
Ditarik Omicron Didorong Musim Laba, IHSG Mau ke Mana?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan lalu terbilang mengecewakan. Di mana IHSG ambles lebih dari 1% seiring meningkatnya volatilitas pasar saham global.
Minggu lalu, Indeks acuan Tanah Air tersebut ambles 1,2% secara point-to-point. Namun pada perdagangan Jumat (29/1/2022) kemarin, IHSG ditutup menguat 0,52% ke level 6.645,51. IHSG lagi-lagi makin menjauhi level all time high (ATH) yang sempat ditorehkan kembali pada 21 Januari 2022 lalu.
Selama sepekan, nilai transaksi IHSG mencapai Rp 60,4 triliun. Investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) nyaris Rp 74 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp 186 miliar di seluruh pasar.
Secara harian, sejatinya IHSG memang lebih banyak menguat di pekan lalu, di mana hanya dua hari IHSG terkoreksi, yakni pada hari Senin dan Selasa. Tetapi, koreksi yang terjadi pada perdagangan awal pekan lalu tersebut terbilang cukup parah, yakni terkoreksi hingga 1% lebih.
Meningkatnya volatilitas pasar saham global turut memperberat kinerja IHSG pada, di mana investor masih mengkhawatirkan potensi pengetatan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS).
Pekan lalu, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengadakan rapat pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC) yang berlangsung selama dua hari dimulai pada Selasa hingga Rabu waktu AS.
Pada Rabu siang waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed mengumumkan hasil rapatnya, di mana bank sentral paling berpengaruh di dunia itu sepakat untuk menaikan suku bunga acuannya pada Maret mendatang.
Hal ini dilakukan oleh The Fed untuk mengekang kenaikan inflasi, di mana inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada Desember 2021 sudah berada di angka 7%. Investor global juga masih tetap waspada dengan sikap The Fed yang semakin hawkish ke depannya.
Sementara itu rupiah sepanjang pekan lalu kembali mencatatkan koreksi, di tengah masih perkasanya dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir dari Refinitiv pada minggu lalu, rupiah terkoreksi 0,35% secara point-to-point. Pada perdagangan Jumat (29/1/2022), rupiah ditutup cenderung stagnan di level Rp 14.385/US$.
Pelemahan tersebut semakin membesar, di mana pada pekan sebelumnya rupiah juga ditutup melemah 0,28% di hadapan sang greenback.
Indeks saham utama AS menguat pada hari terakhir perdagangan pekan lalu dan menutup salah satu minggu paling kacau dalam ingatan dengan torehan positif, didukung oleh kinerja pendapatan dan laba yang kuat dari Apple dan perusahaan besar lainnya.
Pergerakan tersebut merupakan kabar baik bagi investor dengan bulan Januari yang menegangkan akan segara berakhir hari Senin (31/1) ini. S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average menghentikan penurunan beruntun selama tiga minggu.
Nasdaq Composite yang padat dengan saham teknologi melonjak 3,1% pada perdagangan Jumat serta menghapus kerugiannya sepekan, yang meski berakhir di zona hijau pergerakannya relatif datar. Dua indeks utama lainnya, Dow dan S&P mengakhiri minggu dengan kenaikan masing-masing 1,3% dan 0,8%.
Pekan ini, trader dan investor juga masih mengharapkan lebih banyak volatilitas karena pendapatan perusahaan terus menjadi berita utama dan investor terus mengawasi faktor-faktor lainnya seperti suku bunga dan rilis data ekonomi.
Beberapa kinerja positif pendapatan dana laba perusahaan besar ikut menjadi penyemangat bagi para investor. Saham Apple, perusahaan publik terbesar di dunia berdasarkan kapitalisasi pasar, pada hari Jumat menguat 7%, sehari setelah pembuat iPhone tersebut mengumumkan rekor pendapatan dan laba.
Namun, indeks saham utama masih jauh dari level tertingginya. S&P 500 sejauh ini turun 7,60% di bulan Januari, Dow Jones terkoreksi 5,08% dan Nasdaq ambles 13,03% sejak awal tahun.
Data pemerintah yang dirilis Jumat menunjukkan tekanan meningkat pada harga yang membuat para pembuat kebijakan khawatir. Ukuran inflasi yang disukai The Fed yakni indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi inti, naik 4,9% pada bulan Desember dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada ukuran metrik terpisah, data menunjukkan bahwa pengusaha AS menghabiskan 4% lebih banyak untuk upah dan tunjangan selama setahun terakhir-peningkatan yang tidak terlihat sejak 2001-karena pasar tenaga kerja yang ketat mendorong pekerja untuk menuntut upah yang lebih tinggi.
Namun, biaya tenaga kerja tidak naik sebanyak pada kuartal keempat seperti yang diantisipasi para ekonom, meredakan kekhawatiran bahwa ekonomi AS sedang menuju "wage-price spiral." Dalam skenario seperti itu, kenaikan gaji dan kenaikan harga saling menguatkan dan memicu inflasi.
Sementara itu, data terbaru Departemen Perdagangan menunjukkan belanja konsumen turun bulan lalu di tengah kenaikan harga dan dampak dari gelombang Omicron Covid-19. Beberapa data menunjukkan bahwa varian yang sangat menular telah mencapai puncaknya di kawasan padat penduduk AS, dengan terus melonjak di tempat lain.
Kekhawatiran inflasi telah diantisipasi dalam laporan pendapatan perusahaan minggu lalu. Mondelez International mengatakan Kamis (27/1) bahwa perusahaan kemungkinan akan menaikkan harga lebih lanjut tahun ini. Pengumuman bahwa profitabilitas perusahaan tertekan oleh kenaikan biaya bahan dan transportasi tersebut dikuti dengan koreksi 1,6% pada perdagangan Jumat.
Secara umum pendapatan perusahaan lain tercatat solid. Hampir sepertiga dari perusahaan di S&P 500 telah melaporkan hasil kuartal keempat, dan 78% dari mereka telah mengalahkan perkiraan analis untuk laba per saham, menurut data dari FactSet.
DI pasar komoditas, gas alam berjangka AS melonjak 8,3% karena badai salju mengancam akan melanda Pantai Timur dan ahli metereologi mengatakan Februari akan lebih dingin dari yang diantisipasi yang akan menaikkan permintaan.
Investor tercatat membeli obligasi pemerintah pada hari Jumat, menekan imbal hasil. Yield Treasury 10-tahun turun menjadi 1,779% dari 1,807% pada hari Kamis. Sebagai catatan, yield obligasi bergerak ke arah yang berlawanan dengan harga.
Sejumlah rilis data ekonomi diproyeksikan akan memengaruhi gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pekan depan.
Pertama, aktivitas manufaktur China melambat pada bulan Januari dibandingkan bulan sebelumnya. Hal tersebut karena langkah pengetatan dalam upaya meredam penyebaran virus corona penyebab Covid-19.
Indeks manufaktur PMI yang disurvei oleh Badan Statistik Nasional China (NBS) tercatat 50,1 pada Januari. Angka tersebut turun dari bulan Desember sebesar 50,3.
Secara terpisah, survei yang dilakukan oleh majalah bisnis Caixin mencatat PMI Manufaktur China sebesar 49,1 pada bulan Januari, turun 50,9 pada bulan Desember. Ini berarti aktivitas manufaktur China masuk ke zona kontraksi.
Kedua, rilis dalam PMI manufaktur Amerika Serikat (AS) yang akan rilis 1 Februari. Mengacu poling Reuters, PMI Manufaktur AS diperkirakan melambat menjadi 57,5 dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 58,7.
Turunnya aktivitas manufaktur China dan AS dapat berdampak negatif terhadap ekonomi Indonesia. Ini karena kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut merupakan mitra dagang utama Indonesia. Peran China dan AS terhadap ekspor Indonesia sebesar 23,24% dan 11,68%. Sedangkan untuk impor, masing-masing berperan 32,5% dan 5,08% terhadap total nilai impor Indonesia.
Sekadar informasi, PMI dicatat dengan skala 100 poin di mana angka di atas 50 menunjukkan aktivitas berkembang dan di bawah menunjukkan kontraksi.
Dari dalam negeri, rilis inflasi dan PMI manufaktur akan rilis pekan depan patut dicermati. Berdasarkan pemantauan harga pada minggu keempat Januari, Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi pada Januari sebesar 0,53%month-to-month(mtm), turun dari inflasi bulan lalu sebesar 0,57% mtm.
Inflasi yang turun pada Januari 2021 disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah melandainya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, walaupun masih harganya masih tinggi. Kemudian, melejitnya kasus Covid-19 galur Omicron cukup memberi dampak terhadap kepercayaan masyarakat untuk berbelanja.
Sedangkan PMI Manufaktur Indonesia akan dirilis pada tanggal 2 Januari. Bulan Desember PMI Manufaktur Indonesia tercatat 53,5.
Musim pelaporan keuangan emiten pada kuartal IV-2022 bisa jadi booster bagi IHSG. Harapannya kinerja emiten di 2021 membaik karena re-opening ekonomi, terutama emiten sektor komoditas yang dipengaruhi oleh tingginya harga acuan dunia.
Musim rilis laporan keuangan untuk kinerja tahun 2021 dibuka manis setelah tiga bank besar Indonesia panen laba.
PT Bank Negara Indonesia (Persero)Tbk(BBNI) berhasil membuat kinerja positif pada tahun buku 2021.Laba BBNI 2021 tercatat Rp 10,89 triliun atau tumbuh 232,32%yoy, naik 3 kali lipat dari laba pada 2020.
Kemudian, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) mencatatkan laba bersih senilai Rp 28,02 triliun sepanjang 2021. Angka ini mengalami kenaikan 66,83% secara tahunan dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 16,80 triliun.
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) kemarin juga melaporkan laba bersih sebesar Rp 31,4 triliun sepanjang 2021, tumbuh 15,8%year-on-year(YoY) dari laba bersih tahun 2020.
Sementara perkembangan situasi pandemi Covid-19 Indonesia tak luput dari perhatian investor. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan ada tambahan 11.588 kasus konfirmasi positif pada Sabtu (27/1/2021), tertinggi dalam lebih dari lima bulan terakhir.
Perlu diingat, tanggal 31 Januari adalah akhir dari PPKM. Dengan angka Covid-19 saat ini terbuka lebar potensi status PPKM akan ditingkatkan terutama di Jakarta sebagai pusat ekonomi Indonesia.
Jika status PPKM ditingkatkan dari level 2 menjadi level 3, akibatnya ekonomi akan menjadi lesu dan membuat ekspektasi kinerja keuangan emiten-emiten menjadi turun pada kuartal I-2022. Tentu saja hal ini menjadi sentimen negatif
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Data Penjualan Ritel Jepang Desember (06.50 WIB)
- Kredit Sektor Swasta Australia Desember (07.30 WIB)
- Indeks Keyakinan Konsumen Jepang (12.00 WIB)
- Laporan Neraca Dagang Turki Desember (14.00 WIB)
- Pembacaan Awal Laju Inflasi Spanyol Januari (15.00 WIB)
- Laju Pertumbuhan PDB Italia Kuartal IV 2021 (16.00 WIB)
- Laju Pertumbuhan PDB Uni Eropa Kuartal IV 2021 Flash (17.00 WIB)
- Pembacaan Awal Laju Inflasi Jerman Januari (20.00 WIB)
Hari ini setidaknya terdapat dua agenda korporasi yang akan dilaksanakan yakni:
- Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Pan Brothers Tbk (PBRX)
- Cum date saham bonus PT Batavia Prosperindo Finance Tbk (BPFI) rasio 2:1
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
(fsd/fsd) Next Article Powell Buat Pasar Happy, IHSG Bisa Cuan Saat Window Dressing