
Sentimen Negatif Menyelimuti, Mampukah IHSG Bertahan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali tumbang pada perdagangan hari kedua dalam minggu ini. Sedangkan rupiah terkulai lemas di hadapan dolar dan mata uang Asia lainnya.
IHSG ditutup melemah signifikan dengan koreksi 1,31% di level 6.586,17 pada perdagangan Selasa (25/1/2022). IHSG sempat terkoreksi parah ke posisi paling rendahnya yakni koreksi 1,97% di level 6.523,92.
Nilai transaksi tercatat mencapai Rp 13,27 triliun. Asing pun masuk ke bursa saham domestik dengan net buy di pasar reguler mencapai Rp 36,6 miliar.
Pergerakan IHSG mengekor indeks saham kawasan Asia yang juga terbenam di zona merah dengan Nikkei Jepang yang ambles menyusul Dow Futures yang terpantau longsor 0,86%.
Performa rupiah di hadapan mata uang AS dan negara-negara Asia pada perdagangan hari kemarin cenderung melemah.
Rupiah melemah 10,5 poin (0,07%) di hadapan dolar AS ke Rp 14.350,5/US$.
Sedangkan di hadapan mata uang negara-negara Asia rupiah melemah 2,30 poin (-0,10%) di hadapan yuan China ke Rp 2.267,78/CNY. Di hadapan yen Jepang, mata uang Tanah Air terdepresiasi 0,19 poin (-0,15%) ke Rp 126,03/JPY.
Rupiah juga merah di hadapan dolar Singapura, minus 22,48 poin (-0,21%) ke Rp 10.675,48/SGD.
Pelemahan IHSG dan rupiah karena investor menanti pengumuman kebijakan The Fed Kamis dini hari waktu Indonesia.
Terkait perkembangan Covid-19, angka kasus positif harian Covid-19 bertambah 4.878 kasus terkonfirmasi kemarin. Ini merupakan tambahan kasus tertinggi sejak September 2021.
Investor mulai was-was pemerintah akan kembali menarik rem darurat saat kasus Covid-19 semakin melesat dan menjadi sentimen negatif bagi aset berisiko seperti saham.
Sementara itu, harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup beragam pada perdagangan kemarin.
SBN bertenor satu tahun, 10 tahun, 20 tahun, dan 25 tahun ramai diburu oleh investor, ditandai oleh menguatnya harga dan turunnya imbal hasil (yield).
Sebaliknya, SBN dengan jatuh tempo tiga tahun, lima tahun, 15 tahun, dan 30 tahun cenderung dilepas oleh investor. Hal ini ditandai oleh melemahnya harga dan kenaikan yield.
Bursa saham AS jatuh setelah Senin kemarin sempat bangkit. Nasdaq jadi yang terparah karena prospek saham teknologi yang menjadi buram akibat potensi kenaikan suku bunga The Fed.
Indeks Dow Jones ditutup di 34.297,73, turun 0,19%. Kemudian indeks S&P 500 anjlok 1,22% menjadi 4.356,43 dan Nasdaq Composite merosot 2,28% menjadi 13.539,29.
Anggota Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) berkumpul pada hari Selasa dan Rabu untuk membahas kebijakan moneter. Investor menanti hasil rapat tersebut untuk kejelasan mengenai agenda kenaikan suku bunga.
Ketegangan geopolitik menambah ketidakpastian investor, dengan NATO menempatkan pasukan dengan status siaga. Amerika Serikat menempatkan pasukan dalam siaga tinggi sebagai tanggapan atas penumpukan pasukan Rusia di sepanjang perbatasan Ukraina.
Musim pelaporan kinerja keuangan pada kuartal IV-2021 berjalan cukup memuaskan. Sejauh ini dari 79 perusahaan di S&P 500 melaporkan, 81% memberikan hasil yang lebih baik dari perkiraan, menurut Refinitiv.
Analis mencatat pertumbuhan pendapatan agregat perusahaan di S&P 500 sebesar 24,1% untuk periode Oktober-Desember, melansir Refinitiv.
Pendapatan kuartalan General Electric Co turun karena terbebani oleh gangguan pasokan global. Sementara IBM melaporkan pendapatan kuartalan yang memuaskan setelah bisnis cloud dan konsultasinya bertumbuh.
Laba American Express telah melampaui perkiraan pada kuartal IV-2021. Sementara Johnson & Johnson meyakini pendapatannya akan bertumbuh 46% karena penjualan vaksin 2022.
Berbagai sentimen negatif baik dari luar maupun dalam negeri berpotensi menekan laju IHSG hari ini.
Pertama, ketidakpastian dari kebijakan moneter The Fed yang akan diumumkan Kamis dini hari waktu Indonesia.
Goldman Sachs memproyeksikan kenaikan sebanyak 4 kali tahun ini. Namun, bank investasi ini melihat ada risiko bahwa kenaikan suku bunga akan lebih banyak dari itu karena lonjakan inflasi.
Kenaikan suku bunga di AS bisa berdampak pada aliran dana asing yang keluar dari Indonesia. Diperkirakan akan ada sedikit goncangan di pasar keuangan Indonesia. Walaupun tidak separah yang terjadi pada tahun 2013, karena fundamental ekonomi Indonesia yang lebih kuat.
Maka dari itu investor diperkirakan akan bersikap wait and see menunggu pertemuan The Fed selesai untuk mendapatkan sinyal agenda kenaikan suku bunga AS.
Kedua, Investor juga mulai mencermati perkembangan di Benua Biru di mana potensi terjadinya konflik militer lumayan tinggi akibat perseteruan antara Ukraina dan Russia. Ketegangan geopolitik menambah ketidakpastian investor.
Ketiga, bursa AS rontok pada perdagangan kemarin jadi sinyal negatif bagi pasar saham Asia dan Indonesia. Ini karena bursa saham Paman Sam tersebut adalah kiblat pasar saham dunia. Jika Wall Street anjlok, ada kecenderungan IHSG ikut ambruk.
Keempat, Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi perkiraan ekonomi global, AS, dan China menjadi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
Gita Gopinath, pejabat tinggi IMF mengatakan proyeksi pertumbuhan global tahun 2022 sebesar 4,4%, turun 0,5 basis point (bps) dari perkiraan sebelumnya. Ini karena penurunan proyeksi untuk AS dan China. Covid-19 dengan varian barunya masih jadi beban bagi pertumbuhan ekonomi global karena dampaknya yang sistemik.
Ekonomi AS diperkirakan tumbuh sebesar 4% pada tahun 2022 setelah tumbuh 5,6% pada tahun 2021. Proyeksi ini turun 1,2 bps dari perkiraan sebelumnya. IMF menurunkan proyeksi China sebesar 0,8 bps menjadi 4,8% pada tahun 2022 setelah pertumbuhan 8,1% pada tahun 2021.
Pertumbuhan ekonomi AS dan China yang melambat akan berpengaruh ke Indonesia. Sebab kedua negara adidaya tersebut merupakan mitra dagang utama Indonesia. Peran China dan AS terhadap ekspor Indonesia masing-masing sebesar 23,24% dan 11,68%. Sedangkan untuk impor perannya masing-masing 32,5% dan 5,08%.
Dari dalam negeri, perkembangan Covid-19 tak luput dari perhatian investor. Masalahnya Covid-19 di Indonesia dalam tren menanjak.
Angka kasus positif harian Covid-19 bertambah 4.878 kasus terkonfirmasi kemarin. Ini merupakan tambahan kasus tertinggi sejak September 2021.
Biang keladi kenaikan kasus harian Covid-19 Indonesia adalah Omicron. Hingga Selasa (25/1/2021) secara kumulatif, ada 1.665 kasus konfirmasi Omicron ditemukan di Indonesia.
Hal ini akan membuat investor cemas terhadap pemerintah yang bisa sewaktu-waktu menarik rem darurat saat kasus Covid-19 semakin melesat.
Akibatnya ekonomi akan menjadi lesu dan membuat ekspektasi kinerja keuangan emiten-emiten menjadi turun. Tentu saja hal ini menjadi sentimen negatif bagi aset berisiko seperti saham.
Namun, kabar dari dalam negeri tidak gelap-gelap amat. Industri kendaraan bermotor roda dua mulai bergairah pada tahun 2022, tercermin dari penjualan domestik yang mencapai 5.057.516 unit. Jumlah ini naik 38% dibandingkan dengan tahun 2020 yang terjual 3.660.616 unit.
Ini menjadi indikator konsumsi masyarakat Indonesia yang kembali pulih pada tahun 2021 dibandingkan dengan tahun 2020. Konsumsi sendiri adalah penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kontribusinya sebesar 53,09% terhadap PDB Indonesia.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Lelang 5-Year Note AS (01.00 WIB).
- Rangkuman Opini Bank Jepang (06.50 WIB).
- Rilis data Investasi Asing Langsung Kuartal IV-2021 (11.30 WIB).
- Indeks Keyakinan Konsumen Perancis Januari 2022 (14.45 WIB).
- Lelang 10-Year Bond Jerman (17.30 WIB).
- Rilis data Penjualan Rumah Baru AS Desember 2021 (22.00 WIB).
- Rilis Data Perubahan Cadangan Minyak Mentah AS per 21 Januari 2022 (22.30 WIB).
Berikut agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:
- IPO PT Net Visi Media Tbk (09.00 WIB)
- RUPSLB PT Magna Investama Mandiri Tbk/MGNA (10.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
(ras/vap) Next Article Powell Buat Pasar Happy, IHSG Bisa Cuan Saat Window Dressing