
Resesi RI di Depan Mata, Semoga Pasar Tidak Menghukum

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan pertama bulan Oktober, Kamis (1/10/20) ditutup terbang 2,05% di angka 4.970,09 dampak sentimen positif dari pasar global.
Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi beli bersih sebanyak Rp 65 miliar di pasar reguler hari ini dengan nilai transaksi hari ini menyentuh Rp 7,1 triliun.
Penguatan bursa nasional memang terbawa sentimen positif global di mana Amerika Serikat (AS) dikabarkan kian dekat mencapai kesepakatan stimulus. Jika stimulus dicairkan, maka ekonomi Negara Adidaya tersebut berpeluang lebih besar untuk bertahan di tengah pandemi.
"Saya bilang kita akan mencoba lagi lebih serius untuk menyelesaikan ini dan saya pikir ada harapan bahwa kita bisa menuntaskannya... ada alasan untuk berkompromi di sini," ujar Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dalam forum yang digelar CNBC International.
Perkembangan positif juga datang dari penanganan pandemi, di mana perusahaan farmasi Regeneron mengumumkan bahwa obatnya yang bernama REGN-COV2 bisa mengurangi tingkat viralitas virus corona dan memperbaiki kondisi.
Dari dalam negeri data kurang enak datang dari rilis data Badan Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan pada September terjadi deflasi sebesar 0,05% yang artinya selama kuartal ketiga tahun 2020, Indonesia terus-terusan mengalami deflasi yang mengindikasikan adanya masalah daya beli masyarakat.
Selanjutnya, nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (1/10/2020). Dengan demikian, rupiah mampu membukukan penguatan 3 hari beruntun, meski data menunjukkan Republik Indonesia (RI) mengalami deflasi 3 bulan berturut-turut.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,27% di Rp 14.800/US$, tetapi tidak lama langsung terpangkas bahkan sempat melemah 0,07% ke Rp 14.850/US$.
Setelahnya rupiah kembali bangkit dan bertahan di zona hijau hingga penutupan perdagangan. Rupiah mengakhiri perdagangan hari ini dengan menguat 0,13% ke Rp 14.820/US$. Dalam 2 hari terakhir sebelumnya, rupiah mampu menguat masing-masing 0,3%, sementara di awal pekan melemah 0,3%. Artinya baru hari ini rupiah mengakhiri perdagangan dengan persentase lebih dari 0,3%.
Sementara itu harga obligasi pemerintah atau surat berharga negara (SBN) pada perdagangan Kamis (1/10/2020) ditutup bervariasi cenderung menguat, karena aset pendapatan tetap kian moncer di tengah inflasi yang rendah.
Mayoritas SBN ramai dikoleksi oleh investor pada hari ini, kecuali SBN tenor 1 dan 10 tahun yang cenderung dilepas investor. Dilihat dari imbal hasilnya (yield), hampir semua SBN mengalami pelemahan yield, tetapi tidak untuk SBN tenor 1 tahun yang mencatatkan penguatan yield 5,4 basis poin ke level 3,949%.
Sementara itu, yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan acuan yield obligasi negara menguat 0,6 basis poin ke level 6,936% pada hari ini. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga penguatan yield menunjukkan harga obligasi yang turun. Demikian juga sebaliknya.
Beralih ke bursa efek acuan dunia negeri Paman Sam, Wall Street ditutup menghijau pada penutupan dini hari tadi (2/10/20). Dow Jones terdaresiasi 0,13%, S&P 200 naik0,54%, sedangkan Nasdaq loncat 1,42%. Apresiasi bursa saham terpangkas pada akhir perdagangan setelah negosiasi paket stimulus antar Partai Demokrat dan Partai Republik kembali tegang meskipun masih bisa menghijau karena saham-saham teknologi kembali melesat.
Juru Bicara House of Representative, Nancy Pelosi mengkritisi tawaran stimulus yang diberikan oleh White House yang menyebabkan pudarnya optimisme investor akan paket stimulus yang akan tiba dalam waktu dekat.
"Ini bukan setengah dari kue, tawaran yang mereka berikan hanyalah ujung kue saja, tidak berguna bernegosiasi dengan mereka apabila mereka tidak menginginkan terjadinya kesepakatan." Ujar Nancy,
Gedung Putih menawarkan Nancy paket stimulus sebesar US$ 1,6 triliun dari proposal Partai Demokrat yakni sebesar US$ 2,2 triliun. Tawaran dari Gedung Putih termasuk tambahan 400 US$ per minggu untuk para pengangguran, lebih sedikit dari 600 US$ yang diminta oleh Demokrat.
Paket stimulus ini juga menawarkan bantuan kepada industri maskapai penerbangan untuk mengurangi PHK setelah menurunya tingkat pengunaan pesawat pasca diserang pandemi virus corona. Maskapai penerbangan raksasa setuju tidak akan melakukan PHK terhadap karyawanya apabila paket stimulus ini cair.
Meskipun stimulus sedang absen nampaknya pemulihan di pasar tenaga kerja berlanjut meskipun memang melambat.
Departemen Ketenagakerjaan AS melaporkan 837 ribu orang mengklaim bantuan pengangguran per minggu 26 September. Lebih sedikit daripada konsensus yang menargetkan angka 850 ribu dan merupakan titik terendah pasca diserang pandemi corona Maret lalu.
Sentimen perdagangan hari ini masih dari rilis data kemarin yang belum sempat direspons oleh para pelaku pasar karena kondisi global yang sedang oke.
Dari dalam negeri data kurang enak datang dari rilis data Badan Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan pada September terjadi deflasi sebesar 0,05% meskipun survei dari Bank Indonesia memprediksikan terjadinya inflasi sebesar 0,05% dan konsensus juga menargetkan hal yang sama.
Hal ini artinya selama kuartal ketiga tahun 2020, Indonesia terus-terusan mengalami deflasi yang mengindikasikan adanya masalah daya beli masyarakat dan mengkonfirmasi bahwa memang Indonesia sudah sangat dekat dengan jurang resesi.
Dari Paman Sam, rilis data tingkat pengangguran tentu saja sangat dinanti oleh para investor. Tingkat pengangguran ini diekspektasikan berada di angka 8,2% pada September, turun dibandingkan dengan angka bulan Agustus yakni 8,4% sebelum sempat memuncak pada bulan Mei di angka 14,7%. Tingkat pengangguran sendiri menjadi tolak ukur pengeluaran konsumen yang menjadi mayoritas pengerak ekonomi AS.
Sementara itu rilis kedua angka PMI di negara-negara Uni Eropa tidak menunjukkan banyak perubahan dari rilis pertama. Negara-negara besar di Benua Biru masih menunjukkan tren kenaikan angka PMI yang rata-rata sudah berada di atas angka 50 yang mengindikasikan adanya ekspansi di sektor manufaktur.
PMI Uni Eropa sendiri berada di angka 53,7 pada bulan September, naik dari posisi bulan Agustus yang berada di angka 51,7.
Sementara itu Indeks Harga Konsumen Uni Eropa yang datanya akan dirilis hari ini memiliki konsensus terjadinya inflasi secara bulanan sebesar 0,1% setelah pada bulan lalu juga terjadi deflasi sebesar 0,4% yang mengindikasikan adanya pemulihan daya beli masyarakat.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Tingkat Pengangguran Jepang Bulan Agustus (6:30 WIB)
- Penjualan Ritel Australia Bulan Agustus (8:30 WIB)
- Inflasi Uni Eropa Bulan September (16:00 WIB)
- Tingkat Pengangguran Amerika Serikat Bulan September (19:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (September 2020 YoY) | 1,34% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal II-2020) | -1,18% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal II-2020) | US$ 9,24 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2020) | US$ 137,04 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(sef/sef) Next Article Semua Mata Tertuju pada China, IHSG Mau ke Mana?