Newsletter

Ada Tanda Rusia-Ukraina Damai, IHSG Siap Melaju Kencang?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
30 March 2022 06:30
Kerusakan Rumah Warga Ukraina dari Sernagan Rusia
Foto: Petugas pemadam kebakaran bekerja di tengah puing-puing rumah penduduk yang hancur selama penembakan di pemukiman di luar Kharkiv saat serangan Rusia di Ukraina berlanjut, Ukraina, Senin (28/3/2022). (REUTERS/Thomas Peter)

Hari ini ada beberapa hal yang wajib diperhatikan oleh para investor. Baik itu isu dari luar dan dalam negeri.

Pertama tentu saja terkait perang Ukraina-Rusia serta implikasinya bagi sektor ekonomi dan bisnis global. Hingga saat ini, perang yang sempat membebani pasar keuangan dunia tersebut kini mulai memasuki babak baru, dengan Rusia dan Ukraina mulai merundingkan upaya deeskalasi konflik.

Kemarin, untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua minggu, negosiator Ukraina dan Rusia bertatap muka dan disambut secara pribadi oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Istanbul.

Usai pertemuan, wakil menteri pertahanan Rusia mengatakan bahwa negara pimpinan Vladimir Putin tersebut akan secara tajam "mengurangi aktivitas militer" di dekat Kyiv, ibu kota Ukraina, dan kota utara Chernihiv.

Rusia juga mengatakan siap untuk mengatur pertemuan antara Presiden Vladimir V. Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky setelah rancangan perjanjian damai antara Ukraina dan Rusia siap.

Sementara itu, para pejabat Ukraina untuk pertama kalinya menggarisbawahi potensi konsesi atas wilayah yang hampir pasti akan kalah dari Rusia. Mereka mengusulkan proses konsultasi dan negosiasi 15 tahun tentang status Krimea, semenanjung Ukraina yang dianeksasi oleh Rusia pada tahun 2014.

Sedangkan terkait kontrol atas wilayah Ukraina timur - Donbas, yang tidak lagi diakui Rusia sebagai bagian dari Ukraina, akan dibicarakan lebih lanjut ketika kedua pemimpin masing-masing negara bertemu.

Meskipun Rusia berjanji untuk "secara radikal" mengurangi operasi militer di dekat Kyiv dan Chernigiv, para pejabat Barat masih menyarankan dan mendesak agar tetap berhati-hati.

Saat ini, Amerika Serikat sedang mempersiapkan sanksi baru yang menargetkan rantai pasokan sektor industri militer Rusia demi mengikis kemampuan Moskow untuk menyerang Ukraina, ungkap wakil menteri keuangan Adewale Adeyemo, dilansir The New York Times Selasa (29/2) kemarin.



Sentimen utama lain adalah kabar buruk yang datang dari China. Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut kembali akan melakukan karantina wilayah (lockdown) di kota Shanghai.

Kenaikan kasus Covid-19 membuat pemerintah China melakukan lockdown dengan membagi Shanghai menjadi dua menggunakan patokan Sungai Huangpu. Distrik di sebelah timur sungai, dan beberapa di baratnya, akan dikunci antara 28 Maret dan 1 April. Area yang tersisa akan dikunci antara 1 dan 5 April.

Sebagai negara utama tujuan ekspor, lockdown yang dilakukan China tentunya bisa berdampak ke negara perdagangan Indonesia yang sudah membukukan surplus 22 bulan beruntun.

Selanjutnya investor juga perlu memperhatikan volatilitas harga komoditas, yang kian hari semakin sulit diprediksi. Setelah cenderung melemah selama dua pekan sebelumnya, pekan lalu komoditas tambang, energi dan perkebunan kompak menguat.

Akan tetapi lockdown di China dan prospek damai antara Rusia dan Ukraina membuat harga minyak dunia kembali jatuh. Setelah ambles nyaris 7% pada perdagangan Senin, kemarin harga minyak dunia kembali menyusut 2%. Tidak hanya itu, komoditas tambang lain seperti nikel dan tembaga ikut melemah pada perdagangan kemarin di LME.

Dari negeri Paman Sam, investor hingga ekonom menyimak secara seksama pergerakan imbal hasil surat utang negara. Inversi yield obligasi Amerika Serikat yang terjadi memicu kecemasan akan potensi kembali munculnya resesi.

Inversi terjadi pada yield tenor 5 tahun (2,606%) dan tenor 30 tahun (2,591%). Kedua tenor ini terakhir kali mengalami inversi - yield tenor pendek lebih tinggi dari tenor panjang - pada 2006, yang mana dua tahun setelahnya dunia dilanda krisis finansial.

Riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu mengungkapkan bahwa sejak tahun 1955, ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti akan dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, hanya sekali saja inversi yoeld tidak memicu resesi (false signal).

Inversi yield Treasury tenor 2 tahun dan 10 tahun terakhir kali terjadi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meskipun tidak dapat dielakkan bahwa pandemi covid merupakan kontributor utama resesi tersebut.

Inversi yield dan resesiFoto: WSJ
Inversi yield dan resesi

Sementara itu, para peneliti di The Fed akhir pekan lalu (25/2) mengeluarkan publikasi yang berpendapat bahwa kekuatan prediksi resesi yang akan datang oleh spread Treasuries 2 dan 10 tahun "mungkin [hanya sinyal] palsu," dan menyarankan acuan yang lebih baik adalah spread Treasuries dengan jangka waktu kurang dari 2 tahun.

Inversi yoeld Treasury terjadi karena Imbal hasil utang pemerintah AS jangka pendek meningkat secara cepat tahun ini, mencerminkan ekspektasi serangkaian kenaikan suku bunga oleh The Fed, dengan imbal hasil obligasi pemerintah dengan jangka waktu lebih panjang bergerak lebih lambat di tengah kekhawatiran pengetatan kebijakan dapat membebani ekonomi. .

Baru-baru ini pimpinan tertinggi The Fed telah menyebut bahwa kedepannya mereka dapat saja menaikkan suku bunga secara agresif hingga 50 bps bila benar-benar diperlukan.

Sementara itu Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuannya, setidaknya sampai Rapat Dewan Gubernur Selanjutnya. Meski demikian, Analis keuangan dan ekonom banyak yang memprediksi bahwa RI setidaknya akan melakukan dua kali kenaikan suku bunga dan paling cepat dilakukan pada kuartal kedua tahun ini.

Terakhir dari dalam negeri, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa Bursa Efek Indonesia (BEI) Laksono W. Widodo akhirnya buka suara terkait rencana kenaikan tarif PPN untuk transaksi saham mulai 1 April 2022.

Laksono mengatakan PPN dipungut oleh Anggota Bursa (AB) atas komisi sebagai Dasar Pengenaan Pajak, sehingga besaran PPN yang harus dibayar oleh Investor bergantung pada nilai transaksi yang dilakukan oleh investor dan besaran komisi dari masing-masing AB.

Laksono beranggapan bahwa " kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% tidak terlalu berdampak bagi investor pemula atau investor retail, karena akan mengikuti (proporsional) dengan besaran nilai transaksi yang dilakukan oleh Investor."

Sebelumnya pemerintah juga baru saja menetapkan aturan Bea Meterai, di mana Trade Confirmation dengan nilai transaksi sampai di atas Rp10 juta dikenakan biaya Rp 10.000, sementara transaksi di bawah itu bebas dari Bea Meterai.

(fsd/fsd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular