Newsletter

Ngeri-ngeri, Gak Sedap! Hantu Omicron & SBN AS Bergentayangan

Putra, CNBC Indonesia
10 January 2022 06:15
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan pertama bulan Januari 2022, pasar keuangan domestik maupun global masih diwarnai dengan sentimen seputar the Fed yang akan menaikkan suku bunga acuan serta kembali merebaknya kasus Covid-19.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di level 6.701,32 di akhir perdagangan Jumat (7/1/2021). IHSG sukses menguat 0,54% dalam sepekan.

Di tengah potensi kenaikan suku bunga acuan global, asing masih melirik saham-saham di dalam negeri. Hal ini tercermin dari net buy asing di pasar saham yang mencapai Rp 2,19 triliun baik di pasar reguler maupun pasar negosiasi dan tunai.

Aliran modal asing tersebut masuk ke saham-saham big cap. Menariknya, asing juga memborong saham bank digital seperti PT Bank Jago Tbk (ARTO) dan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) senilai lebih dari Rp 300 miliar dalam perdagangan sepekan kemarin.

Beda nasib dengan pasar saham, harga obligasi pemerintah Indonesia (SBN) cenderung mengalami koreksi. Hal ini tercermin dari yield atau imbal hasil yang diberikan.

Sebagai informasi, yield SBN 10 tahun Indonesia ditutup di level 6,42% di akhir pekan. Padahal di awal pekan yield masih berada di 6,37%. Artinya dalam satu minggu terakhir yield naik 5 bps.

Nasib SBN memang tak semujur saham di minggu pertama awal tahun 2022. Jika di pasar saham mencatatkan inflow, pasar SBN justru sebaliknya. Bank Indonesia (BI) melaporkan asing net sell sebesar Rp 2,93 triliun dari SBN pada periode 3-6 Januari 2022.

Outflow tersebut membuat kepemilikan asing di SBN RI terus menurun dan sekarang sudah di bawah 20%. Di sisi lain outflow yang besar juga menyebabkan yield naik.

Kalau dilihat kembali, investor memang lebih condong ke pasar saham dibandingkan dengan pasar SBN. Ini artinya risk appetite investor masih lumayan terjaga di tengah risiko global dari pandemi dan inflasi yang meningkat.

Senada dengan SBN, nilai tukar rupiah juga mengalami depresiasi terhadap dolar AS. Pada periode yang sama rupiah melemah 0,64% ke level Rp 14.355/US$ di pasar spot. Kabar pengetatan moneter yang lebih cepat dari the Fed menjadi beban bagi mata uang garuda.

Dari dalam negeri, rilis data makro ekonomi datang dari inflasi dan cadangan devisa. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi Desember 2021 tercatat naik 1,87% year on year (yoy) dan menjadi yang tertinggi sepanjang tahun 2021.

Sementara itu cadangan devisa Indonesia pada periode yang sama tercatat sebesar US$ 144,9 miliar atau turun US$ 1 miliar dari posisi periode sebelumnya. BI mengatakan penurunan ini diakibatkan salah satunya oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Beralih ke bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street justru kurang bergairah di sepanjang pekan lalu. Indeks saham acuan S&P 500 justru tercatat melemah 2,49%.

Pada perdagangan pekan terakhir Jumat (7/1), tiga indeks saham Bursa New York kompak melemah. Indeks Dow Jones melemah tipis 0,01% sedangkan S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing ambles 0,41% dan 0,96%.

Bahkan untuk Nasdaq Composite terpantau mencatatkan kinerja mingguan terburuknya sejak Februrari 2021 setelah anjlok 4,5% di 5 hari perdagangan perdana 2022.

"Pasar saham [AS] sedang mengalami transisi sekarang setelah mencatatkan kinerja yang kuat pada 2021" kata Jay Pestrichelli, co-founder ZEGA Financial. Lebih lanjut Jay mengatakan bahwa volatilitas yang lebih tinggi tersebut disebabkan oleh perubahan kebijakan bank sentral.

Di minggu pertama Januari, the Fed merilis risalah rapat komite pengambil kebijakan (FOMC). Dalam rilis tersebut, para pejabat bank sentral AS mengatakan bersiap untuk menaikkan suku bunga acuan lebih awal.

Data kontrak CME FedWatch yang terbaru bahkan menunjukkan the Fed kemungkinan menaikkan suku bunga acuan pertama kali di bulan Maret 2022 dengan probabilitas lebih dari 60%.

Angka tersebut lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya di November dan Desember tahun lalu ketika pelaku pasar memprediksi kenaikan suku bunga pertama kali bakal dilakukan di bulan Juni 2022.

Senada dengan Jay, Keith Lerner selaku Chief Market Strategist di Truist juga mengatakan bahwa perubahan kebijakan moneter the Fed telah memicu terjadinya volatilitas di pasar.

Yield US treasury atau SBN-nya AS terpantau terus meningkat di pekan pertama Januari. Pada perdagangan terakhir pekan lalu, yield US treasury ditutup di level 1,77% padahal di akhir tahun masih di kisaran 1,5%. Artinya ada kenaikan hampir 30 bps sendiri.

Kabar lain yang kurang sedap juga datang dari pasar tenaga kerja AS. Data Non-Farm Payrolls (NFP) di bulan Desember tercatat naik 199 ribu. Namun kenaikan tersebut masih jauh lebih rendah dari perkiraan konsensus di 422 ribu.

Kendati cukup mengecewakan, ada beberapa poin di laporan ketenagakerjaan AS yang mencerminkan bahwa ekonomi terus menunjukkan pemulihan dan kenaikan inflasi.

Hal tersebut tampak dari rerata pendapatan per jam yang naik 0,6% serta tingkat pengangguran yang berada di level 3,9% terendah sejak Februari 2020 dan lebih rendah dari proyeksi pasar di 4,1%.

Pelemahan harga saham di AS serta kenaikan yield obligasi pemerintah AS patut dicermati oleh investor mengingat dampaknya juga bisa dirasakan oleh pasar keuangan negara berkembang seperti Indonesia.

Kondisi inflasi yang terus meningkat memang bakal memicu bank sentral untuk mengetatkan kebijakan moneternya lewat penurunan injeksi likuiditas dan kenaikan suku bunga.

Secara historis, siklus pengetatan moneter bukanlah kabar baik untuk pasar keuangan global. Naiknya suku bunga acuan akan membuat yield surat utang pemerintah yang sering dikenal sebagai risk free meningkat.

Di sisi lain, suku bunga acuan yang naik juga akan memicu kenaikan suku bunga kredit perbankan. Secara tujuan memang kenaikan suku bunga dilakukan oleh otoritas moneter untuk mengerem ekonomi agar tidak tumbuh pesat dan menyebabkan overheat.

Namun borrowing cost yang lebih tinggi bisa menyebabkan beban pembiayaan bagi emiten meningkat. Alhasil turut menggerus earnings dan ekspektasi pembagian dividen yang berdampak pada penurunan harga saham.

Adanya normalisasi kebijakan moneter juga memicu terjadinya outflow dana asing dari negara emerging market seperti Indonesia yang dapat menyebabkan nilai tukar mengalami depresiasi terhadap dolar AS.

Kemudian risiko lain yang juga patut menjadi cermatan pelaku pasar adalah varian Omicron yang terus merebak luas.

Dalam beberapa laporan penelitian memang varian ini dinilai tak se-mengerikan varian Delta dalam hal tingkat keparahan penyakit. Namun varian ini terbukti jauh lebih menular.

Di pekan pertama Januari 2022, kasus infeksi harian Covid-19 global mengalami kenaikan yang tajam. Jika di akhir Desember kasus harian masih di kisaran 1 juta, per 8 Januari 2022 rerata kasus harian dalam sepekan sudah naik 2x menjadi 2,2 juta.

Senada dengan kenaikan kasus Covid-19 global, kasus harian di dalam negeri juga meningkat. Kasus infeksi harian Covid-19 di Indonesia sejak November sudah konsisten berada di bawah 500 kasus. Namun di pekan lalu kasus Covid-19 kembali menyentuh angka 500 kasus per hari.

Kenaikan kasus infeksi Covid-19 juga sejalan dengan naiknya kasus Covid-19 Omicron di Tanah Air. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tercatat penambahan kasus sebanyak 57 orang, sehingga total konfirmasi Omicron sebanyak 318 orang per Jumat (7/1/2022).

Penambahan 57 orang terdiri dari 7 orang transmisi lokal dan 50 orang pelaku perjalanan luar negeri. Secara keseluruhan, kasus transmisi lokal Omicron berjumlah 23 orang, sementara kasus dari pelaku perjalanan luar negeri berjumlah 295 orang.

Kenaikan kasus Covid-19 membuat pemerintah kembali mengambil langkah tegas dengan meningkatkan PPKM untuk mengendalikan agar penularan tidak semakin meningkat dan meluas.

Risiko dari normalisasi kebijakan moneter global akibat kenaikan inflasi dan pandemi Covid-19 lagi-lagi masih jadi hantu bagi pasar keuangan domestik. Oleh sebab itu investor dan pelaku pasar harus lebih waspada akan adanya peluang volatilitas yang tinggi di minggu ini.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Rilis data TD-MI Inflation Gauge Australia bulan Desember 2021 (07.00 WIB).
  • Rilis data tingkat pengangguran Italia bulan November 2021 (16.00 WIB).
  • Rilis data tingkat pengangguran Euro Area bulan November 2021 (17.00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY)

3,51 %

Inflasi (Desember 2021, YoY)

1,87%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2021)

-4,65% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021)

1,50% PDB

Cadangan Devisa (Oktober 2021)

US$ 144,9 miliar

 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(trp/vap) Next Article Investor Berdebar Menanti Rapat The Fed, IHSG Rawan Terkoreksi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular