
Neraca Dagang 2020 Cetak Rekor, Tapi Kok Rasanya Sedih Ya...

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2020 diperkirakan kembali mencatat surplus. Ini membuat surplus perdagangan sepanjang tahun lalu membumbung tinggi, tertinggi sejak 2011.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data perdagangan internasional Indonesia periode Desember 2020 pada 15 Januari 2021. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 6,84% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Sementara impor diperkirakan masih tumbuh negatif (terkontraksi) 11,26% YoY. Ini membuat neraca perdagangan surplus US$ 2,58 miliar.
Institusi | Pertumbuhan Ekspor (%YoY) | Pertumbuhan Impor (%YoY) | Surplus/Defisit Neraca Perdagangan (US$ Juta) |
Citi | 4.6 | -17.3 | 3090 |
ING | 6.6 | -6.2 | 1775 |
Maybank Indonesia | 7.58 | -12.02 | 2758 |
Bank Danamon | 3.1 | -13.4 | 2300 |
Bank Mandiri | 10.5 | -9.9 | 2871 |
BCA | 7.08 | 13.71 | 2230 |
Bank Permata | 5.26 | -13.08 | 2579 |
Bahana Sekuritas | - | - | 1850 |
Mirae Asset | 9.75 | -10.5 | 2870 |
MEDIAN | 6.84 | -11.26 | 2579 |
Sebagai perbandingan, konsensus pasar versi Reuters memperkirakan ekspor tumbuh 6,3% YoY. Sedangkan impor tumbuh -12,47% YoY dan neraca perdagangan surplus US$ 2,3 miliar.
Apabila neraca perdagangan betul surplus US$ 2,58 miliar seperti proyeksi CNBC Indonesia, maka sepanjang 2020 akan ada surplus US$ 22,47 miliar. Ini akan menjadi surplus terbesar sejak 2011.
Akan tetapi, sepertinya surplus raksasa ini bukan sesuatu yang bisa disyukuri. Pasalnya, surplus ini malah mempertegas bahwa ekonomi domestik sedang tidak baik-baik saja.
Surplus neraca perdagangan lebih disebabkan oleh impor yang anjlok. Ekspor memang bangkit akhir-akhir ini, tetapi adalah penurunan impor yang membikin neraca perdagangan surplus tanpa henti sejak Mei 2020.
Lho, bukannya impor turun itu berkah? Nanti dulu, ki sanak...
Masalahnya, lebih dari 90% impor Indonesia adalah bahan baku dan barang modal untuk keperluan produksi industri dalam negeri. Impor barang konsumsi tidak sampai 10%.
Jadi ketika impor lesu, itu tandanya industri dalam negeri sedang 'tiarap'. Lemasnya industri dalam negeri tergambar dari data Puchasing Managers' Index (PMI).
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika masih di bawah 50, artinya industriawan belum ekspansi alias masih terkontraksi.
Rata-rata PMI manufaktur Indonesia pada 2020 adalah 44,69. Jauh di bawah 2019 yang sebesar 49,74 apalagi 2018 yang 50,9.
"Kapasitas produksi di industri manufaktur masih belum optimal sehingga berakibat kepada berlanjutnya pengurangan pekerja. Arus rantai pasok juga masih mengalami gangguan sehingga sulit mengamankan pasokan bahan baku," sebut Andrew Harker, Economics Director di IHS Markit, lembaga yang merilis PMI manufaktur.
Per Oktober 2020, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 2,1 juta pekerja mendapatkan 'vonis' dirumahkan atau bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ini orang-orang yang sudah ada datanya, by name-by address. Kalau yang datanya belum lengkap, jumlahnya lebih banyak lagi yaitu sekitar 3,5 juta pekerja.
Semua ini bisa terjadi gara-gara pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Wabah virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provins Hubei, Republik Rakyat China ini membuat pemerintah terpaksa melakukan upaya pencegahan dengan pembatasan sosial (social distancing).
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini mensyaratkan sektor ekonomi non-esensial belum boleh beroperasi penuh, karyawan yang masuk kerja dibatasi untuk mengurangi risiko penularan.
Di sisi lain, masyarakat umum diminta untuk #dirumahaja. Tidak perlu keluar rupiah kecuali untuk urusan yang maha mendesak, supaya tidak tertular virus corona.
So, industri dalam negeri terpukul di dua sisi sekaligus. Produksi terganggu karena pembatasan jumlah pekerja yang masuk, permintaan pun turun karena warga banyak menghabiskan waktu di rumah.
Hasilnya, dunia usaha harus putar otak untuk bertahan hidup. Pengurangan karyawan jadi solusi yang sulit dihindari.
Oleh karena itu, neraca dagang yang surplus tinggi ini adalah sesuatu yang sejatinya menjadi keprihatinan. Sebab, surplus itu datang dari tangis jutaan rakyat yang kini tidak punya pekerjaan untuk menghidupi diri dan keluarganya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Neraca Dagang Diramal Surplus Tinggi, Tanda RI Sedang Resesi!