
Dalam Cadangan Devisa yang Sehat Terdapat Rupiah yang Kuat!

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen yang bisa menggerakkan pasar. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang positif. Hijaunya Wall Street bisa menjadi penyemangat pelaku pasar di Asia untuk mencapai hal yang sama.
Sentimen kedua, investor patut waspada dengan kemungkinan penguatan dolar AS lebih lanjut. Pasalnya, para pejabat teras di bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) semakin terang-terangan menyebut sudah saatnya mengurangi 'dosis' stimulus moneter.
Hingga saat ini, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega masih mempertahankan kebijakan ultra-longgar untuk merangsang perekonomian yang terpukul oleh pandemi virus corona. Suku bunga acuan tetap rendah dekat dengan 0%, dan pembelian aset (quantitative easing) senilai US$ 120 miliar perbulan masih dilakukan.
Namun dengan pemulihan ekonomi yang semakin terlihat, salah satunya dari data ketenagakerjaan yang sudah disinggung sebelumnya, sejumlah pejabat The Fed merasa sudah saatnya untuk memikirkan pengurangan stimulus moneter.
"Anda duduk di sini dan melihat inflasi sudah jauh di atas target dan pasar ketenagakerjaan terus membaik menuju level pra-pandemi. Menurut saya, ini terdengar seperti kami harus bersiap," kata Richard Clarida, Wakil Ketua The Fed, dala wawancara bersama Washington Post.
Clarida memperkirakan The Fed akan mulai mengurangi quantitative easing pada akhir tahun ini. Namun suku bunga acuan mungkin masih akan bertahan rendah hingga tercapai kondisi penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).
"Saya menilai kondisi untuk menaikkan suku bunga acuan baru akan tercapai pada akhir 2022. Jadi normalisasi kebijakan pada 2023 adalah sesuatu yang konsisten dengan target kami," lanjut Clarida.
Sebelumnya, Presiden The Fed Dallas Robet Kaplan juga berpendapat bahwa pengurangan quantitative easing bisa dilakukan dengan segera. Demikian pula menurut James Bullard, Presiden The Fed St Louis.
Pernyataan dari para pejabat The Fed itu membuat pasar semakin yakin bahwa The Fed akan mulai mengendurkan pedal gas lebih awal dari perkiraan semula. Semakin dekat dengan akhir 2021, The Fed diperkirakan bakal terus mengomunikasikan rencana pengurangan quantitative easing sebelum mulai melakukannya pada awal tahun depan.
Pengurangan quantitative easing akan membuat pasokan dolar AS lebih terbatas, tidak tumpah-ruah seperti sekarang. Saat pasokan dolar AS berkurang, maka nilai tukarnya akan cenderung menguat.
Investor pun bersiap-siap mengoleksi dolar AS, mumpung pasokannya masih berlimpah. Peningkatan permintaan terhadap dolar AS membuat mata uang Negeri Stars and Stripes mengalami apresiasi. Pada pukul 02:51 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,3%.
Perkembangan ini membuat rupiah tidak diuntungkan. Jika penguatan dolar AS terus bertahan, maka bukan tidak mungkin rupiah kembali finis di jalur merah.
Akan tetapi, risiko pelemahan rupiah bisa tertutup oleh sentimen ketiga yaitu rilis data cadangan devisa. Hari ini, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan posisi cadangan devisa per akhir Juli 2021.
Pada Juni 2021, cadangan devisa tercatat US$ 137,09 miliar. Trading Economics memperkirakan cadangan devisa bakal naik menjadi US$ 138 miliar per akhir bulan lalu.
Salah satu faktor pendongkrak cadangan devisa adalah penerbitan surat utang pemerintah dalam mata uang asing. Pada 28 Juli 2021, pemerintah mengumumkan penjualan SUN dalam denominasi dolar AS senilai US$ 1,65 milar plus denominasi Euro sebanyak EUR 500 juta.
Cadangan devisa yang mumpuni akan membuat BI punya modal kuat dalam ketika melakukan stabilisasi nilai tukar saat dibutuhkan. Investor bisa tenang, karena BI punya 'amunisi' yang cukup untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini
(aji/aji)
