Newsletter

Ada Bau-bau Cuan di Market Hari ini, Gaes!

Putra, CNBC Indonesia
03 September 2021 06:45
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan domestik ditutup tak kompak kemarin, Kamis (02/09/2021). Rupiah menguat, yield SUN acuan cenderung flat, sementara pasar saham masih terkoreksi.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan penurunan sebesar 0,21% dibanding perdagangan sehari sebelumnya. Indeks turun 12,7 poin ke 6.078,23. Pada perdagangan kemarin 210 saham tercatat menguat, 277 turun dan 160 stagnan.

Nilai transaksi cenderung relatif sepi karena tak mencapai Rp 10 triliun. Investor asing pun kali ini mencatatkan aksi jual dengan net foreign sell mencapai Rp 112,85 miliar di pasar regular.

Saham emiten telekomunikasi pelat merah yakni TLKM menjadi yang paling diburu dengan asing beli bersih sebesar Rp 46,4 miliar. Saham TLKM berhasil menguat 0,9% pada perdagangan kemarin.

Kemudian saham yang paling banyak dilego asing adalah saham perbankan. Di posisi pertama ada saham bank yang dimiliki Gojek yakni ARTO dan kedua adalah saham bank BUMN yakni BBRI.

Asing mencatatkan aksi net sell di ARTO sebesar Rp 67,8 miliar dan membuat saham bank digital ini ambruk 3,1%. Asing juga melego saham BBRI sebesar Rp 58,8 miliar dan harga sahamnya melemah 0,51%.

Beralih ke pasar obligasi domestik, imbal hasil (yield) SUN tenor 10 tahun pemerintah Indonesia cenderung flat dan ditutup di 6,1%. Bisa dibilang meski ada isu tapering, yield SUN 10 tahun justru turun karena sekarang sudah dekat ke level akhir tahun lalu yang ditutup di bawah 6%.

Secara harian harga obligasi pemerintah dengan kupon tetap seperti FR0087, FR0088 dan FR0083 cenderung melemah. Hanya FR0086 yang menjadi acuan tenor 5 tahun yang mengalami apresiasi meskipun sangatlah minim.

Tren penurunan yield obligasi akhir-akhir ini mengindikasikan bahwa harga instrumen pendapatan tetap tersebut mengalami kenaikan karena diminati oleh investor. Hal ini jelas terlihat dari lelang SUN terakhir yang mencatatkan penawaran masuk hingga lebih dari Rp 115 triliun menjadi yang tertinggi sepanjang tahun ini.

Nilai tukar rupiah juga tercatat mengalami penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun penguatan rupiah tipis saja karena hanya 0,1%. Di pasar spot rupiah masih dibanderol di bawah Rp 14.300/US$. Penguatan rupiah juga didukung dengan adanya inflow ke pasar keuangan domestik.

Di pasar saham saja dalam satu bulan terakhir tercatat ada inflow sebesar Rp 4,73 triliun. Kemudian di pasar SBN domestik yang dapat diperdagangkan, kepemilikan asing tercatat naik di sepanjang bulan Agustus lalu.

DJPPR melaporkan hingga akhir bulan lalu asing memiliki SBN dengan total Rp 980 triliun. Padahal di awal bulan hanya mencapai Rp 960 triliun. Artinya ada inflow sekitar Rp 14 triliun di SBN. Wajar saja kalau rupiah cenderung stabil bahkan menguat.

Beralih ke bursa saham New York, tiga indeks saham acuan Wall Street dini hari tadi ditutup dengan apresiasi. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) memimpin penguatan dengan kenaikan 131 poin atau 0,37%.

Sementara itu indeks S&P 500 bertambah 12,9 poin atau 0,28%. Nasdaq Composite menjadi yang paling lagging dengan apresiasi sebesar 21,8 poin atau setara dengan kenaikan 0,14%.

Kenaikan saham-saham di AS tersebut menyambut rilis data perekonomian terutama data tenaga kerja yang solid. Untuk kali pertama sejak pandemi Covid-19 data klaim tunjangan pengangguran di minggu terakhir Agustus tercatat hanya 340.000.

Angka tersebut lebih rendah dari perkiraan konsensus di 345.000 dan menjadi yang terendah sejak Maret tahun lalu. Ekonom-ekonom yang disurvei Dow Jones memperkirakan akan ada tambahan angka penciptaan kerja sebanyak 720 ribu di bulan Agustus yang membuat tingkat pengangguran turun ke 5,2%.

"Dengan klaim pengangguran menyentuh level terendah selama pandemi, pastinya ada optimisme jelang rilis data tenaga kerja yang sepenuhnya besok," tutur Mike Loewengart, Direktur Pelaksana Strategi Investasi E-Trade, seperti dikutip CNBC International.

Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell telah menegaskan bahwa program pengurangan (tapering) pembelian obligasi di pasar baru akan dimulai setelah data tenaga kerja menguat. September secara historis adalah bulan penuh koreksi. Namun, ekspektasi pembukaan kembali ekonomi diprediksi membuat situasinya berbeda tahun ini.

Rilis data tingkat pengangguran dijadwalkan hari ini waktu setempat. Di tengah perbaikan pasar tenaga kerja Negeri Paman Sam, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang menjadi acuan pun tetap berada di level yang rendah.

Semalam yield US treasury tenor panjang 10 tahun ditutup di angka 1,285% atau cenderung flat. Meskipun flat tetapi yield saat mendekati tapering ini lebih rendah dari Februari lalu yang sempat tembus 1,7%. Yield untuk tenor lain seperti 1,2,5 dan 30 tahun juga terpantau flat.


 

Kinerja Wall Street yang apik semalam menjadi katalis positif untuk pergerakan saham di kawasan Asia hari ini. Jadi ada harapan bursa Benua Kuning bisa mendapat tenaga dari Wall Street dan berakhir menghijau di akhir pekan. Setidaknya ini untuk jangka waktu yang pendek.

Namun hal lain yang perlu diperhatikan oleh investor dan pelaku pasar adalah memasuki bulan September, secara seasonal biasanya IHSG mengalami koreksi. Dalam 10 tahun terakhir probabilitas koreksi IHSG tercatat sebesar 60%. Termasuk tinggi.

Di AS juga demikian. Ada kekhawatiran hal ini terjadi karena harga saham terus reli dalam 7 bulan terakhir. Ingat bahwa reli tidak bisa terus-menerus terjadi. Ada masanya di mana harga suatu aset akan mengalami pull back.

Kedua, di bulan September The Fed diprediksi akan mengumumkan kapan waktu untuk tapering. Setidaknya ada beberapa scenario waktu dan besaran pengurangan stimulus. Dalam skenario paling konservatif, besaran pembelian obligasi akan dikurangi sebesar US$ 15 miliar per bulan mulai November tahun ini.

Dengan skenario tersebut maka tapering akan benar-benar berakhir di penghujung tahun 2022. Setelah itu bank sentral paling berpengaruh di dunia tersebut kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps seperti yang tertuang dalam proyeksinya Juni lalu.

Adanya normalisasi kebijakan moneter The Fed ini dikhawatirkan bakal membuat pasar saham bergerak dengan volatilitas tinggi dan bisa terkoreksi sampai 10% menurut beberapa analis.

Hal ini juga senada dengan survei Reuters baru-baru ini yang menunjukkan bahwa fund manager mulai mengurangi porsi saham dari portofolio mereka. Jika pada survei bulan Juli masih di kisaran 50,1%, kini turun menjadi 49,9%.

Well, ini adalah sentimen untuk jangka menengah dan panjang yang memang patut menjadi catatan investor. Ingat kalau Wall Street koreksi ada peluang besar IHSG juga ikutan. Namun jangan terlalu khawatir, setidaknya untuk hari ini pasar masih bisa memberikan cuan karena peluang menghijau juga mendapat dukungan dari Wall Street.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Data PMI Jasa dan PMI Komposite Australia bulan Agustus 2021 (06.00 WIB)
  • Data PMI Jasa dan PMI Komposite Jepang versi Jibun Bank bulan Agustus 2021 (07.30 WIB)
  • Data PMI Manufaktur versi Markit Singapura bulan Agustus 2021 (07.30 WIB)
  • Data Penjualan Ritel Australia bulan Juli 2021 (08.30 WIB)
  • Data PMI Jasa dan Komposite versi Caixin China bulan Agustus 2021 (08.45 WIB)
  • Data Penjualan Ritel Singapura bulan Juli 2021 (12.00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

 


(trp/trp) Next Article Investor Berdebar Menanti Rapat The Fed, IHSG Rawan Terkoreksi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular