Polling CNBC Indonesia

Belum Mau Ikut-ikutan The Fed Cs, BI Diramal Tahan Bunga

Maesaroh, CNBC Indonesia
18 April 2022 18:13
Ilustrasi Bank Indonesia
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih mempertahankan suku bunga acuan bulan ini. Kebutuhan untuk mengakselerasi pertumbuhan serta fundamental ekonomi yang cukup kokoh membuat bank sentral percaya diri menahan suku bunga di tengah tren kebijakan moneter global yang lebih ketat.

Gubernur Perry Warjiyo dan anggota Anggota Dewan Gubernur lain dijadwalkan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) April 2022 pada 18-19 April 2022. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 3,5%. Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut hanya satu yang memproyeksi BI akan menaikkan suku bunga acuan bulan ini.



Jika sesuai ekspektasi, maka suku bunga acuan akan bertahan di 3,5% sejak Februari 2021 atau sudah bertahan selama 14 bulan terakhir. Level 3,5% adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia.

Ekonom Danareksa Research Institute Muhammad Ikbal Iskandar mengatakan BI akan memilih menahan suku bunga acuan mereka bulan ini meskipun ketidakpastian global meningkat akibat perang Rusia-Ukraina.

"Fundamental ekonomi Indonesia sangat baik seperti tercermin dalam surplus neraca perdagangan, cadangan devisa, serta money supply," tutur Ikbal, dalam laporan Economic Report February 2022: Russia-Ukraine Geopolitical Tensions Affected Indonesia's Economic Indicators.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Indonesia mencetak surplus neraca perdagangan sebesar US$ 4,53 miliar di Maret 2022. Surplus tersebut adalah ketiga terbesar sepanjang sejarah setelah Oktober 2021 (US$ 5,73 miliar) dan Agustus 2021 (US$ 4,75 miliar).

Senada, kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan fundamental ekonomi terutama stabilitas rupiah terjaga dengan surplus neraca perdagangan.
Surplus neraca perdagangan yang besar diperkirakan bisa mendorong surplus pada transaksi berjalan di kuartal I-2022. Dengan surplus transaksi berjalan maka pergerakan rupiah akan lebih stabil.

"Kondisi ini akan meminimalkan dampak eksternal serta membantu BI untuk tidak terburu-buru dalam menaikkan suku bunga di tengah tren normalisasi kebijakan moneter," tutur Andry dalam laporan Macro Brief Trade Balance April 2022.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan BI masih akan mempertahankan suku bunga acuan mereka di 3,5% bulan ini karena mempertimbangkan stabilitas nilai tukar Rupiah dan terkendalinya inflasi, di tengah peningkatan risiko eksternal yang didorong ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina.

"Nilai tukar rupiah yang stabil juga ditopang oleh faktor fundamental yang solid di tengah kondisi keseimbangan eksternal yang tetap terjaga. Kondisi Rusia-Ukraina yang mendorong kenaikan harga komoditas global turut mendukung kinerja ekspor. Kondisi keseimbangan eksternal yang tetap solid tersebut mengindikasikan potensi current account balance yang cenderung surplus dalam jangka pendek ini," tutur Josua kepada CNBC Indonesia. 

Selain terjaganya faktor fundamental ekonomi, Bank Indonesia diperkirakan masih menahan suku bunga acuan karena ada kebutuhan untuk mengakselerasi pertumbuhan. "Sektor riil masih lemah seperti tercermin dalam pertumbuhan kredit perbankan, terutama kredit investasi," tutur Ikbal.

Pertumbuhan kredit perbankan pada Februari 2022 memang sudah tumbuh 6,33% (year on year/Yoy), lebih tinggi dibandingkan Januari 2022 (5,5%) tetapi masih jauh di bawah pertumbuhan kredit sebelum pre pandemi. 

Pemulihan ekonomi Indonesia yang baru saja berjalan juga masih rawan ancaman seperti penurunan daya beli masyarakat sehingga bunga rendah masih dibutuhkan.

Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana mengatakan tekanan inflasi tengah meningkat. Tren global juga tengah menuju kepada kebijakan ketat. Namun, BI diperkirakan masih akan menahan suku bunga mereka paling tidak hingga kuartal II tahun ini.

Sebagai catatan, Indonesia mencatatkan inflasi sebesar 2,64% (YoY) di Maret tahun ini yang merupakan inflasi tertinggi sejak April 2020 (2,67%). Tekanan inflasi diyakini meningkat tajam sampai Mei karena perayaan Lebaran dan kenaikan harga BBM.

Sementara itu, sejumlah bank sentral negara lain telah menaikkan suku bunga acuan mereka. Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps di Maret 2022. The Fed diperkirakan akan mengerek kembali suku bunga acuan mereka sebesar 50 bps Mei mendatang. Bank sentral Inggris (BoE) juga sudah menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali sejak Desember 2021.

"Inflasi tentu saja akan menjadi kunci dalam menentukan kebijakan suku bunga. Namun, kami memperkirakan BI paling cepat baru akan menaikkan suku bunga di kuartal III tahun ini," tutur Wisnu, kepada CNBC Indonesia.


 

Ekonom OCBC Wellian Wiranto memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga mulai Mei tahun ini. Selain karena inflasi yang diperkirakan melonjak, BI kemungkinan mengambil langkah pre-emptive sebelum The Fed menaikkan suku bunga kembali pada bulan tersebut.

"Indonesia tengah menghadapi peningkatan inflasi. Kami memperkirakan BI akan mulai menaikkan suku bunga pada Mei mendatang," tutur Wellian, dalam laporannya Faster after Fasting Month?

Perry Warjiyo, pekan lalu, menegaskan kembali bahwa BI hanya akan mempertimbangkan kenaikan suku bunga jika inflasi sudah mengkhawatirkan. Dia masih optimis tahun ini inflasi tetap terkendali dan masih berkisar pada asumsi semula, yaitu 2-4%, sekalipun kini harga barang dan jasa terus naik.

"Kami perlu menjelaskan bahwa kebijakan suku bunga selalu didasarkan ke perkiraan inflasi dan pertumbuhan ekonomi ke depan. Sejauh ini kami masih dalam stance suku bunga akan kami pertahankan 3,5% sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi," tegas Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Rabu (13/4/2022).

BI, lanjut Perry, juga tidak sembarangan dalam merespons inflasi. Apa yang akan direspons oleh MH Thamrin adalah inflasi yang sifatnya fundamental, yang dicerminkan dengan inflasi inti. Inflasi inti pada Maret 2022 tercatat 2,37% (YoY), meningkat dibandingkan yang tercatat pada Februari (2,03%)

"Jadi tekanan harga pangan dan energi tentu saja BI tidak akan merespons dampak pertamanya. Kami akan respons dampak rambatan, kalau berdampak ke fundamental inflasi yang indikatornya inflasi inti," jelas Perry.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular