
Wall Street Cerah Bergairah, IHSG Lanjut Menguatkah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali ditutup beragam pada perdagangan Kamis (23/9/2021) kemarin. Ini karena sentimen positif cenderung mendominasi pasar keuangan pada perdagangan kemarin
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat, sedangkan rupiah turun tipis dan harga surat berharga negara (SBN) kembali melemah.
IHSG ditutup menguat 0,56% ke level 6.142,71 pada perdagangan kemarin. Sepanjang perdagangan kemarin, pergerakan IHSG terpantau positif tanpa menyentuh zona merah sedikitpun.
Data perdagangan mencatat nilai transaksi pada perdagangan kemarin sedikit menurun menjadi Rp 13,3 triliun. Investor asing kembali melakukan aksi beli bersih (net buy) cukup besar, yakni mencapai Rp 1,02 triliun di pasar reguler. Sebanyak 260 saham menguat, 257 saham melemah dan 146 lainnya stagnan.
Sementara itu, bursa Asia pada perdagangan kemarin secara mayoritas ditutup cerah bergairah, di mana indeks BSE Sensex India dan Hang Seng Hong Kong memimpin penguatan bursa Asia kemarin.
Hanya indeks KOSPI Korea Selatan yang ditutup di zona merah pada perdagangan kemarin, yakni melemah 0,41%, karena investor mengakumulasikan sentimen ketika pasar saham Korea Selatan libur selama tiga hari terakhir.
Sementara untuk pasar saham Jepang pada perdagangan kemarin tidak dibuka karena sedang libur nasional dalam rangka hari Shubun no Hi (Ekuinoks Musim Gugur).
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Kamis (23/9/2021).
![]() |
Sedangkan untuk rupiah pada perdagangan Rabu kemarin ditutup cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Di kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor, rupiah kembali melemah tipis 0,05% ke level Rp 14.256. Sedangkan di pasar spot, US$ 1 setara dengan Rp 14.240, sama persis dengan posisi penutupan Rabu (22/9/2021), alias stagnan.
Sementara mata uang utama Asia lainnya mayoritas menguat di hadapan dolar AS. Hanya rupiah yang ditutup stagnan pada perdagangan kemarin.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Kamis (23/9/2021).
![]() |
Adapun untuk pergerakan harga SBN pada perdagangan kemarin kembali ditutup melemah, ditandai dengan masih naiknya imbal hasil (yield). Mayoritas investor kembali melepas SBN pada perdagangan kemarin.
Hanya yield SBN bertenor 3 dan 5 tahun yang yang masih ramai dikoleksi oleh investor dan mengalami pelemahan yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 3 tahun turun 3 basis poin (bp) ke level 3,846%, dan yield SBN berjatuh tempo 5 tahun melemah 2,5 bp ke level 4,853%. Sedangkan untuk yield SBN dengan tenor 25 tahun cenderung stagnan di level 7,201% pada perdagangan kemarin.
Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menguat 2,7 bp ke level 6,233% pada perdagangan kemarin.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Kamis (23/9/2021).
![]() |
Sentimen yang hadir di pasar saham global pada perdagangan kemarin lebih cenderung ke arah positif dan membuat investor kembali optimis.
Kekhawatiran investor terkait krisis likuiditas Evergrande mulai memudar, setelah pemerintah China serius untuk menyelesaikan masalah keuangan Evergrande.
Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) mengguyur dana hingga ratusan triliun rupiah ke sistem keuangan China. Hal ini dilakukan untuk menekan kekhawatiran pelaku pasar terhadap krisis perusahaan properti terbesar kedua di China, Evergrande Group.
Diwartakan oleh Bloomberg, Rabu (22/9/2021) lalu, PBoC menyuntikkan dana sebesar 120 miliar yuan (US$ 18,6 miliar) atau Rp 264 trilun lebih ke sistem perbankan lewat reverse repurchase agreements. Secara net, suntikan yang diberikan PBoC mencapai 90 miliar yuan.
Pasar juga merespons positif keputusan dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang tetap mempertahankan suku bunga acuannya mendekati nol.
Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) secara aklamasi mempertahankan suku bunga acuan di level 0-0,25% dan masih berbeda pendapat mengenai kapan saat yang tepat menaikkan kembali suku bunga acuan.
"Jika kemajuan terus terjadi seperti yang diharapkan, Komite memutuskan bahwa laju pembelian aset yang moderat mungkin bisa dijalankan," tutur The Fed usai rapat Kamis dini hari waktu Indonesia. Bank sentral terkuat di dunia tersebut telah membeli aset obligasi dari pasar senilai US$ 120 miliar per bulan.
The Fed juga mengisyaratkan bahwa program pengurangan obligasi bulanan (tapering) dapat dimulai sekitar bulan November mendatang hingga pertengahan tahun 2022.
Di lain sisi, proyeksi kebijakan mereka ke depan, yang sering disebut sebagai dot plot menunjukkan bahwa sembilan dari 18 anggota FOMC memperkirakan akan ada kenaikan suku bunga acuan pada tahun depan, naik dari proyeksi Juni sebanyak tujuh orang.
Dari bursa saham Negeri Adidaya (Amerika Serikat/AS), bursa Wall Street kembali ditutup cerah bergairah pada perdagangan Kamis (23/9/2021), setelah krisis Evergrande Group di China mulai mereda sementara bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terindikasi masih tetap dovish (pro-stimulus pasar).
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup terbang 1,48% ke level 34.764,82, S&P 500 berakhir melonjak 1,21% ke posisi 4.448,94, dan Nasdaq Composite China melesat 1,04% ke level 15.052,24.
Indeks Hang Seng Hong Kong berbalik menguat lebih dari 1% dari koreksi pekan ini. Saham Evergrande Group melesat lebih dari 17% setelah berkomitmen membayar kewajiban utangnya kepada para pemegang obligasi lokal.
Namun, investor global masih menunggu apakah perseroan akan membayar bunga obligasi, senilai US$ 83 juta yang akan jatuh tempo pada Kamis. Pemerintah China menegaskan Evergrande untuk menghindari gagal bayar (default) obligasi berbasis dolar AS.
Secara bersamaan, Wall Street Journal melaporkan bahwa pemerintah China sudah bersiap menyikapi "kemungkinan badai" jika Evergrande gagal.
Di lain sisi, pemerintah China juga telah memberikan bantuan dana hingga ratusan triliun rupiah ke sistem keuangan China. Hal ini dilakukan untuk menekan kekhawatiran pelaku pasar terhadap krisis perusahaan properti terbesar kedua di China, Evergrande Group.
Diwartakan oleh Bloomberg, Rabu (22/9/2021), bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) menyuntikkan dana sebesar 120 miliar yuan (US$ 18,6 miliar) atau Rp 264 trilun lebih ke sistem perbankan lewat reverse repurchase agreements. Secara net, suntikan yang diberikan PBoC mencapai 90 miliar yuan.
Bursa saham AS juga menguat setelah The Fed mempertahankan suku bunga acuannya di level 0-0,25%.
The Fed juga mengeluarkan pernyataan setelah pertemuan yang mengatakan jika kemajuan berlanjut "seperti yang diharapkan," maka "moderasi dalam kecepatan pembelian aset akan segera dibenarkan."
"Jika kemajuan terus terjadi seperti yang diharapkan, Komite menilai laju pembelian aset yang moderat mungkin bisa dijalankan," tutur The Fed usai rapat kemarin. Bank sentral terkuat di dunia ini telah membeli aset obligasi dari pasar senilai US$ 120 miliar per bulan.
Saham Salesforce menjadi pendorong kenaikan indeks Dow Jones pada dini hari tadi waktu Indonesia, di mana sahamnya melesat hingga 7,2% setelah perusahaan cloud tersebut menaikkan proyeksi kinerja keuangannya pada tahun 2022.
Sedangkan saham restoran, Darden termasuk menjadi pendorong kenaikan indeks S&P dini hari tadi, di mana sahamnya melesat 6,1% setelah melaporkan kinerja keuangan kuartal kedua tahun 2021 yang positif.
Saham yang terkait dengan pemulihan ekonomi global kembali menguat setelah sentimen dari Evergrande meroed. Saham General Electrics (GE) melesat 4,5%. Las Vegas Sands, yang memiliki eksposur China, melompat 3,2%, dan saham Caterpillar melonjak 2,7%.
Saham energi juga terpantau menguat dan memimpin penguatan di indeks S&P. Saham APA Corp. dan Devon Energy meroket lebih dari 7%, didorong oleh naiknya harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) ke level tertingginya sejak awal Agustus lalu, yakni di US$ 73,5 per barel.
Sementara itu dari data ketenagakerjaan AS, Departemen Tenaga Kerja AS merilis klaim tunjangan pengangguran awal, yang berujung pada angka 351.000 per pekan lalu, atau lebih buruk dari estimasi pasar sebanyak 320.000. Pekan sebelumnya, angka klaim tunjangan awal berada di level 332.000.
"The Fed mengirim nada positif, mengakui bahwa ekonomi cukup kuat untuk berdiri di atas kakinya sendiri dan bank sentral bisa mulai mengurangi stimulus moneter yang telah diberikan sejak awal krisis Covid-19," tutur Chris Zaccarelli, Direktur Investasi Independent Advisor Alliance, seperti dikutip CNBC International.
Kembali bergairahnya bursa Wall Street hingga melesat lebih dari 1% perlu dicermati oleh pelaku pasar pada hari ini.
Melesatnya bursa saham AS tersebut salah satunya didorong oleh sentimen dari krisis keuangan Evergrande yang mulai memudar, meskipun pelaku pasar juga masih perlu memantau perkembangannya.
Sentimen membaik setelah pemerintah China serius menangani permasalahan keuangan Evergrande, di mana pemerintah China telah memberikan bantuan dana hingga ratusan triliun rupiah ke sistem keuangan China. Hal ini dilakukan untuk menekan kekhawatiran pelaku pasar terhadap krisis perusahaan properti terbesar kedua di China, Evergrande Group.
Pemerintah China melalui PBoC mengaku telah menyuntikkan dana sebesar 120 miliar yuan (US$ 18,6 miliar) atau Rp 264 trilun lebih ke sistem perbankan lewat reverse repurchase agreements. Secara net, suntikan yang diberikan PBoC mencapai 90 miliar yuan.
Namun, yang masih perlu diamati oleh pelaku pasar terkait Evergrande adalah pembayaran obligasi senilai US$ 83 juta yang akan jatuh tempo pada Kamis. Pemerintah China menegaskan Evergrande untuk menghindari gagal bayar (default) obligasi berbasis dolar AS.
Sementara sentimen dari The Fed yang tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level mendekati nol juga masih akan menjadi sentimen positif di global pada hari ini, mengingat sentimen ini juga menjadi pendorong kenaikan Wall Street pada penutupan dini hari tadi.
Isu sinyal tapering (program pengurangan pembelian aset atau obligasi) juga akan menjadi sentimen pasar pada hari ini, di mana The Fed menyatakan bahwa tapering bisa dimulai pada November mendatang hingga pertengahan tahun 2022.
Di lain sisi, data klaim pengangguran AS mingguan untuk periode pekan yang berakhir 19 September juga masih perlu dicermati oleh pasar, setelah Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan bahwa ada 351.000 tunjangan pengangguran yang tercipta pada pekan lalu.
Sedangkan dari kabar beberapa komoditas, sentimen dari China yang tak akan lagi membangun proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di luar negeri juga perlu dicermati oleh pasar.
Presiden China, Xi Jinping dalam sidang Majelis Umum PBB pada Selasa (22/9/2021) malam waktu New York, AS menegaskan bahwa China tak akan lagi membangun proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di luar negeri.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk komitmen baru terkait kebijakan iklim untuk menangani pemanasan global.
Sebelumnya telah diketahui melalui pendanaan megaproyek 'Prakarsa Sabuk dan Jalan' atau Belt and Road Initiative (BRI) atau dulu bernama proyek OBOR (One Belt One Road), China berinvestasi di sejumlah proyek PLTU di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ia juga berjanji akan mempercepat upaya China untuk menjadi "netral karbon" di 2060, termasuk mendukung negara berkembang mengembangkan energy hijau dan rendah karbon.
Sementara itu dari data ekonomi yang akan dirilis pada hari ini, data pembacaan awal dari indeks manajer pembelian (Purchasing Manager's Index/PMI) masih akan berlanjut pada hari ini, di mana data awal PMI Manufaktur dan Jasa Jepang akan dirilis pada pagi hari ini.
Selain data PMI manufaktur dan jasa, Jepang juga akan merilisa data inflasinya pada periode Agustus 2021, di mana Negeri Matahari Terbit tersebut akan merilis data inflasi dari sisi harga konsumen (indeks harga konsumen/IHK).
Di Korea Selatan, data inflasi periode Agustus juga akan dirilis pada hari ini, di mana data inflasi yang akan dirilis dari sisi harga produsen (indeks harga produsen/PPI).
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data indeks harga produsen (PPI) Korea Selatan periode Agustus 2021 (04:00 WIB),
- Rilis data indeks keyakinan konsumen (IKK) GFK Inggris periode September 2021 (06:01 WIB),
- Rilis data indeks harga konsumen (IHK) Jepang periode Agustus 2021 (06:30 WIB),
- Rilis data awal PMI Manufaktur dan Jasa Jepang versi Jibun Bank periode September 2021 (07:30 WIB),
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (09:00 WIB),
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Panca Anugrah Wisesa Tbk (09:30 WIB),
- Rilis data produksi industrial Singapura periode Agustus 2021 (12:00 WIB),
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Aesler Group International Tbk (13:30 WIB),
- Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Nationalnobu Tbk (14:00 WIB),
- Pidato Ketua bank sentral Amerika Serikat (21:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2021 YoY) | 7,07% |
Inflasi (Agustus 2021, YoY) | 1,59% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (September 2021) | 3,5% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | -5,17% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021) | -0,8% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2020) | US$ -0,4 miliar |
Cadangan Devisa (Agustus 2021) | US$ 144,78 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd) Next Article Hari Penentuan Tiba: AS Akan Buat Dunia Menangis atau Ketawa?