Newsletter

BPOM Restui Vaksin Sinovac, IHSG Masih Kuat Tancap Gas?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
12 January 2021 06:12
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito dalam Konferensi Pers Emergency Use Authorization (EUA) Vaksin COVID-19. (Tangkapan Layar Youtube Badan POM RI)
Foto: Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito dalam Konferensi Pers Emergency Use Authorization (EUA) Vaksin COVID-19. (Tangkapan Layar Youtube Badan POM RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham domestik seolah 'kesetanan' pada perdagangan kemarin. Indeks acuan utama pasar (IHSG) reli kencang. Namun sayang kenaikan harga-harga saham tidak dibarengi dengan penguatan nilai tukar rupiah maupun harga obligasi Tanah Air.

Data perdagangan mencatat nilai transaksi di pasar saham domestik mencapai Rp 23,5 triliun. Investor asing mencatatkan aksi beli bersih beli bersih sebanyak Rp 2,4 triliun di pasar reguler. 

Semaraknya aksi beli oleh investor asing dan geliat pertumbuhan serta makin aktifnya investor ritel di Tanah Air membuat IHSG melesat 2% dan tembus level 6.382,84. Tercatat 263 saham naik, 240 koreksi, sisanya 134 stagnan.

Sentimen vaksinasi Covid-19 yang positif membuat harga saham emiten farmasi bergerak liar. Saham PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA), PT Indofarma Tbk (INAF) dan PT Kimia Farma Tbk (KAEF) nilai kapitalisasi pasarnya melonjak lebih dari 20%. Sementara itu emiten farmasi lain PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) melesat 17% lebih.

Tampak pelaku pasar berspekulasi terhadap saham-saham tersebut. Kendati harga sahamnya sudah jauh melampaui nilai intrinsik perusahaan saat ini untuk beberapa emiten. Namun tampaknya pesta masih terus berlanjut dan belum mau berhenti.

Sepanjang tahun 2021, IHSG berhasil membukukan return 6,75%. Pasar saham domestik sudah benar-benar pulih. Kini IHSG sudah berada di posisi yang lebih tinggi dibanding awal Januari tahun lalu ketika pasar belum terjangkit pandemi Covid-19. 

Berbeda dengan saham, harga obligasi yang ditransaksikan di pasar domestik justru mengalami penurunan. Indeks acuan instrumen pendapatan tetap (Indonesia Composite Bond Index/ICBI) melemah pada perdagangan kemarin. 

ICBI terkoreksi 0,23% yang mencerminkan penurunan harga surat utang yang diperjualbelikan di bursa. Di saat yang sama, imbal hasil (yield) obligasi mengalami kenaikan. 

Obligasi pemerintah bertenor panjang yang sering menjadi acuan pelaku pasar yakni SBN rupiah tenor 10 tahun mencatatkan peningkatan yield. Imbal hasil nominal SBN tenor 10 tahun pemerintah naik naik hampir 1,5% ke 6,22% seiring dengan kenaikan yield obligasi pemerintah AS dengan tenor yang sama ke atas 1%.

Selisih (spread) imbal hasil nominal antara surat utang pemerintah RI dan AS yang menjadi acuan masih relatif besar yakni di atas 500 basis poin (bps) meski sudah di bawah rata-rata setahun lalu yang mencapai 600 bps.

Kendati selisihnya semakin menyempit tetapi imbal hasil riil obligasi pemerintah RI masih lebih tinggi dibanding pemerintah AS. Menggunakan yield nominal pada perdagangan terakhir (11/1/2021) maka imbal hasil riil obligasi pemerintah AS masih minus 0,07% (setelah dikurangi inflasi 1,2%). 

Sementara itu, dengan menggunakan angka inflasi 1,68% maka imbal hasil riil obligasi pemerintah RI seri acuan FR0082 yang memberikan kupon tetap 7% per tahun masih 4,54% dan masih menjadi yang paling menarik dibanding negara berkembang lainnya.

Selain obligasi yang harganya terkoreksi, nilai tukar rupiah di pasar spot juga melemah. Mata uang Garuda terdepresiasi 0,72% terhadap greenback ke level Rp 14.080/US$. Nilai tukar rupiah kembali ke atas Rp 14.000/US$ setelah berhasil menguat 1,1% dan menjadi yang terbaik di Asia pekan lalu.

Pekan ini pengatatan PSBB yang sekarang berganti nama PPKM di Jawa-Bali sudah mulai diterapkan. Namun sentimen positif terkait vaksinasi masih membuat pasar saham sumringah selain adanya sentimen January Effect.

Di sisi lain Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Desember juga menguat ke level 96 lebih tinggi dari bulan sebelumnya di 92 maupun ekspektasi pasar di 90.

Beralih ke bursa saham New York, setelah reli kencang dan berhasil mencatatkan kenaikan 16,3% tahun lalu, Wall Street akhirnya menunjukkan tanda-tanda koreksi (pull back). Pada penutupan perdagangan pagi tadi, tiga indeks saham acuan utama AS kompak finish di zona merah.

Indeks S&P 500 drop 0,66%. Dow Jones Industrial Average (DJIA) yang berisi 30 saham pilihan dan merupakan saham-saham dari emiten yang menjadi industry leader terkoreksi 0,29%. Sementara itu Nasdaq Composite yang berisikan saham-saham teknologi AS memimpin pelemahan dengan penurunan sebesar 1,25%.

Pelaku pasar saat ini sudah mewaspadai valuasi aset-aset ekuitas yang diperdagangkan secara publik. Valuasi yang sudah dinilai kemahalan membuat pasar membutuhkan koreksi yang sehat. 

Sebagai informasi, menggunakan metrik valuasi yang dikembangkan oleh peraih nobel ekonomi Robert J Shiller pada 2013 yang dikenal dengan Cyclically Adjusted Price to Earning (CAPE) ratio, rasio harga terhadap earning S&P 500 saat ini sudah mencapai 34,7x.

Saat ini S&P 500 ditransaksikan dengan valuasi tertingginya dalam kurun waktu hampir 20 tahun terakhir setelah dot.com bubble crash tahun 2000. Bahkan S&P 500 sudah di atas rata-rata CAPE ratio-nya yang berada di angka 16,78x.

Saham-saham teknologi AS yang sudah meroket menjadi tumbal pagi tadi. Saham produsen mobil listrik besutan Elon Musk yaitu Tesla drop 7,82%. Tesla saat ini ditransaksikan di 90 kali arus kasnya. Valuasi yang sangat mahal tentunya.

Namun dalam 12 bulan terakhir Tesla telah mencatatkan capital gain lebih dari 700% dan membuat Elon Musk menjadi orang terkaya di dunia menggeser bos Amazon Jeff Bezos menurut Bloomberg Billionaire Index.

Di sisi lain, gejolak politik yang terjadi di Paman Sam juga tak luput menjadi sorotan para pelaku pasar. Aksi ricuh yang sempat terjadi di Gedung Kongres AS (The Capitol) oleh para pendukung Trump menolak pengesahan Joe Biden sebagai presiden AS membuat DPR (The House) berencana untuk memakzulkan presiden ke-45 AS tersebut.

Melansir CNBC International, tensi yang terjadi di Washington DC meningkat. DPR AS dari Partai Demokrat disebut berencana melakukan voting atas rencana pemakzulan mantan taipan properti Paman Sam itu. 

Namun prospek bahwa presiden terpilih Joe Biden akan menggelontorkan stimulus fiskal yang lebih besar membuat pasar tidak terlalu goyang. Kemungkinan kebijakan fiskal yang ekspansif di bawah kepemimpinan Joe Biden didukung dengan kemenangan anggota Senat dari Partai Demokrat di Georgia.

Kemenangan tersebut semakin mengukuhkan bahwa Partai Demokrat kini menguasai lembaga legislatif baik Senat maupun DPR. Potensi lolosnya kebijakan fiskal ekspansif pun lebih besar.

Di saat harga-harga saham di AS ambles, indeks dolar yang menjadi indikator keperkasaan greenback mengalami technical rebound setelah terperosok ke level terendahnya dalam dua setengah tahun.

Kenaikan dolar AS seiring dengan meningkatnya yield obligasi pemerintah (US Treasury) membuat harga emas tertekan hebat. Aset spekulatif berupa Bitcoin yang belum lama ini diborong oleh para pengelola dana institusi juga ambrol setelah menyentuh level tertingginya sepanjang sejarah.

Namun per akhir pekan lalu tepatnya sebelum crash, Bitcoin masih memberikan cuan jauh lebih tebal dibandingkan dengan aset-aset yang lain. Selisih (spread) capital gain Bitcoin terhadap aset lain mencapai dobel digit bahkan setelah dikurangi inflasi (inflation adjusted capital gain).

 

Kinerja Wall Street yang ditutup dengan koreksi tentu bukan kabar yang baik untuk pasar saham Benua Asia yang akan buka pagi hari ini, Selasa (12/1/2021). Apalagi ditambah dengan ambrolnya harga Bitcoin. 

Sampai dengan penutupan perdagangan bursa saham New York, Bitcoin tercatat membukukan koreksi lebih dari 15% dalam satu hari. Volatilitas Bitcoin yang tinggi sangat perlu dicermati oleh pelaku pasar. 

Walaupun nilai pasar Bitcoin masih di kisaran US$ 600 - 700 miliar atau hanya 2% dari kapitalisasi pasar S&P 500 yang mencapai lebih dari US$ 32 triliun tetapi keterkaitannya dengan aset lain serta makin diliriknya aset spekulatif ini oleh pelaku pasar sebagai aset untuk lindung nilai (hedging) dari potensi inflasi yang tinggi serta sebagai diversifier juga menimbulkan risiko tersendiri. 

Beralih ke dalam negeri, sentimen yang akan menjadi penggerak utama pasar keuangan domestik hari ini adalah vaksin Covid-19. Setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan untuk melabeli vaksin buatan Sinovac itu suci dan halal kini giliran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang angkat suara. 

Berdasarkan analisa yang dilakukan terhadap hasil uji klinis tahap III vaksin Sinovac di RI, diperoleh tingkat keampuhannya (efficacy) sebesar 65,3%. Memang lebih rendah dibanding hasil yang diperoleh di Turki dan Brasil yang masing-masing mencapai 91,25% dan 78%. 

Namun efficacy tersebut masih lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan WHO di angka 50%. Menurut keterangan BPOM vaksin Covid-19 yang diberinama CoronaVac tersebut juga aman dan hanya memberikan gejala ringan seperti demam.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, BPOM akhirnya merestui penggunaan vaksin CoronaVac untuk keadaan darurat (emergency use authorization/EUA). Setelah BPOM memberikan lampu hijau, Presiden Joko Widod (Jokowi) akan menjadi orang pertama di RI yang disuntik vaksin.

Kabar paling anyar, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin (BGS) mengatakan bahwa hari ini sebanyak 15 juta bahan baku vaksin Covid-19 dari perusahaan farmasi asal China itu akan tiba di Tanah Air.

Belum lama ini pemerintah mengumumkan telah mengamankan 100 juta dosis vaksin Covid-19 dari dua pengembangnya yaitu AstraZeneca dan Novavax. Pemerintah tengah berupaya untuk mendapatkan 50 juta dosis tambahan dari pengembang lain yakni Pfizer.

Berdasarkan penuturan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin (BGS) Indonesia diharapkan bisa memperoleh 400 juta dosis vaksin dari empat pengembang yakni Sinovac, Novavax, AstraZeneca dan Pfizer.

Ini merupakan sentimen positif bagi pasar keuangan RI. Saham-saham farmasi domestik juga patut untuk dicermati karena belakangan ini akibat sentimen vaksinasi Covid-19 pergerakan harganya menjadi liar. 

Peluang IHSG untuk terapresiasi memang ada. Namun melihat Wall Street yang terkoreksi dan reli IHSG yang sudah sangat kencang patut diwaspadai. Tidak menutup kemungkinan IHSG akan lebih volatil hari ini. 

Di sisi lain selagi dolar AS dan yield obligasi pemerintah AS masih terus meningkat maka ada kemungkinan rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS dan harga instrumen investasi pendapatan tetap Tanah Air bakal lanjut koreksi.

Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Rilis data transaksi berjalan Jepang bulan November 2020 (06.50 WIB)
  • Rilis data kredit perbankan Jepang bulan Desember 2020 (06.50 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Data dan Indikator Ekonomi MakroSatuanNilai
Pertumbuhan Ekonomi Q320%yoy-3.49
Inflasi 2020%yoy1.68
BI 7 Day Reverse Repo Rate November 2020%3.75
Surplus/Defisit Anggaran 2020%PDB-6.34
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan Q320%PDB0.36
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia Q30US$ Miliar2.05
Cadangan Devisa November 2020US$ Miliar135.9

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg) Next Article Inflation is Coming, Awas IHSG, Rupiah & SBN Masih Jet Lag

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular