Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri bervariasi sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat 0,26% ke 6.086,258. Sementara rupiah stagnan melawan dolar Amerika Serikat AS di Rp 14.560/US$.
Meski berakhir stagnan, tetapi rupiah membukukan catatanburuk, tidak pernah menguat dalam 9 pekan beruntun. Sebelumnya rupiah membukukan pelemahan dalam 8 pekan beruntun. Catatan tersebut merupakan yang terburuk sejak September 2015, saat itu rupiah membukukan pelemahan 11 pekan beruntun.
Kemudian dari pasar obligasi, harga Surat Berharga Negara (SBN) mayoritas mengalami penurunan. Hal tersebut tercermin dari kenaikanyieldnyaris di semua tenor. Hanya tenor 25 tahun yang mengalami penurunan 3,2 basis poin ke 7,604%. SBN tenor 10 tahun yang biasanya menjadi acuan investor sendiri mengalami kenaikan 5,3 basis poin menjadi 6,506%.
Pergerakanyieldberbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika harga turun,yieldakan naik begitu juga sebaliknya.
Pergerakan aset-aset IHSG dipengaruhi sentimen dari luar dan dalam negeri. Dari luar negeri, sentimen negatif datang dari India yang tengah mempertimbangkan menerapkanlockdowndi daerahMaharasahra, India akibat jumlah kasus Covid-19 yang masih tinggi. India kini menjadi negara dengan kasus positif Covid-19 terbesar kedua di dunia mengalahkan Brasil karena lonjakan infeksi dalam beberapa minggu terakhir.
Menteri Kesehatan India Harsh Vardhan dilaporkan menyalahkan gelombang kedua infeksi dan kurangnya komitmen warga untuk memakai masker dan mempraktikkan jarak sosial sebagai penyebab melonjaknya kasus Covid-19 di India, seperti dikutip dariCNBC International, Senin (14/4/2021).
Lonjakan kasus di India tersebut membuat investor waspada, apalagi di Indonesia sudah memasuki bulan Ramadhan dengan fenomena mudik. Meski pemerintah sudah melarang mudik, tetap saja pelaku pasar sedikit was-was.
Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) merilis World Economic Outlook edisi April merilis proyeksi terbaru pertumbuhan ekonomi.
Dalam laporan tersebut, IMF memberikan proyeksi yang optimistis terhadap perekonomian global, tetapi tidak untuk kawasan ASEAN, termasuk Indonesia.
Dalam laporan tersebut, IMF merevisi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini menjadi 6%, dibandingkan dengan proyeksi yang diberikan bulan Januari lalu yang sebesar 5,5%.
Amerika Serikat memimpin pemulihan ekonomi. Pada bulan Januari lalu IMF memproyeksikan produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,1%, tetapi kini direvisi menjadi 6,4%.
Indonesia sebaliknya, IMF kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini menjadi 4,3%, dibandingkan proyeksi yang diberikan bulan Januari lalu sebesar 4,8%. Pada bulan Oktober tahun lalu, IMF bahkan memproyeksikan produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan melesat 6,1%.
Sementara itu dari dalam negeri BPS melaporkan nilai ekspor Indonesia bulan lalu adalah US$ 18,35 miliar. Naik 30,47% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Sementara dibandingkan dengan Februari 2021 (month-to-month/mtm), nilai ekspor Indonesia tumbuh 20,31%.
Sementara impor pada Maret 2021 adalah US$ 16,79 miliar. Tumbuh 25,73% yoy, dan 26,55% mtm.
Dengan demikian, neraca perdagangan periode Maret 2021 mencatatkan surplus US$ 1,56 miliar.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 12,085% yoy. Sementara impor diproyeksi naik 6,925% yoy sehingga neraca perdagangan bakal surplus US$ 1,6 miliar.
Ekspor yang tumbuh positif berarti permintaan dari luar negeri mengalami peningkatan, yang tentunya menjadi kabar bagus saat dunia mencoba memulihkan perekonomian dari keterpurukan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
Sementara jika impor tumbuh positif, artinya perekonomian dalam negeri terus menunjukkan pemulihan. Bahkan dengan impor yang meroket, memberikan gambaran roda bisnis di dalam negeri mulai terakselerasi.
Berbeda dengan IHSG yang hanya mampu hijau tipis, bursa Paman Sam sumringah pada perdagangan minggu lalu sehingga indeks acuan pasar modalnya terbang ke level tertinggi sepanjang masanya.
Tercatat indeks acuan Dow Jones naik 1,2% dari posisi pekan lalu dan berhasil ditutup di atas level psikologis 34.200 yang merupakan level tertinggi sepanjang masanya, untuk S&P 500 ditutup naik 1,4%, sedangkan Nasdaq reli 1,1%.
Kenaikan bursa AS tidak terlepas dari rilis-rilis data ekonomi yang tayang pekan lalu. Berberapa rilis data tersebut seperti meningkatnya pengeluaran konsumsi masyarakat AS yang menunjukkan daya beli kembali pulih.
Penjualan ritel melesat 9,8% bulan lalu dibandingkan dengan bulan Februari dan menjadi kenaikan terbesar kedua dalam 30 tahun terakhir. Kenaikan terjadi mayoritas karena pengeluaran konsumsi akibat cairnya cek stimulu 1,9 triliun dolar yang disetujui Maret lalu.
Selain itu rilis data inflasi juga lumayan oke dimana CPO naik 0,6% dari posisi Februari dimana energi menjadi penyumbang utama. Angka ini tidak setinggi yang ditakutkan oleh para pelaku pasar sehingga ketakutan bahwa The Fed akan kembali menaikan suku bunga mulai mereda di pasar dan menyebabkan SBN AS bertenor 10 tahun suku bunganya mulai melandai.
Pulihnya ekonomi juga tercermin di sektor korporasi dimana rilis-rlis kinerja keuangan kuartal pertama perseroan dinilai cukup ciamik dimana rilis kinerja keuangan 13 perbankan raksasa AS seluruhnya berhasil berada di atas estimasi.
Cuan perbankan raksasa ini di dapat dari rendahnya biaya kredit karena suku bunga yang rendah, pendapatan investment bank, meskipun permintaan pinjaman masih rendah.
Selain dari sektor perbankan, pendapatan perusahaan konstituen S&P 500 juga diprediksi meningkat hampir 25% pada kuartal pertama dan merupakan pertumbuhan tercepat sejak 2018 silam.
Stimulus fiskal serta dibukanya kembali ekonomi AS pasca vaksinasi massal menyebabkan ekonomi AS diprediksi akan pulih lebih cepat dibanding pesang-pesaingnya.
Kenaikan IHSG di pekan ini tidak lepas dari bursa saham AS (Wall Street) yang mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Pergerakan kiblat bursa saham dunia tersebut tentunya akan tetap mempengaruhi pergerakan IHSG.
Salah satu pemicu penguatan Wall Street yakni yield obligasi (Treasury) AS yang mengalami penurunan. Yield Treasury tenor 10 tahun sepanjang pekan lalu turun 9,3 basis poin ke 1,573% yang merupakan level terendah dalam 1 bulan terakhir.
Penurunan yield Treasury tersebut selain menguntungkan IHSG, juga akan memberikan dampak positif ke SBN. Sebab, selisih yield akan semakin melebar dan SBN akan menjadi lebih menarik bagi para investor.
Ketika aliran modal masuk ke pasar obligasi, begitu juga pasar saham, nilai tukar rupiah akan menjadi bertenaga.
Selain itu, rupiah seharusnya bisa menghentikan rekor buruk tidak pernah menguat dalam 9 pekan beruntun pada pekan depan, sebab indeks dolar AS sedang dalam tren melemah.
Sepanjang pekan lalu indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut turun 0,66% ke 91,556 yang merupakan level terendah dalam 1 bulan terakhir. di pekan sebelumnya indeks dolar AS juga anjlok 0,92%. Artinya dalam 2 pekan mengalami penurunan lebih dari 1,5%.
Baik Treasury maupun indeks dolar AS tertekan setelah ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell, pada Rabu lalu yang menyebutkan perekonomian AS memang sudah membaik, dan inflasi juga akan terus naik. Tetapi hal tersebut masih belum cukup bagi The Fed untuk menaikkan mengubah kebijakan moneternya, yang masih akan dipertahankan hingga krisis berakhir.
Sementara itu dari dalam negeri, perhatian tertuju pada Bank Indonesia (BI) yang akan mengumumkan kebijakan moneter pada hari Selasa (20/4/2021). BI kemungkinan besar belum akan merubah kebijakan moneternya, tetapi pelaku pasar akan melihat bagaimana pandangan BI terkait pemulihan ekonomi Indonesia, apalagi setelah IMF menurunkan proyeksinya di tahun ini.
Pandangan BI terkait nilai tukar rupiah yang sudah 9 pekan melemah juga bisa menggerakkan Mata Uang Garuda.
Selain itu pasar mata uang kripto yang baru saja tumbang pada akhir pekan ini berpotensi menyebabkan dana investor ritel yang sempat kabur ke Bitcoin Cs kembali ke pasar modal lokal. Sebelumnya pada Januari 2021 silam ketika investor ritel corona ramai bertransaksi di bursa, per harinya transaksi IHSG bisa mencapai Rp 20 triliun disokong oleh saham-saham sahabat ritel seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan lain-lain.
Setelah saham ANTM dan saham-saham farmasi lain tiba-tiba ambruk, investor ritel mulai melarikan dananya ke aset kripto yang saat itu sedang reli naik, dampaknya transaksi IHSG turun hingga dibawah Rp 10 triliun per hari.
Melansir data Refintiv, harga bitcoin mencapai rekor tertinggi US$ 64.899,97/BCT pada Rabu (14/4/2021) lalu. Setelahnya, malah berbalik merosot hingga pagi tadi menyentuh level US$ 5.1431,1/BTC. Artinya, sejak menyentuh rekor tertinggi hingga ke level terendah pagi ini, harga bitcoin anjlok 20,75%.
Tidak hanya bitcoin, mata uang kripto lainnya juga bernasib sama. Ethereum yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar kedua setelah bitcoin, Jumat lalu menyentuh rekor tertinggi US$ 2.551,85/ETH, tetapi pagi tadi merosot ke US$ 1.954,75/ETH. Secara persentase ambrol 23%.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Neraca Dagang Jepang Periode Maret 2021 (6:50 WIB)
- Produksi Industri Jepang Periode Februari 2021 (11:30 WIB)
- Output Konstruksi Uni-Eropa Periode Februari 2021 (16:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA