Newsletter

Sah! Dividen Bebas Pajak, IHSG Meroket atau Meleset Nih?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 March 2021 06:00
Warga mempelajari platform investasi di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta
Foto: Pengunjung mempelajari platform investasi digital di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri kembali bervariasi pada perdagangan Selasa kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat, rupiah melemah, dan dari pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) ada yang naik banyak yang turun.

Yield obligasi (Treasury) Amerika Serikat (AS) yang turun 3 hari beruntun memberikan dampak positif ke pasar finansial global, bursa saham di berbagai negara mampu menguat. Namun penguatan indeks dolar AS cukup memukul Mata Uang Garuda. Faktor-faktor tersebut masih akan mempengaruhi pergerakan pasar hari ini, Rabu (3/3/3021), begitu juga beberapa faktor lainnya seperti relaksasi PPh dividen yang akan dibahas pada halaman 3 dan 4.

IHGS kemarin berhasil menguat 0,33% ke 6.359,205. Data perdagangan mencatat investor asing melakukan aksi beli bersih senilai Rp 27 miliar, dengan nilai transaksi mencapai Rp 14,23 triliun.

Sejak mencapai level 1,6% pada pekan lalu, yield Treasury AS sudah turun 3 hari beruntun, Kemarin, yield Treasury tenor 10 tahun turun 3,92 basis poin ke 1,4068%. Total dalam 3 hari perdagangan, yield treasury sudah turun 10,8 basis poin.

Banyak analis melihat kenaikan yield Treasury masih akan tertahan di kisaran 1,5%, sebab jika terus menanjak, maka akan memicu kecemasan terjadi taper tantrum yang dapat memicu gejolak di pasar keuangan global.

Dengan penurunan yield tersebut, kecemasan akan tarjadinya taper tantrum kini menurun, apalagi bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksi akan melancarkan Operation Twist yang pernah dilakukan 10 tahun yang lalu saat terjadi krisis utang Eropa.

Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.

Alhasil, pasar saham global menghijau sejak awal pekan.

Sementara itu, nilai tukar rupiah membukukan pelemahan 3 hari beruntun melawan dolar AS, setelah melemah 0,35% ke Rp 14.300/US$, level tersebut merupakan yang terlemah sejak 5 November 2020 lalu.

Yield Treasury yang sudah menurun belum mampu membawa rupiah ke zona hijau, sebab indeks dolar AS yang kini menanjak. Pada perdagangan Selasa, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut sempat menguat 0,39% di sesi Asia, sebelum berbalik turun dan melemah 0,29% di akhir perdagangan sesi AS.

Kemudian dari pasar obligasi, yield SBN bergerak bervariasi. Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield turun artinya harga obligasi sedang naik, sebaliknya ketika yield turun, harganya mengalami kenaikan.

Penurunan yield Treasury dalam 3 hari terakhir masih belum mampu membuat harga SBN kompak menguat.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Merah Diterpa Profit Taking

Bursa saham AS (Wall Street) berakhir melemah pada perdagangan Selasa waktu setempat akibat diterpa aksi ambil untung (profit taking).
Indeks S&P 500 melemah 0,81% setelah membukukan penguatan lebih dari 2% di awal pekan, menjadi yang terbaik sejak Juni 2020. Indeks Dow Jones turun 0,46% dan Nasdaq jeblok 1,7%.

Wall Street mengawali bulan Maret dengan melesat tajam, melanjutkan kinerja positif sepanjang bulan Februari. Indeks S&P 500 (sebesar 2,38%) atau terbaik sejak Juni 2020. Sementara itu, Dow Jones naik 1,95% dan Nasdaq meroket 3% menjadi kinerja harian terbaik sejak November.

Sementara sepanjang Februari, indeks Dow Jones menguat 3,2%, S&P 400 2,6%, dan Nasdaq 0,9%.

Sektor siklikal seperti energi dan finansial terus berkinerja melampaui ekspektasi pasar di tengah optimisme mengenai vaksin dan pemulihan ekonomi. Di sisi lain, tersendatnya laju kenaikan yield obligasi pemerintah AS membagikan sentimen positif untuk saham teknologi.

"Kecemasan seputar yield cenderung bertanggung-jawab terhadap koreksi S&P 500 sebesar 3% dari rekor tertingginya pada Februari,"tutur Mark Haefele, Kepala Investasi UBS Global Wealth Management, dalam laporan riset yang dikutip CNBC International.

Gangguan tersebut, lanjut dia, bersifat sementara dan investor akan kembali memutar uangnya di bursa saham. Kenaikan imbal hasil bagaimanapun juga didorong optimisme bahwa ekonomi akan tumbuh, dan bukan otomatis memicu inflasi yang liar.

Investor cenderung menunggu komentar calon ketua Otoritas Jasa Keuangan (Securities and Exchange Commission/SEC) AS Gary Gensler dan Gubernur The Fed Lael Brainard yang akan berbicara mengenai kondisi keuangan dan perekonomian AS, termasuk juga ekspektasi inflasi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Di awal pekan lalu, pemerintah memberikan insentif tambahan ke sektor properti dengan menetapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 0% atau PPN ditanggung pemerintah. Kebijakan yang berlaku 1 Maret 2021 sampai 31 Agustus 2021.

Kemarin, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali memberikan relaksasi kali ini pembebasan pajak penghasilan (PPh) atas dividen yang diterima wajib pajak.

Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Tujuan implementasi aturan ini adalah untuk mendorong investasi di pasar keuangan maupun sektor rill.

Adapun pengecualian dari objek PPh berlaku untuk dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dan badan. Selain itu, juga dividen yang berasal dari luar negeri yang diterima oleh wajib pajak.

"Dividen yang dikecualikan dari objek PPh merupakan dividen yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak," tulis Pasal 14, Paragraf 1, Bagian Ketiga PMK tersebut, dikutip CNBC Indonesia, Selasa (2/3/2021).

Adapun Pasal 15 Ayat 1 menuliskan, dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu.

Sementara Pasal 15 Ayat 2 menyebutkan, dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan dalam negeri dikecualikan dari objek PPh.
Pasal 17 juga menyebutkan bahwa dividen yang berasal dari luar negeri dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu.

Untuk mendapatkan insentif tersebut, para investor yang merupakan wajib pajak itu, wajib menanamkan modalnya kembali sebanyak 30% dari dividen yang didapat ke dalam instrumen investasi.

Dengan syarat harus diinvestasikan lagi, maka perekonomian Indonesia tentunya bisa semakin bergeliat, dan mempercepat laju pemulihan ekonomi.

Rencana relaksasi PPh atas deviden sebenarnya sudah disampaikan sejak 2 tahun lalu. Lo Kheng Hong, pria yang dijuluki Warren Buffett Indonesia ini, menilai kebijakan tersebut juga bisa menjadi daya tarik investor masuk ke pasar saham domestik.

"Rencana pemerintah membebaskan pajak dividen pasti bisa menjadi insentif dan daya tarik masyarakat untuk menginvestasikan uangnya di saham perusahaan publik. Kabar gembira buat para investor saham," kata Lo, kepada CNBC Indonesia, Rabu (27/11/2019).

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Pelemahan Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia tentunya mengirim sentimen negatif ke pasar Asia hari ini. Tetapi ada kabar bagus dari Negeri Paman Sam.

Pertumbuhan ekonomi AS diprediksi akan meroket di kuartal I-2021. Sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, melesatnya produk domestik bruto (PDB) AS tentunya akan mengkerek pertumbuhan ekonomi negara lainnya.

Perangkat GDPNow milik Federal Reserve (The Fed) Atlanta menunjukkan PDB di kuartal I-2021 akan tumbuh 10%. Kalkulasi perangkat tersebut menggunakan data-data ekonomi AS terbaru, sehingga di awal kuartal prediksinya cenderung volatil, dan akan semakin akurat mendekati akhir kuartal.

Kuartal I-2020 kini tersisa kurang dari 30 hari lagi, sehingga prediksi GDPNow semakin akurat.

Beberapa data ekonomi AS yang dirilis belakangan ini memang apik. Aktivitas manufaktur di AS yang kembali meningkatkan ekspansi. Institute for Supply Management (ISM) di awal pekan ini melaporkan aktivitas manufaktur yang tercermin dari purchasing managers' index (PMI) naik menjadi 60,8 di bulan Februari, dari bulan sebelumnya 58,7.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atasnya berarti ekspansi sementara di bawahnya berarti kontraksi.

Angka indeks 60,8 merupakan yang tertinggi dalam 3 tahun terakhir. Laporan dari ISM tersebut menguatkan ekspektasi PDB AS di kuartal I-2021 akan tinggi, para ekonom juga memberikan prediksi yang serupa.

Tidak hanya di kuartal I saja, momentum pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan akan berlanjut sepanjang 2021, sehingga menunjukkan kurva V-shape.

"Pemulihan PDB dengan kurva V-shape akan tetap seperti itu di semester pertama tahun ini dan akan kemungkinan akan berlanjut hingga akhir tahun," kata Ed Yardeni dari Yardeni Research dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International, Selasa (2/3/2021).

"Namun tidak akan ada lagi 'pemulihan' setelah kuartal I sebab PDB riil sudah pulih di 3 bulan pertama tahun ini. Oleh karena itu, nantinya akan menjadi 'ekspansi' PDB di rekor tertinggi," tambahnya.

Prediksi pulihnya ekonomi AS tersebut tentunya menjadi kabar baik bagi pasar finansial global, dan menjadi sentimen positif ke bursa Asia, termasuk IHSG.

Namun, bangkitnya perekonomian AS bahkan terjadi sebelum stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun dikucurkan pemerintah AS. Hal tersebut memicu perdebatan apakah masih diperlukan stimulus dengan nilai sebesar itu, dikhawatirkan malah akan terjadi lonjakan inflasi, salah satu pemicu kenaikan yiled obligasi (Treasury) belakangan ini yang memicu kecemasan akan kemungkinan terjadi taper tantrum.

"Terlalu banyak hal bagus akan menjadi berlebihan, perekonomian saat ini sedang panas dan akan semakin panas akibat stimulus fiskal dan moneter yang jumbo," kata Yardeni.

Rancangan undang-udang (RUU) stimulus fiskal US$ 1,9 triliun sudah disetujui oleh House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) AS dan saat ini berada di Senat.

Partai Demokrat di Senat berusaha meloloskan RUU tersebut pada pekan depan dan diserahkan ke Presiden Joseph 'Joe' Biden agar ditandatangani sebelum tanggal 14 Maret, saat stimulus fiskal yang ada saat ini berakhir.

Ekspektasi cairnya stimulus fiskal tersebut membuat indeks dolar AS melemah pada perdagangan Selasa, dan mengakhiri penguatan 3 hari beruntun. Pelemahan indeks dolar tersebut tentunya dapat membawa rupiah kembali ke zona hijau.

Saat stimulus fiskal cair, jumlah uang yang beredar di perekonomian AS akan bertambah, secara teori dolar AS akan melemah.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini.

  • Data PDB Australia (7:30 WIB)
  • Data PMI Sektor Jasa China versi Caixin (8:45 WIB)
  • Data PMI Sektor Jasa Spanyol (15:15 WIB)
  • Data PMI Sektor Jasa Italia (15:55 WIB)
  • Data PMI Sektor Jasa Prancis (15:50 WIB)
  • Data PMI Sektor Jasa Jerman (15:55 WIB)
  • Data PMI Sektor Jasa Zona Euro (16:00 WIB)
  • Data PMI Sektor Jasa Inggris (16:30 WIB)
  • Data Tenaga Kerja AS versi ADP (20:15) WIB
  • Data PMI Sektor Jasa AS versi ISM (22:00 WIB)

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap) Next Article Pekan Penting! Pasar Finansial Bakal Guncang atau Terbang?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular