Newsletter

Alert! Wall Street Ambles Lagi, Waspada IHSG

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
14 December 2021 06:12
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG (CNBC Indonesia/Muhammad sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air ditutup cenderung beragam pada perdagangan Senin (13/12/2021) kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah berhasil menguat, sedangkan harga SBN terpantau bervariasi pada perdagangan kemarin.

IHSG ditutup menguat 0,15% ke level 6.662,87 pada perdagangan kemarin. Sepanjang perdagangan kemarin, IHSG bertahan di zona hijau tanpa sekalipun menyentuh zona merah, meskipun pada akhir perdagangan kemarin penguatannya cenderung terpangkas.

Data perdagangan mencatat nilai transaksi indeks kemarin cenderung turun menjadi Rp 12,1 triliun. Sebanyak 270 saham menguat, 248 saham melemah dan 164 lainnya mendatar. Investor Asing tercatat kembali melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 537 miliar di pasar reguler.

Adapun bursa Asia pada perdagangan kemarin secara mayoritas ditutup menguat. Indeks Nikkei Jepang memimpin penguatan bursa Asia, dengan melesat 0,71%.

Indeks bursa saham Asia yang mengalami koreksi pada perdagangan kemarin yakni indeks Hang Seng Hong Kong, S&P BSE Sensex India, Straits Times Singapura, KOSPI Korea Selatan, dan Taiwan Weighted Index (TAIEX).

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Senin:

Sedangkan untuk rupiah pada perdagangan kemarin kembali ditutup menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Melansir data Refinitiv, US$ 1 dibanderol Rp 14.340 kala penutupan perdagangan. Rupiah terapresiasi 0,21%. Sedangkan di kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor, rupiah berada di Rp 14.346, menguat 0,22% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.

Sementara di Asia, mayoritas mata uang di kawasan tersebut terpantau melemah dihadapan dolar AS pada perdagangan kemarin, di mana dolar Taiwan menjadi yang paling besar pelemahannya.

Hanya yuan China, peso Filipina, baht Thailand, termasuk rupiah yang mampu mengalahkan sang greenback kemarin. Apresiasi 0,21% sudah cukup untuk membuat rupiah sebagai yang terbaik kedua di kawasan. Rupiah hanya kalah kuat dari baht.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Senin:

Adapun untuk pergerakan harga SBN pada perdagangan kemarin ditutup cenderung beragam. Sikap Investor di pasar obligasi pemerintah pun cenderung beragam kemarin.

Di SBN bertenor 3, 5, 25 dan 30 tahun ramai dikoleksi oleh investor, ditandai dengan menguatnya harga dan turunnya imbal hasil (yield).

Sebaliknya, di SBN berjatuh tempo 1, 10, 15, dan 20 tahun cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan melemahnya harga dan kenaikan yield.

Melansir data dari Refinitiv, SBN bertenor 5 tahun menjadi yang paling besar pelemahan yield-nya kemarin, yakni turun sebesar 3,1 basis poin (bp) ke level 4,816%.

Sedangkan SBN berjatuh tempo 1 tahun menjadi yang paling besar penguatan yield-nya, yakni naik signifikan 14,7 bp ke level 3,394%.

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara berbalik naik sebesar 0,6 bp ke level 6,314% pada Senin kemarin.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan kemarin:

Kabar positif datang dari perusahaan produsen vaksin yakni Pfizer dan BioNTech yang mengatakan bahwa data awal penelitian di lab mereka, tiga dosis vaksin buatan mereka mampu meredam Omicron secara efektif.

Di sisi lain, AS melaporkan bahwa virus Covid-19 varian omicron telah masuk ke Negara Adidaya tersebut dua pekan lebih dini dari yang semula diperkirakan, yakni tepatnya pada 15 November.

Meski demikian, tidak ada lonjakan angka kematian atau tsunami pasien Covid-19 di Negeri Paman Sam tersebut, mengindikasikan bahwa varian terbaru tersebut tidak memicu angka kematian dan keparahan, meski diduga lebih mudah menular.

Namun, pasar juga cenderung menahan untuk berinvestasi, karena mereka sedang memantau rapat kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terbarunya pada pekan ini.

Fokus investor pekan ini kemungkinan akan tertuju pada pertemuan kebijakan terbaru The Fed selama dua hari, yang dimulai pada Selasa (14/12/2021) waktu AS hingga Rabu (15/12/2021) waktu AS.

The Fed juga diperkirakan akan mengumumkan bahwa mereka akan mempercepat langkah pengurangan program pembelian asetnya (quantitative easing/QE) atau tapering pada pengumuman hasil rapat The Fed pekan ini.

Bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street ditutup merosot pada perdagangan Senin (13/12/2021), karena investor cenderung berhati-hati terkait bagaimana varian Omicron akan berdampak atau tidak pada ekonomi global dan jelang pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS pada Rabu (15/12/2021) waktu AS.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup terkoreksi 0,89% ke level 35.650,949, S&P 500 merosot 0,91% ke posisi 4.669,14, dan Nasdaq Composite ambles 1,39% menjadi 15.413,28.

Koreksi terjadi setelah saham maskapai AS terpantau berjatuhan, setelah AS mencatatkan 800.000 orang tewas akibat virus corona (Covid-19). Saham Boeing anjlok 3,7%, American Airlines drop 4,9%, dan Delta Air Lines terbanting 3,4%.

Sebaliknya, saham farmasi produsen vaksin yakni Moderna melesat 5,8% di penutupan perdagangan kemarin, setelah pakar penyakit menular terkemuka Gedung Putih, dr. Anthony Fauci menyebut suntikan booster Covid-19 sebagai "perawatan optimal", tetapi mengatakan definisi vaksinasi lengkap tidak akan berubah.

Peneliti Israel di Pusat Medis Sheba dan Laboratorium Virologi Pusat Kementerian Kesehatan AS menyimpulkan pada Sabtu (11/12/2021) bahwa dosis tiga kali vaksin Pfizer-BioNTech Covid-19 efektif terhadap varian Omicron. Saham Pfizer pun melonjak 4,6%.

Namun, varian baru telah mendorong beberapa pejabat pemerintah AS untuk memberlakukan kembali pembatasan kesehatan untuk memperlambat penyebaran. Pada Minggu (12/12/2021), pemerintah AS melaporkan ada sekitar 800.000 kematian akibat Covid-19.

Sementara itu di Inggris pada Senin kemarin, Perdana Menteri (PM) Boris Johnson mengkonfirmasi bahwa setidaknya satu pasien yang terinfeksi varian Omicron telah meninggal di negara itu.

"Kekhawatiran kembali terjadi ... mulai dari pasar yang baru-baru ini reli cepat kembali ke rekor tertinggi, hingga kekhawatiran Covid-19 yang sedang berlangsung. Tetapi 'gajah di ruangan hari ini' dan mungkin untuk beberapa hari ke depan adalah Federal Reserve dan betapa hawkish nada yang mereka adopsi akhir pekan ini," kata Jim Paulsen, kepala strategi investasi Leuthold Group, dilansir dari CNBC International.

Di lain sisi, investor juga masih mencerna dari data inflasi utama yang kembali memanas. Inflasi Negeri Paman Sam dari sektor konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada periode November 2021 yang dirilis Jumat (10/12/2021) pekan lalu melonjak menjadi 6,8% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Melonjaknya IHK AS pada bulan lalu merupakan lonjakan terbesar sejak 1982 silam. Angka tersebut juga sedikit lebih tinggi dari perkiraan ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan kenaikan 6,7%.

"Kami percaya pasar dapat terus mengambil pembacaan inflasi yang lebih tinggi, meskipun volatilitas tambahan tetap menjadi risiko. Dengan kebijakan The Fed yang relatif akomodatif, latar belakang ekuitas masih positif, dan kami mendukung pemenang dari pertumbuhan global," kata Mark Haefele, kepala investasi UBS Global Wealth Management, dikutip dari CNBC International.

Pembacaan inflasi utama datang jelang pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang dilaksanakan selama dua hari, yakni dari Selasa (14/12/2021) hari ini hingga Rabu (15/12/2021) waktu AS.

Dalam rapat FOMC kali ini, para pembuat kebijakan diperkirakan akan membahas percepatan dari program pengurangan pembelian obligasi atau tapering.

Ketua The Fed, Jerome Powell, beserta koleganya baru-baru ini menyarankan bank sentral dapat mengakhiri program pembelian obligasi bulanan senilai US$ 120 miliar lebih cepat dari jadwal saat ini, yakni Juni 2022.

Mempercepat batas waktu untuk tapering juga dapat memajukan kebijakan bank sentral untuk menaikan suku bunga acuan, di mana hal ini dapat menakuti investor.

Bursa Wall Street kembali tertekuk pada perdagangan kemarin, karena investor kembali khawatir setelah sekitar sepekan cenderung optimis. Investor kembali khawatir setelah pemerintah AS mencatatkan 800.000 orang tewas akibat virus corona (Covid-19).

Hal ini dapat mendorong adanya kembali pembatasan kegiatan masyarakat untuk memperlambat penyebaran, meskipun Presiden AS, Joe Biden telah menyerukan bahwa tidak ada pembatasan kembali kedepannya.

Sementara itu di Inggris pada Senin kemarin, Perdana Menteri (PM) Boris Johnson mengkonfirmasi bahwa setidaknya satu pasien yang terinfeksi varian Omicron telah meninggal di negara itu.

Kabar negatif tersebut terjadi setelah kabar baik seputar Omicron, di mana pakar penyakit menular terkemuka Gedung Putih, dr. Anthony Fauci menyebut suntikan booster Covid-19 sebagai "perawatan optimal", tetapi mengatakan definisi vaksinasi lengkap tidak akan berubah.

Peneliti Israel di Pusat Medis Sheba dan Laboratorium Virologi Pusat Kementerian Kesehatan AS menyimpulkan pada Sabtu (11/12/2021) bahwa dosis tiga kali vaksin Pfizer-BioNTech Covid-19 efektif terhadap varian Omicron. Saham Pfizer pun melonjak 4,6%.

Selain kabar kurang baik dari AS yang melaporkan kematian akibat Covid-19 sebanyak 800 ribu orang. Inflasi yang kembali memanas juga menjadi perhatian pasar AS kemarin dan hal ini masih akan menjadi sentimen pasar global setidaknya pada pekan ini.

Inflasi Negeri Paman Sam dari sektor konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada periode November 2021 yang dirilis Jumat (10/12/2021) pekan lalu melonjak menjadi 6,8% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Selain inflasi, pelaku pasar juga akan memantau rapat kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam pertemuan FOMC yang dimulai pada hari ini hingga Rabu (15/12/2021) waktu AS.

Dalam rapat FOMC kali ini, The Fed diprediksi berujung pada percepatan pengurangan pembelian obligasi di pasar sekunder (tapering) dan penguatan suku bunga acuan lebih cepat oleh bank sentral paling powerful di dunia tersebut.

Dari data ekonomi yang akan dirilis pada hari ini, investor akan mencermati rilis data inflasi AS dari sektor produsen (producer price index/PPI) periode November 2021.

Konsensus Tradingeconomics memperkirakan bahwa PPI Negeri Paman Sam pada periode bulan lalu akan kembali meningkat menjadi 9,2% secara tahunan (yoy), sedangkan secara bulanan (month-on-month/mom), PPI AS diperkirakan naik menjadi 0,6% pada bulan lalu.

PPI juga akan dipantau secara ketat oleh pasar pada hari ini, mengingat panasnya kembali inflasi dari sisi konsumen (IHK) periode November yang dirilis pada Jumat (10/12/2021) pekan lalu.

Sementara itu di kawasan Asia-Pasifik, data ekonomi yang akan dirilis pada hari ini yakni data harga ekspor-impor Korea Selatan periode November 2021, data indeks kepercayaan usaha National Australia Bank (NAB) periode November 2021, dan data produksi industrial Jepang periode Oktober 2021.

Sementara itu di Eropa, data ekonomi yang akan dirilis pada hari ini yakni data tingkat pengangguran Inggris periode November 2021 dan data produksi industrial Zona Euro pada Oktober 2021.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data harga ekspor-impor Korea Selatan periode November 2021 (04:00 WIB),
  2. Rilis data indeks kepercayaan usaha National Australia Bank (NAB) periode November 2021 (07:30 WIB),
  3. Rilis data produksi industrial Jepang periode Oktober 2021 (11:30 WIB),
  4. Rilis data tingkat pengangguran Inggris periode Oktober 2021 (14:00 WIB),
  5. Rilis data perubahan klaim pengangguran Inggris periode Oktober 2021 (14:00 WIB),
  6. Rilis data produksi industrial Zona Euro peirode Oktober 2021 (17:00 WIB),
  7. Rilis data indeks harga produsen (PPI) Amerika Serikat periode November 2021 (20:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY)

3,51%

Inflasi (November 2021, YoY)

1,75%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (November 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

5,82% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021)

1,5% PDB

Cadangan Devisa (November 2021)

US$ 145,9 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd) Next Article Hari Penentuan Tiba: AS Akan Buat Dunia Menangis atau Ketawa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular