
PPKM Level 3 Diperpanjang? Slow, Pasar Sudah Kebal!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri berhasil mencatatkan apresiasi yang menggembirakan kemarin, Senin (30/8/2021). Aset-aset keuangan RI kompak ditutup di zona hijau.
Di pasar saham, indeks acuan IHSG sukses melesat 1,71% di awal perdagangan minggu ini. Asing pun masuk dengan aksi net buy di pasar regular sebesar Rp 629 miliar kemarin.
Saham-saham big cap yang sebelumnya menderita, akhirnya diangkat. Secara nominal transaksi saham-saham big cap seperti PT Astra International Tbk (ASII), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) hingga PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) diborong asing dengan nilai net buy lebih dari Rp 50 miliar.
Saham-saham yang disebutkan pun menguat lebih dari 2% dan walhasil mampu mendorong IHSG ke zona hijau hingga akhir perdagangan. Berdasarkan statistik perdagangan yang diperoleh dari RTI, sebanyak 316 saham menguat, 197 melemah dan sisanya 132 saham stagnan. Nilai transaksi pun mencapai Rp 11 triliun.
Tidak hanya bursa saham domestik saja yang menghijau. Bursa lain di Kawasan Benua Kuning juga senasib. Indeks Nikkei (Jepang), Hang Seng (Hong Kong), Shang Hai Composite (China) dan Straits Times (Singapura) juga finish dengan penguatan.
Penguatan IHSG yang hampir 2% mengantarkan pasar ekuitas domestik ke ranking 1 di Kawasan Asia, Asia Pasifik dan menjadi runner up secara global. IHSG hanya kalah dari bursa Argentina yang indeks acuannya mampu terbang 2,31%.
Antusiasme juga terasa di pasar obligasi pemerintah. Harga SBN rupiah acuan yakni FR0086, FR0087, FR0088 dan FR0083 ikut naik dengan FR0087 dan FR0083 yang memimpin penguatan dengan kenaikan lebih dari 0,3 poin.
Yield SUN 10 tahun juga melanjutkan penurunannya. Mengacu pada data Bloomberg, yield acuan ini melemah 5 bps ke 6,11%.
Penurunan yield SUN 10 tahun juga dibarengi dengan tren menurun premi risiko Indonesia yang tercermin dari CDS 5 tahun yang sudah berada di bawah level 70 bps. Ada inflow sebesar Rp 1,3 triliun pekan lalu di SBN yang dapat diperdagangkan. Hal ini tercermin dari kenaikan kepemilikan asing secara nominal di SBN yang mencapai Rp 977,43 triliun hingga 27 Agustus 2021.
Adanya inflow membuat nilai tukar rupiah ikut merasakan dampaknya. Pada perdagangan kemarin nilai tukar rupiah menguat 0,33% ke Rp 14.368/US$ di arena pasar spot. Ini semua berkat dari pernyataan ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell di acara symposium Jackson Hole akhir pekan lalu.
Memang benar bank sentral AS itu mensinyalkan bakal ada tapering akhir tahun ini. Namun dalam pernyataan sang bos, tapering ini tak perlu dikaitkan dengan kemungkinan peningkatan suku bunga di AS. Karena menurut Mr. Jay Powell untuk menaikkan suku bunga dibutuhkan asesmen lebih lanjut dan komprehensif terhadap kondisi perekonomian AS.
Pernyataan bos The Fed tersebut mampu menghantarkan indeks S&P 500 terus mencetak rekor tertinggi sepanjang masanya (all time high) secara beruntun. Tengok saja indeks acuan pasar saham AS itu sudah naik 20,63% hingga kemarin dari awal tahun.
Kini saatnya beralih ke Dunia Barat, Wall Street awali pekan ini dengan dibuka menguat. Saat lonceng perdagaNGAN dibunyikan, indeks Dow Jones (DJIA) naik 0,2%. Kemudian indeks S&P 500 tumbuh 0,19% dan Nasdaq Composite memimpin dengan apresiasi 0,36%.
Pada Jumat pekan lalu, indeks saham S&P 500 dan Nasdaq menyentuh rekor tertinggi di penutupan setelah Ketua The Fed memberikan konfirmasi bahwa kebijakan tapering bakal dimulai tahun ini, tetapi tidak akan diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan.
Powell mengatakan bahwa inflasi saat ini secara mantap berada di kisaran target bank sentral tersebut, yakni sebesar 2%, karena inflasi saat ini hanya bersifat transisi dan akan turun ke target tersebut.
Salah satu pemicu tingginya inflasi di AS selain adanya efek basis rendah juga secara struktural inflasi ditopang oleh permintaan durable goods yang menguat selama pandemi Covid-19.
Alasan lain mengapa tapering menjadi urgensi di akhir tahun ini adalah pasar tenaga kerja AS yang rebound dengan cepat. Saat lockdown diberlakukan April tahun lalu tingkat pengangguran di Paman Sam melonjak melebihi 14%. Kini tingkat pengangguran sudah turun ke bawah 6%. Bahkan untuk bulan Agustus angka sementaranya berdasarkan poling terhadap ekonom tingkat pengangguran berada di 5,2% saja.
Memang masih jauh dari level all time low saat masa Presiden Trump di 3,5%. Namun kecepatan serapan tenaga kerja menjadi indikator yang positif bahwa ekonomi Uncle Sam memang berada di fase pemulihan dengan progress yang substansial sebagaimana dikatakan oleh para pebankir sentral negeri adidaya itu.
Melihat realita tersebut, beberapa pejabat The Fed mengatakan bahwa tapering berpeluang diumumkan pada rapat selanjutnya pada 21-22 September. Strategi komunikasi The Fed yang lebih jelas dibandingkan tahun 2013 silam menjadi salah satu alasan mengapa pasar tidak terlalu reaktif.
Yield obligasi acuan AS tenor 10 tahun juga stay di kisaran 1,3%-1,4% meski sempat melesat ke 1,7% pada Februari tahun ini. Hanya saja risiko yang saat ini masih membayangi perekoniomian dan pasar adalah ancaman penyebaran varian Delta dari virus pemicu Covid-19 yang diyakini 70% lebih menular. Di sisi lain valuasi aset di negara maju seperti AS yang sudah tinggi membuka peluang untuk koreksi.
Hingga akhir perdagangan, hanya indeks DJIA yang terbenam di zona merah. Indeks saham blue chip tersebut mengalami koreksi sebesar 0,16%. Sementara itu S&P 500 dan Nasdaq Composite Kembali rekor dengan apresiasi masing-masing sebesar 0,43% dan 0,9%.
Wall Street memang ditutup variatif. Namun hasil ini bukanlah suatu yang terlalu buruk untuk pasar keuangan Benua Kuning yang akan buka pagi hari ini.
Selain mencermati kinerja saham Wall Street yang dini hari tadi ditutup variatif, pelaku pasar dan investor perlu mencatat beberapa sentimen yang berasal dari domestik. Berdasarkan kajian Tim Riset CNBC Indonesia setidaknya ada tiga sentimen domestic yang akan mewarnai perdagangan hari ini.
Pertama adalah kelanjutan PPKM di berbagai daerah di Tanah Air. PPKM Jawa-Bali resmi berakhir kemarin.
Jika sebelumnya pemerintah memutuskan untuk melonggarkan pembatasan sosial melalui penurunan PPKM dari level 4 ke level 3 di beberapa regional seperti Jabodetabek, kali ini pemerintah memutuskan untuk melanjutkan kebijakan PPKM level 3 di DKI Jakarta dan sekitarnya.
Dalam konferensi persnya di Istana Merdeka kemarin petang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan bahwa PPKM level 3 untuk daerah Jabodetabek, Bandung Raya dan Surabaya Raya akan diperpanjang hingga 6 September 2021.
Lebih lanjut wilayah Malang Raya dan Solo Raya kini masuk PPKM level 3. Sementara itu untuk regional Semarang Raya berhasil turun ke PPKM level 2. Secara keseluruhan menurut sang Presiden ada perkembangan yang baik.
Namun jika melihat respons pasar sebelumnya terhadap update kebijakan PPKM tidak terlalu reaktif. Saat ini yang menjadi fokus pasar lebih ke arah kebijakan moneter dan sentiment yang sifatnya sektoral seperti penerbitan regulasi bank digital oleh OJK minggu lalu.
Well, walaupun PPKM untuk wilayah penyumbang PDB terbesar RI masih dilanjutkan, dampak ke pasarnya kemungkinan bakal minimal.
Sentimen kedua berasal dari deal antara Sri Mulyani Cs dengan DPR soal asumsi makro ekonomi di RAPBN 2022. Jika PDB Indonesia sebelumnya diperkirakan tumbuh di rentang 5,0%-5,5% maka dalam rapat antara pemerintah dan Komisi XI DPR RI diputuskan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5,2%-5,5% atau lebih tinggi 20 bps dari batas bawah sebelumnya.
Meskipun masih menjadi perdebatan, terkait rentang pertumbuhannya, tetapi banyak ekonom yang mengatakan bahwa ekonomi Indonesia mungkin untuk tumbuh 5% di tahun 2022 sehingga bisa kembali ke jalur pertumbuhan jangka panjangnya. Tentu ini menjadi angin segar.
Adapun untuk inflasi ditetapkan di kisaran 3% dan tingkat suku bunga SUN 10 tahun di 6,8%. Artinya suku bunga riil yang diperoleh investor masih di angka 3,8%. Seharusnya masih relatif menarik jika dibandingkan dengan negara maju atau berkembang lain dengan rating sama.
Kemudian untuk sentiment ketiga yakni berasal dari rencana pemerintah yang akan melakukan lelang SUN hari ini. Ada 7 seri SUN yang akan dilelang hari ini yaitu SPN12211202 (reopening), SPN12220527 (reopening) untuk tingkat bunga diskonto dan lima seri SUN lain adalah FR0090, FR0091, FR0088, FR0092 dan FR0089 yang semuanya reopening.
Target indikatif yang dipatok pun berada di kisaran Rp 21 triliun hingga Rp 31,5 triliun. Lebih rendah dari target serapan sebelumnya di kisaran Rp 33 triliun - Rp 49,5 triliun. Hal ini disebabkan karena adanya mekanisme burden sharing antara BI dan pemerintah yang dilanjutkan hingga tahun 2022.
Dalam kesepakatan burden sharing tersebut BI akan melakukan pembelian SBN sebesar Rp 215 triliun untuk tahun 2021 dan Rp 224 triliun tahun depan. Dengan target serapan yang lebih rendah serta arah kebijakan The Fed yang semakin jelas diharapkan target indikatif pemerintah tersebut dapat tercapai.
Penguatan IHSG yang tajam kemarin memang membuka peluang koreksi. Untuk perdagangan hari ini level resisten IHSG berada di 6.200 dan supportnya berada di 6.100. Dengan tekanan di pasar global yang masih minimal, rupiah dan SBN diperkirakan tak akan bergerak terlalu jauh dari kisaran pergerakan sepekan terakhir.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Data Ketenagakerjaan Jerman bulan Agustus 2021 (12:55 WIB)
- Data Kredit Konsumen dan KPR Inggris bulan Juli 2021 (13.30 WIB)
- Data Inflasi Euro Area bulan Agustus 2021 (14.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp) Next Article Valuasi Murah, Asing Parkir Duit Lagi di Pasar Saham RI