Newsletter

Konfirmasi! Tapering Bisa di Tahun Ini Bung, Pasar Panik Gak?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
19 August 2021 06:35
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell  (AP Photo/Jacquelyn Martin)
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Jacquelyn Martin)

Jakarta, CNBC Indonesia - Aliran modal asing yang masuk ke dalam negeri mampu mendongkrak kinerja pasar finansial Indonesia. Sementara pada perdagangan hari ini, Kamis (19/8/2021) ada risiko yang terjadi sebaliknya, capital outflow, sebab bank sentral Amerika Serikat (AS) membuka peluang melakukan tapering di tahun ini.

Isu tapering dan beberapa faktor yang akan menggerakkan pasar pada hari ini akan dibahas di halaman 3 dan 4.

jkse

Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses menguat 0,5% ke 6.118,15, setelah sebelumnya sempat merosot 0,78%. Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 1,12 triliun di pasar reguler.

Sementara itu di pasar obligasi, mayoritas yield Surat Berharga Negara (SBN) mengalami penurunan. Hanya yield SBN tenor 1 tahun dan 25 tahun yang mengalami kenaikan.

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan dengan harga obligasi. Ketika yield turun, harganya naik. Saat harga naik artinya ada aksi beli, dan kemungkinan juga oleh investor asing.

Aliran modal ke pasar obligasi tersebut membuat rupiah berakhir stagnan di Rp 14.370/US$ kemarin, padahal dolar Amerika Serikat (AS) sedang kuat-kuatnya.

Obligasi Indonesia memang sedang menarik. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan ini hingga 16 Agustus lalu, terjadi capital inflow sebesar Rp 7,6 triliun.

idr

Sentimen positif di kawasan Asia muncul dari Jepang yang melaporkan ekspor Juli melonjak dua kali lipat secara bulanan untuk lima bulan yang berturut-turut. Secara tahunan, ekspor Juli terhitung melompat 37%.

Koreksi yang menimpa bursa saham Amerika Serikat (Wall Street) cenderung diabaikan.

Sementara itu dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor Indonesia bulan lalu adalah US$ 17,7 miliar. Naik 29,32% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan Juni 2021 yang mencapai 54,46% yoy.

Meski melambat, realisasi ini tidak jauh dari ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan median proyeksi pertumbuhan ekspor di 29,9% yoy. Sedangkan konsensus versi Reuters ada di 30,2% yoy.

Sementara nilai impor dilaporkan sebesar US$ 15,11 miliar. Tumbuh 44,44% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy).

Meski tumbuh tinggi, tetapi nilai impor lebih rendah dibandingkan ekspor yang sebesar US$ 17,7 miliar. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus US$ 2,59 miliar.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan impor tumbuh 52,9% yoy dan neraca perdagangan surplus US$ 2,24 miliar. Sedangkan konsensus versi Reuters menghasilkan proyeksi pertumbuhan impor 52,15% yoy dan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 2,27 miliar.

Pertumbuhan impor yang lebih rendah dari konsensus tersebut menunjukkan dampak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak awal Juli. Kabar baiknya, pemerintah memang kembali melonggarkan PPKM level 4 yang diperpanjang hingga 23 Agustus mendatang.

Perusahaan-perusahaan orientasi ekspor dan orientasi domestik yang ditentukan oleh Kementerian Perindustrian bisa beroperasi 100% work from office (WFO) dari sebelumnya 50%. Artinya, impor yang didominasi bahan baku/penolong berpotensi meningkat di bulan Agustus. Peningkatan impor artinya, roda perekonomian berputar lebih cepat.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Merah Lagi, S&P 500 dan Dow Jones Jeblok 1% Lebih

Wall Street kembali masuk ke zona merah, bahkan kali ini lebih dalam. Dengan demikian, sejak mencatat rekor tertinggi sepanjang masa kiblat bursa saham dunia ini sudah melemah 2 hari beruntun.

Indeks S&P 500 dan Dow Jones masing-masing merosot lebih dari 1% ke 4.400,27 dan 34.960,69, sementara Nasdaq anjlok 0,9% ke 14.525,91.

Sebelum terkoreksi 2 hari beruntun, S&P 500 mencetak rekor tertinggi di awal pekan ini, selain itu ada torehan catatan apik lain. Nilainya sudah naik dua kali lipat dari level penutupan terendah 23 Maret 2020 lalu saat pandemi Covid-19 menghantam pasar finansial global. Catatan tersebut menjadi kenaikan tercepat S&P 500 sejak Perang Dunia II, berdasarkan kalkulasi CNBC International.

jske

Jim Paulsen, Kepala Perencana Investasi Leuthold Group, menilai pasar saham sudah saatnya terkoreksi. Kasus Covid yang terus meningkat pun memperkeruh prospek pembukaan kembal ekonomi, sementara data ritel anjlok melemah.

"Beberapa saham telah berhenti bereaksi positif terhadap kabar bagus dari kinerja keuangan emiten, angka inflasi masih panas, dan pembicaraan Federal Reserve seputar taper bermunculan," ujarnya, sebagaimana dikutip CNBC International.

Selain itu, rilis risalah rapat kebijakan moneter The Fed yang menunjukkan kemungkinan tapering dilakukan di tahun ini membuat Wall Street kesulitan bangkit. Sejak bulan Juli lalu, spekulasi tapering di tahun ini memang sudah sangat kecang di pasar finansial.

Meski demikian, Wall Street diperkirakan masih bisa bangkit lagi jika rilis data ekonomi menunjukkan perbaikan. Bahkan saat corona varian delta penyebarannya sedang meningkat ribuan persen.

"Dalam jangka pendek, pasar akan fokus pada pertumbuhan ekonomi dan corona delta, tetapi kita sudah pernah melewati tantangan tersebut. Sehingga kabar bagus dari data ekonomi dan pasar tenaga kerja akan memberikan keyakinan investor yang akan membawa Wall Street kembali mencetak rekor sebelum akhir tahun ini," kata Chris Zaccarelli, kepala investasi di Independent Advisor Alliance, sebagaimana dilansir CNBC International.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Seperti disebutkan sebelumnya, salah satu penyebab merosotnya Wall Street yakni tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) oleh The Fed.

Penurunan beruntun Wall Street tentunya memberikan sentimen negatif ke pasar Asia, yang kemarin sudah mengabaikannya dan sukses menguat. Apalagi ditambah dengan kemungkinan tapering di tahun ini, maka kemungkinan besar bursa Asia termasuk IHSG akan mengikuti Wall Street ke zona merah.

Risalah The Fed yang dirilis tadi malam menunjukkan peluang tapering di tahun ini, sebab inflasi dikatakan sudah mencapai target dan pemulihan pasar tenaga kerja juga hampir sesuai ekspektasi.

"Melihat ke depan, sebagian besar partisipan (Federal Open Market Committee/FOMC) mencatat bahwa selama pemulihan ekonomi secara luas sesuai dengan ekspektasi mereka, maka akan tepat untuk melakukan pengurangan nilai pembelian aset di tahun ini," tulis risalah tersebut.

Meski demikian, risalah tersebut juga menunjukkan 'beberapa' anggota FOMC memilih untuk melakukan tapering di awal tahun depan.

Tidak ada detail yang menyebutkan 'beberapa' itu artinya beberapa orang, tetapi jika melihat pernyataan lainnya 'sebagian besar partisipan' bisa diintepretasikan mayoritas anggota FOMC memilih melakukan tapering di tahun ini.

Selain itu, risalah tersebut menunjukkan sikap optimistis The Fed terhadap laju perekonomian. Tetapi juga melihat penyebaran virus corona varian delta sebagai ancaman. The Fed menyebut "ketidakpastian cukup tinggi" akibat lonjakan kasus penyakit akibat virus corona khususnya varian delta.

Hal tersebut membuat beberapa anggota FOMC melihat risiko inflasi kembali melandai, terutama jika perekonomian kembali terpukul.

Mayoritas anggota FOMC yang memilih melakukan tapering di tahun ini lebih cepat ketimbang hasil polling yang dilakukan Reuters terhadap para analis.

Sebanyak 28 dari 43 analis memprediksi The Fed akan mengumumkan tapering pada bulan September.

idr

Sementara polling mengenai kapan tapering akan mulai dilakukan, sebanyak 26 dari 43 analis memprediksi pada kuartal I-2021. Sementara sisanya mengatakan tapering pertama akan dilakukan di kuartal IV-2021.

Nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar per bulan, dengan rincian US$ 80 miliar untuk pemebelian obligasi pemerintah (Treasury) dan US$ 40 miliar untuk efek beragun aset KPR (Mortgage-Backed Security/MBS).

Dalam survei terbaru tersebut, The Fed akan mengurangi pembelian Treasury sebesar US$ 10 miliar, dan MBS sebesar US$ 5 miliar.

Tapering menjadi sesuatu yang ditakutkan pasar saat ini. Pernah terjadi pada tahun 2013 lalu, kebijakan tersebut memicu aliran modal keluar dari negara emerging market dan kembali ke Amerika Serikat, yang saat itu disebut taper tantrum.

Taper tantrum membuat aset-aset berisiko berguguran dalam jangka pendek, tetapi mata uang seperti rupiah akan mengalami tekanan lebih lama.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) hari ini diperkirakan masih mempertahankan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini.

Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat menggelar RDG pada 18-19 Agustus 2021. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan bertahan di 3,5%.

Seluruh institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus memperkirakan suku bunga acuan bertahan. Semua sepakat bulat, aklamasi, tiada dissenting opinion.

Kali terakhir BI mengubah suku bunga acuan adalah Februari 2021, kala itu BI 7 Day Reverse Repo Rate diturunkan 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%, terendah sepanjang sejarah. Sejak saat itu, suku bunga acuan belum 'diutak-atik' lagi.

Yang akan menjadi perhatian bagaimana BI merespon kemungkinan tapering di tahun ini. Sebab amanat utama BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Ini bisa dilakukan dengan menjaga suku bunga tetap kompetitif sehingga arus modal asing berkenan masuk ke Indonesia dan menjaga stabilitas rupiah.

Seperti disebutkan sebelumnya, berkaca dari 2013 tapering memicu capital outflow dari negara emerging market seperti Indonesia, dan rupiah akhirnya tertekan dalam waktu yang cukup lama.

Stabilitas rupiah menjadi penting bagi investor asing, sebab risiko kerugian akibat kurs bisa diminimalisir, sehingga lebih nyaman berinvestasi. Sehingga, jika rupiah mengalami gejolak, pasar modal juga aan terkena imbasnya, dan IHSG berisiko tertekan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Berikut

Berikut beberapa data ekonomi yang dirilis hari ini:

  • Data tenaga kerja Australia (8:30 WIB)
  • Pengumuman Suku Bunga BI (14:30 WIB)
  • Klaim tunjangan pengangguran AS (19:30 WIB)


Berikut beberapa agenda hari ini: 

  • RUPS PT Mitra Adiperkasa Tbk. (9:00 WIB)
  • RUPS PT Tri Banyan Tirta Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Nusantara Infrastructure Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Sentul City Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Ricky Putra Globalindo Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Apexindo Pratama Duta Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Wintermar Offshore Marine Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT MD Pictures Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Gaya Abadi Sempurna Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Gajah Tunggal Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Fast Food Indonesia Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Cahayasakti Investindo Sukses Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Bank QND Indonesia Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Natura City Developments Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Catur Sentosa Adiprana Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Duta Pertiwi Nusantara Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Perintis Triniti Properti Tbk (9:00 WIB)
  • RUPS PT Intanwijaya International Tbk (9:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2021 YoY)

7,07%

Inflasi (Juli 2021, YoY)

1,52%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

-5,17% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q1-2021)

-0,4% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2020)

US$ 4,1 miliar

Cadangan Devisa (Juli 2021)

US$ 137,3 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap) Next Article Kabar Baik Nih Bagi IHSG, Tapering The Fed "Slow but Sure"

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular