Newsletter

Usai Jiper Soal The Fed, Pasar Hadapi Dua Situasi Buruk Ini

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
18 June 2021 06:48
Penerapan lockdown atau penguncian wilayah di Kelurahan Kayu Putih, Jakarta, Selasa (8/6/2021). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Penerapan lockdown atau penguncian wilayah di Kelurahan Kayu Putih, Jakarta, Selasa (8/6/2021). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Kemarin investor khawatir menghadapi indikasi bank sentral AS bakal mempercepat kenaikan suku bunga acuan (Fed Funds Rate) dari 2024 menjadi 2023, dua kali pula. Kekhawatiran tersebut selayaknya mereda karena sebuah indikasi bukanlah kebijakan. Ia hanya mengarahkan sentimen, sehingga mempengaruhi realitas pasar, meski belum menjadi nyata.

Investor semestinya sadar bahwa risiko terbesar 'inflasi dan suku bunga tinggi AS' terhadap pasar modal nasional adalah fenomena pembalikan modal (capital outflow), yang kita kenal sebagai taper tantrum di mana Federal Reserve (The Fed) mengurangi pembelian obligasinya di pasar karena menilai ekonomi AS membaik dan sudah tak perlu disuntik dengan likuiditas.

Banyak yang terlupa menangkap sinyal lain yang lebih penting dari keriuhan The Fed kemarin, yakni pembalikan arah kebijakan The Fed berarti ekonomi AS membaik. Ketika ekonomi Negara Adidaya ini membaik maka dampak positifnya akan berantai ke seluruh dunia. Eksesnya bagi pasar modal, adalah dana panas yang membanjir-akibat suntikan The Fed-bakal mudik.

Ketika dana keluar dari pasar modal negara berkembang, termasuk Indonesia, maka terjadilah koreksi. Namun ada satu flaw yang membuat kekhawatiran Kamis kemarin jadi lebai: dana asing belum berbalik. Di bursa saham malah ada net buy asing ratusan miliar.

The Fed sendiri terlihat belajar dari kesalahan 2013 dengan bakal mengadakan "pemberitahuan awal" rencana tapering. Ada peluang besar tapering ke depan tak akan berujung pada tantrum, melainkan tranquility.

Jadi, jelas bahwa arah kebijakan The Fed semestinya secara fundamental dipandang lebih positif, dan tidak membahayakan ekonomi global. Namun, bukan berarti IHSG hari ini bakal menguat. Ekses ke pasar global masih ada dari sisi penguatan dolar AS yang menekan pasar komoditas.

Maklum saja, komoditas diperdagangkan dalam dolar AS, sehingga ketika dolar AS makin mahal maka ongkos untuk membelinya jadi lebih mahal, sehingga permintaan cenderung tertekan. Inilah risiko yang membayangi pasar di perdagangan penghujung pekan.

Indeks dolar, yang mengukur nilai tukar mata uang AS tersebut terhadap mitra dagang utamanya, melompat 1,6% sejak The Fed mengumumkan hasil rapatnya dini hari kemarin. Selain karena dolar AS yang menguat, rontoknya komoditas terjadi setelah China berusaha mengintervensi harga, demi menjaga inflasi di Negeri Panda tidak melejit.

Harga kontrak komoditas yang mengalami tekanan terbesar adalah paladium yang anjlok lebih dari 11% dan platinum yang drop 7% lebih. Harga emas drop 4% lebih ke US$1.774,8 per troy ons. Timah dan nikel tertekan 2%, masing-masing menjadi US$30,275 dan US$ 17.202,5 per ton. Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ikut drop 1% ke RM3.370/ton.

Ini menjadi kabar buruk bagi emiten komoditas terutama emiten logam mineral yang memproduksi nikel dan emas. Emiten energi cenderung variatif karena harga minyak yang turun lebih dari 1% tak diikuti oleh harga batu bara yang masih menguat 1% lebih ke US$ 118,4/ton.

"Rumor sejak Maret bahwa State Reserve Bureau (SRB) China akan melepas cadangan logam non-besi ke pasar akhirnya terbukti pada 16 Juni. Ditambahi dengan kebijakan The Fed pada 17 Juni (merespons indeks PPI Mei) maka harga saham material anjlok, hingga 5-10%," tulis firma investasi Jefferies dalam laporan risetnya.

Di luar itu, ada kabar buruk dari dalam negeri seputar penanganan pandemi. Per Kamis kemarin, Kementerian Kesehatan melaporkan total pasien positif corona di Tanah Air mencapai 1.950.276 orang, bertambah 12.624 orang dari hari sebelumnya, menjadi kenaikan harian tertinggi sejak 30 Januari 2021.

Perkembangan ini membuat rata-rata tambahan pasien positif dalam 14 hari terakhir menjadi 8.082 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 5.588 orang setiap harinya. Fasilitas Kesehatan di Indonesia pun diprediksi bisa tumbang dalam waktu 2-4 minggu. Ini dapat terjadi jika pengendalian pandemi tanah air tidak diperketat.

Jika kondisinya tak terkendali, maka pemerintah berpeluang melakukan pengetatan aktivitas masyarakat, yang bakal berujung pada tersendatnya kembali aktivitas ekonomi dan memicu kontraksi berkelanjutan pada kuartal II-2021.

"Jika tak ada containment, tidak ada pengendalian yang tepat dan cepat saya bisa katakan 2 minggu sampai 1 bulan lagi kita sudah akan kolaps," kata Kabid Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Masdalina Pane di kanal Youtube BNPB, Kamis (17/6/2021).

(ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular