Newsletter

Covid-19 & Harga Minyak Melambung, Harap Waspada Bung!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 July 2021 06:21
Aktivitas pengantaran pasien Covid-19 menuju Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet.
Foto: Aktivitas pengantaran pasien Covid-19 menuju Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia mulai waspada perekonomian bisa terpukul di kuartal III-2021 akibat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Darurat. Alhasil, pasar finansial di dalam negeri bervariasi.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat kembali ke bawah 6.000, tetapi berhasil rebound dan mengakhiri perdagangan di 6.005,609, melemah 0,3%. Investor asing juga "kabur", tercatat aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 292 miliar di pasar reguler, dengan nilai transaksi mencapai Rp 10 triliun.

Sementara itu rupiah mampu berjaya melawan dolar Amerika Serikat (AS), menguat 0,37% ke Rp 14.476/US$. Ini merupakan penguatan pertama rupiah setelah melemah dalam 5 hari beruntun.

Rupiah diuntungkan oleh tekanan yang dialami dolar AS pasca rilis data tenaga kerja Jumat lalu. Badan Statistik Tenaga kerja AS melaporkan sepanjang bulan Juni terjadi penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP) sebanyak 850.000 orang, lebih banyak dari prediksi Reuters sebanyak 700.000 orang.

Meski jumlah perekrutan lebih banyak dari perkiraan, tetapi tingkat pengangguran justru naik menjadi 5,9% dari sebelumnya 5,8%. Selain itu, pertumbuhan rata-rata upah per jam hanya 0,3%, lebih rendah dari konsensus 0,4%. Tetapi tidak lama malah balik merosot.

"Awalnya kita bereaksi positif terhadap data NFP yang lebih kuat dari perkiraan. Tetapi dolar AS kemudian berbalik melemah melihat detail laporan tersebut, khususnya tingkat pengangguran yang naik," kata Vassilu Serebriakov, ahli strategi mata uang di UBS New York, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (2/7/2021).

Kenaikan upah yang lebih rendah dari perkiraan juga memberikan tekanan. Sebab upah terkait dengan daya beli masyarakat, yang kemudian berdampak pada inflasi.

Ketika inflasi mulai melandai, maka tekanan bagi bank sentral AS (The Fed) untuk melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) di tahun ini akan mereda. Meredanya ekspektasi tapering juga mempengaruhi pergerakan yield obligasi (Treasury) AS, yang berdampak pada pasar obligasi Indonesia.

Harga Surat Berharga Negara (SBN) bervariasi, ada yang naik ada yang turun yang tercermin dari pergerakan yield-nya. Harga obligasi berbanding terbalik dengan yield, ketika harga naik maka yield akan turun, dan sebaliknya.

Dari dalam negeri, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan proyeksinya terkait perekonomian Indonesia. Sri Mulyani mengatakan harus waspada jika penyebaran penyakit virus corona (Covid-19) gagal dikendalikan di bulan Juli, maka perekonomian kuartal III-2021 akan terpukul.

"Apabila Juli bisa dikendalikan dan Agustus ada aktivitas normal atau restriksi bisa dikurangi, maka ekonomi bisa tumbuh, kondisi pertumbuhan di atas 4% mendekati 5%," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual usai rapat kabinet terbatas, Senin (5/7/2021)

"Namun apabila tidak bisa dikendalikan dan masih terus berlanjut. Maka pertumbuhan ekonomi di kuartal III bisa turun di sekitar 4%. Ini yang harus diwaspadai."

Sri Mulyani juga mengatakan agar bisa mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi maka PPKM Mikro Darurat harus dilaksanakan dengan baik, dan pentingnya vaksinasi guna mencapai kecepatan imun di masyarakat. Untuk kuartal II-2021, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan cukup tinggi, mencapai 7%.

Pemerintah yang mulai khawatir akan risiko melambatnya pertumbuhan ekonomi memberikan sentimen negatif ke pasar finansial. Sementara untuk hari ini, Selasa (6/7/2021), kekhawatiran datang dari meroketnya harga minyak mentah, yang dibahas di halaman selanjutnya. 


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Bursa saham AS (Wall Street) Libur pada hari Senin waktu setempat merayakan Hari Kemerdekaan Amerika Serikat (AS). Praktis, pergerakan bursa saham Asia termasuk IHSG "tanpa arahan" dari kiblat bursa saham dunia tersebut.

Tetapi bukan berarti tanpa pengaruh eksternal. Harga minyak mentah yang melambung kini menjadi perhatian pelaku pasar.

Melansir data Refinitiv, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) naik 1,6% ke US$ 76,36/barel yang merupakan level tertinggi sejak Oktober 2018. Bahkan, jika WTI naik US$ 1 per barel lagi, maka akan mencapai level tertinggi sejak November 2014. Sepanjang tahun ini, harga minyak WTI sudah meroket lebih dari 57%.

Sementara minyak jenis brent sepanjang tahun ini sudah melesat nyaris 49%, termasuk 1,3% pada perdagangan Senin ke US$ 77,16/barel. Sama dengan WTI, harga minyak Brent saat ini berada di level tertinggi sejak Oktober 2018.

Terus menanjaknya harga minyak mentah belakangan terjadi akibat OPEC+ gagal mencapai kesepakatan untuk menambah produksi sebesar 2 juta barel per hari mulai bulan Agustus hingga Desember nanti.

Kegagalan tersebut terjadi akibat Uni Emirat Arab (UEA) berseteru dengan Arab Saudi terkait dengan kuota minyak mentah untuk tahun 2022.

Perundingan yang dilakukan sejak pekan lalu gagal mencapai kata sepakat, begitu juga kemarin yang malah "bubar". Beberapa negara yang tergabung dalam OPEC+ dikabarkan meninggalkan pertemuan tersebut.

UEA sebenarnya menyepakati proposal penambahan produksi sebesar 2 juta barel per hari dimulai bulan Agustus hingga Desember. Tetapi yang ditolak adalah perpanjangan pembatasan kuota produksi yang seharusnya berakhir di April 2022, menjadi Desember 2022.

Tingginya harga minyak mentah tersebut memberikan dampak positif dan negatif bagi Indonesia. Positifnya, kenaikan harga WTI dan Brent tentunya juga mengerek Indonesian Crude Price (ICP) yang berdampak pada penerimaan negara.

Penerimaan negara dari sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) hingga Mei 2021 tercatat mencapai US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 78,2 triliun.

Penerimaan negara ini mencapai 76,2% dari target setahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 yang dipatok sebesar US$ 7,28 miliar.

Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Taslim Yunus mengatakan, besarnya penerimaan negara dari sektor hulu migas hingga Mei 2021 ini tak terlepas dari lonjakan harga minyak mentah dunia.

"Kita bersyukur karena harga minyak saat ini semakin meningkat, saat ini sekitar US$ 73 per barel, dan Indonesian Crude Price (ICP) sekitar US$ 68 per barel," tuturnya dalam keterangan resmi SKK Migas, Rabu (16/06/2021).

Sementara itu dampak negatifnya datang dari sisi perdagangan, sebab Indonesia masih menjadi net importir minyak mentah. Sehingga devisa akan semakin tergerus untuk membiayai impor minyak mentah saat harganya terus menanjak.

Tetapi bukan itu kekhawatiran utamanya, melainkan secara global. Negara-negara diberbagai benua, baik itu negara berkembang maupun negara maju sedang berjuang memulihkan perekonomian yang merosot akibat pandemi Covid-19.

Ketika harga minyak terus meningkat, maka berisiko memicu inflasi yang tinggi. Saat daya beli masyarakat masih belum pulih, inflasi tinggi adalah kabar buruk. Daya beli masyarakat akan menurun, yang tentunya berdampak pada pemulihan ekonomi global.

Ketika perekonomian global terpukul lagi, maka Indonesia juga ikut terseret. Apalagi inflasi di Amerika Serikat (AS) sudah sangat tinggi.

Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (25/6/2021) melaporkan inflasi inti berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di bulan Mei tumbuh 3,4% year-on-year (YoY). Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.

Untuk saat ini, bank sentral AS (The Fed) tingginya inflasi tersebut hanya sementara. Tetapi, jika terjadi terus menerus dan berkepanjangan, bukan tidak mungkin The Fed akan mempercepat tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE). Bayang-bayang taper tantrum akan kembali muncul.

Sehingga kenaikan harga minyak mentah bisa jadi direspon negatif oleh pasar finansial.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari ini (2)

Dari dalam negeri, setelah pemerintah memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi bisa melambat jika penyebaran Covid-19 belum bisa diredam bulan ini, pelaku pasar akan lebih berhati-hati. Maklum saja, kasus Covid-19 kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.

Pada Senin (5/7/2021), Kementerian Kesehatan mencatat penambahan kasus Covid-19 sebanyak 29.745 dan menyentuh rekor tertinggi. Dengan begitu total kasus Covid-19 di tanah air mencapai 2.313.829 orang.


Dari total kasus tersebut, kasus aktif kini lebih dari 300 ribu orang, tepatnya 309.999 orang, yang juga merupakan rekor terbanyak.

Lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia mulai terjadi sejak pertengahan Juni lalu, tetapi baik IHSG, rupiah hingga SBN masih mampu bertahan dari tekanan. Tetapi kini, pelaku pasar layak waspada, penambahan kasus nyaris tembus 30.000 per hari, dan belum menunjukkan tanda-tanda melandai.

Sektor riil sudah terlebih dahulu terpukul. Pada pekan lalu IHS Markit melaporkan kabar kurang bagus. Aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) pada Juni 2021 dilaporkan 53,5.

Meski masih menunjukkan ekspansi (angka indeks di atas 50), tetapi menunjukkan pelambatan dari sebelumnya sebesar 55,3 di mana kala itu menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan.

"Pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia pada Juni mengalami perlambatan akibat gelombang kedua serangan virus corona. Produksi tetap tumbuh dengan kuat meski dampak pandemi perlu dilihat dalam beberapa bulan ke depan.

"Secara umum, dunia usaha masih optimistis dengan masa depan produksi manufaktur. Namun gangguan akibat pandemi mulai menunjukkan tanda-tanda kewaspadaan," jelas Jingyi Pan, Economics Associate Director IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Sektor manufaktur sendiri berkontribusi sekitar 20% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia, sehingga berlanjutnya ekspansi menjadi sangat penting guna memulihkan perekonomian.

Dengan demikian, kenaikan harga minyak mentah ditambah dengan kenaikan kasus virus corona bisa jadi kabar buruk bagi perekonomian Indonesia, sehingga pelaku pasar wajib waspada.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

Berikut rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Pengumuman suku bunga bank sentral Australia (11:30 WIB)
  • Sentimen ekonomi Eropa versi ZEW (16:00 WIB)
  • Pertemuan OPEC-JMMC
  • PMI Jasa Amerika Serikat versi ISM (21:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular