 10,7 triliun atau 180,88% dari pagu APBN 2022. Penerimaan Produk Kelapa Sawit tumbuh tinggi, didorong peningkatan harga yang mengakibatkan tarif BK yang maksimal dan pengenaan BK pada produk turunannya," tulis laporan APBN Kita edisi April 2022.
Tanpa penerimaan BK dari CPO, maka pemerintah harus mencari cara lain untuk menutup lubang tersebut. Salah satunya adalah menambah utang.
Padahal menambah utang bukan perkara mudah. Selain risiko politik, risiko pasar juga sedang tinggi karena tren kenaikan suku bunga global.
Pada 25 April 2022, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun mencapai 7,043%. Kali terakhir yield berada di atas 10% adalah pada Juli 2020.
Namun, sepertinya tekad pemerintah sudah bulat. Jokowi menegaskan larangan ekspor CPO dan produk-produk turunan sawit lainnya bertujuan agar harga minyak goreng turun.
"Saya tahu negara perlu pajak, perlu devisa, perlu surplus neraca perdagangan. Tapi memenuhi kebutuhan pokok rakyat adalah prioritas yang lebih penting," ungkap Jokowi.
Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini
(aji/aji)