Newsletter

Bursa Global Reli 2 Hari Beruntun, IHSG Tolonglah di Follow

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 March 2020 06:45
Bursa Global Reli 2 Hari Beruntun, IHSG Tolonglah di Follow
Foto: IHSG Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri kurang kompak pada perdagangan Selasa (24/3/2020) lalu. Pandemi virus corona (COVID-19) masih menjadi penggerak utama di pasar keuangan dalam negeri, begitu juga pasar global.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat melesat 3,36% di awal perdagangan Selasa, tetapi tidak lama sudah masuk ke zona merah. Bursa kebanggaan tanah air ini sempat menyentuh level terlemah intraday ke 3.911,716, atau melemah 1,95%. Level tersebut merupakan yang terendah sejak Agustus 2013. IHSG berhasil memangkas pelemahan dan berakhir di level 3.937,632, melemah 1,3%.





Sementara itu, di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) naik 7,7 basis poin (bps) menjadi 8,322%.

Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga sedang turun, itu berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi.

Tetapi, di saat IHSG dan obligasi memerah, rupiah justru menguat bahkan menjadi mata uang terbaik ke-tiga di Asia. Tekanan yang dialami oleh dolar Amerika Serikat (AS) serta intervensi dari Bank Indonesia menjadi penyebab penguatan rupiah.



Dolar AS mengalami tekanan setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengumumkan stimulus moneter yang masif pada hari Senin waktu setempat.

The Fed mengumumkan akan melakukan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas guna membantu perekonomian AS menghadapi tekanan dari pandemi virus corona (COVID-19). Aset yang akan dibeli seperti obligasi pemerintah, efek beragun aset perumahan (Residential Mortgage-Backed Security/RMBS), dan beberapa jenis efek lainnya.

The Fed mengatakan akan melakukan QE seberapapun yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran fungsi pasar serta transmisi kebijakan moneter yang efektif di segala kondisi finansial dan ekonomi.

"Tidak seperti pasca krisis finansial global (2008), saat itu nilai QE The Fed terbatas setiap bulannya, kali ini jumlahnya tak terbatas" kata Ray Attril, kepala strategi valas di National Australia Bank, sebagaimana dilansir CNBC International.

Jumlah yang tak terbatas tersebut artinya The Fed akan membeli seberapapun aset yang diperlukan guna menyediakan likuditas di pasar. Banjir likuiditas tersebut membuat dolar AS melemah.



Sebelum menguat di hari Selasa, nilai tukar rupiah terus merosot hingga menyentuh level terlemah sejak krisis moneter 1998.

Sejak akhir tahun lalu hingga Senin (23/3/2020) rupiah sudah merosot nyaris 20%.

Merosotnya nilai tukar rupiah membuat Bank Indonesia (BI) menggelontorkan amunisnya guna menstabilkan nilai tukar Mata Uang Garuda.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo pada Selasa lalu mengungkapkan saat ini cadangan devisa yang dimiliki Indonesia sangat cukup untuk melakukan stabilisasi nilai tukar.

Walaupun saat ini aliran modal asing ke luar cukup tinggi, namun bank sentral memiliki banyak 'kekuatan' untuk membanjiri pasar.

"Aliran modal asing atau outflow baik dari Surat Berharga Negara, obligasi, dan saham itu mencapai Rp 125 triliun," kata Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), dalam briefing seputar perkembangan ekonomi terkini, Selasa (24/3/2020).

Ia menambahkan, Bank Indonesia juga telah menggelontorkan likuiditas hampir Rp 300 triliun. "Melalui pembelian SBN (Surat Berharga Negara) Rp 168 triliun dan dari repo perbankan Rp 55 triliun. Dan tak lupa ada penurunan GWM yang beraku April ini Rp 75 triliun," imbuh Perry.

Terkait penguatan rupiah di hari Selasa, Perry mengatakan hal tersebut terjadi berkat pasokan valas dari eksportir.

"Nilai tukar rupiah hari ini cukup stabil. Bid dan offer berjalan baik di pasar valas. Terima kasih kepada eksportir yang memasok dolar ke pasar valas," kata Perry.

BI, lanjut Perry, juga terus berada di pasar untuk mengawal rupiah. BI masih melakukan intervensi di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF), dan pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder.

Perry menegaskan bahwa BI punya 'amunisi' yang memadai bernama cadangan devisa. Sebagai informasi, cadangan devisa Indonesia per akhir Februari 2020 adalah US$ 130,44 miliar.

[Gambas:Video CNBC]





Bursa saham AS (Wall Street) kembali menguat pada perdagangan Rabu (26/3/2020) melanjutkan kenaikan tajam sehari sebelumnya. Pemerintah AS dan Senat mencapai kata sepakat untuk mengucurkan stimulus senilai US$ 2 triliun guna menanggulangi pandemi COVID-19 menjadi pendorong penguatan Wall Street.

Indeks Dow Jones menguat 2,39% ke 21.200,55, dan indeks S&P 500 1,15% ke 2.475,56. Sementara indeks Nasdaq melemah 0,45% ke 7.384,29, terseret pelemahan Facebook, Amazon, Apple, Netflix serta Alphabeth.

Berkat penguatan di pada perdagangan Rabu, indeks Dow Jones dan S&P 500 membukukan kenaikan beruntun untuk pertama kali sejak 12 Februari, atau lebih dari satu bulan terakhir.

Sehari sebelumnya, kenaikan Wall Street bahkan sangat impresif. Indeks Dow Jones melesat lebih dari 11%, dan membukukan kinerja harian terbaik sejak tahun 1933, S&P 500 rally 9,4% menjadi yang terbaik sejak 2008. Sementara Nasdaq membukukan kenaikan 8,12% di level 7.417,86. Sehingga dalam dua hari terakhir, indeks Dow Jones melesat lebih dari 13%, dan S&P 500 lebih dari 10%. 

Indeks Dow Jones dan S&P 500 sebenanrya menguat jauh lebih tinggi pada perdagangan Rabu, tetapi terpangkas di menit-menit akhir perdagangan setelah pelaku pasar dibuat cemas akan terhambatnya rancangan undang-undang (RUU) stimulus untuk menanggulangi pandemi COVID-19.



Seperti diketahui sebelumnya, pada Selasa lalu Pemerintah dan Senat AS telah mencapai kata sepakat untuk mengucurkan stimulus senilai US$ 2 triliun, yang dikatakan terbesar sepanjang sejarah. Kesepakatan tersebut kemudian dibuatkan RUU dan harus di-voting di Kongres AS.

Masalah muncul setelah 4 Senator asal Partai Republik mengatakan akan menentang RUU tersebut. Mereka berpendapat salah satu poin mengenai pemberian tunjangan senilai US$ 600 per pekan ke tunjangan pengangguran selama 4 bulan ke depan berisiko mendorong perusahaan AS memberhentikan karyawannya, sehingga warga AS akan tetap menganggur.

Menanggapi hal tersebut, Senator Bernie Sanders dari Partai Demokrat menyatakan akan menunda voting RUU stimulus sampai 4 Senator Partai Republik tersebut mencabut keberatannya.

Akibat komentar-komentar tersebut, indeks Dow Jones yang sebelumnya menguat lebih dari 6% harus memangkas penguatannya di 30 menit terakhir perdagangan. Begitu juga dengan S&P 500 yang sempat naik lebih dari 5%.

Di saat pasar keuangan dalam negeri libur Rabu kemarin, bursa saham Asia juga menguat tajam mengikuti rally Wall Street di hari Selasa. Indeks Nikkei Jepang memimpin penguatan bursa saham Asia setelah melesat lebih dari 8%. Disusul indeks Sensex India yang menguat nyaris 7%, kemudian Strait Times Singapura 6%.

Kospi Korea Selatan menguat nyaris 6%, sementara Hang Seng Hong Kong dan Shanghai Composite China naik 3,8% dan 2,17%, begitu juga dengan bursa saham negara lainnya juga mencatat penguatan.

Pada perdagangan Selasa lalu bursa Asia juga menghijau, hanya IHSG yang berakhir di zona merah. Maka sudah saatnya IHSG hari ini bangkit, apalagi Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia juga kembali menguat pada perdagangan Rabu.

Tidak hanya itu, bursa saham Eropa juga kompak membukukan penguatan dua hari beruntun. Bisa dikatakan bursa saham global sudah menghijau dua hari terakhir, dan saatnya bagi IHSG mengejar ketertinggalan.

Pendemi Covid-19 memang sudah memukul perekonomian global, yang membuat bursa saham global berguguran dalam beberapa pekan terakhir sebelum membukukan penguatan dua hari beruntun. Tetapi kini sudah muncul kabar baik. China, negara asal pandemi COVID-19 kini perlahan mulai bangkit setelah penyebaran virus corona berhasil dihentikan.

Komisi Kesehatan Nasional China memang masih melaporkan beberapa kasus COVID-19, tetapi kasus tersebut merupakan penularan dari luar negeri atau imported case. Penularan domestik dilaporkan tidak ada sama sekali.

Lockdown provinsi Hubei pun akhirnya dicabut pada Selasa tengah malam waktu setempat, dan aktivitas warga mulai terlihat sejak Rabu pagi kemarin. Meski demikian, episentrum COVID-19 yakni kota Wuhan masih dikarantina hingga 8 April nanti.



COVID-19 pertama kali muncul di Wuhan pada akhir Desember lalu, dan berhasil dihentikan penyebarannya di China dalam waktu tiga bulan. Kembalinya aktivitas ekonomi China tentunnya menjadi kabar bagus, beberapa tanda sudah menunjukkan roda perekonomian kembali berputar.

Hal tersebut bisa dilihat dari impor batu bara yang sampai di pelabuhan China pada periode 1-23 Maret tercatat sebanyak 24,79 juta ton, lebih tinggi dibandingkan sepanjang Februari yaitu 21,9 juta ton.

Peningkatan impor batu bara memberi gambaran bahwa permintaan energi di China meningkat. Peningkatan permintaan energi adalah pertanda ekonomi yang bergerak maju.

Hal tersebut menjadi bukti awal jika perekonomian akan segera bangkit begitu pandemi COVID-19 berakhir.

Di sisi lain, perekonomian AS juga diprediksi akan segera bangkit oleh mantan Ketua The Fed, Ben Bernanke, meski mengalami resesi yang cukup dalam akibat COVID-19.

"Jika tidak terlalu banyak gangguan yang terjadi pada tenaga kerja, pada dunia usaha selama periode shutdown (lockdown), betapapun lamanya, maka kita akan melihat rebound (perekonomian) yang cukup cepat" kata Bernanke dalam acara "Squawk Box" di CNBC International.

Ia juga mengatakan jika situasi saat ini lebih mirip dengan saat terjadi bencana badai salju yang besar ketimbang Depresi Besar (Great Depression).
"Ini sangat berbeda dengan Depresi Besar. Depresi Besar, sebagai satu hal, berlangsung selama 12 tahun, dan itu terjadi akibat kesalahan manusia: guncangan moneter dan finansial yang menghantam sistem" kata Bernanke.

"Yang terjadi saat ini lebih mirip dengan bencana badai salju besar atau bencana alam lainya daripada Depresi Besar tahun 1930an" tambahnya.

Bernanke merupakan Ketua The Fed periode 2006 hingga 2014, yang sukses membawa ekonomi AS bangkit dari krisis finansial tahun 2008.

Bernanke juga memberikan apresiasi kepada Ketua The Fed saat ini, Jerome 'Jay' Powell, yang bertindak cepat untuk meredam dampak COVID-19 ke perekonomian.

Seperti diketahui sebelumnya, The Fed di bawah Powell telah membabat habis suku bunganya hingga menjadi 0-0,25%, dan mengaktifkan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas. Kebijakan tersebut sama dengan yang diterapkan oleh Bernanke saat menghadapi krisis finansial 2008. Bahkan saat ini lebih agresif lagi mengingat QE yang dilakukan nilainya tidak terbatas.

"Saya pikir The Fed bertindak sangat proaktif dan Jay Powell beserta tim telah berkerja sangat keras melakukan hal tersebut. Mereka telah menunjukkan mereka bisa mengatur sejumlah program yang dapat membantu kita menjaga fungsi ekonomi selama periode shutdown, sehingga ketika pandemi ini dikatakan sudah berakhir... kita akan melihat rebound perekonomian yang lebih bagus" kata Bernanke.

Meski demikian, Bernanke memperingatkan jika tindakan kesehatan tidak dilakukan dengan tepat, dalam artian pandemi COVID-19 gagal diatasi dalam waktu cepat, maka kebijakan The Fed maupun stimulus dari Pemerintah AS tidak akan bekerja dengan baik.


Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) sudah lebih dahulu melonggarkan kebijakan moneter guna meredam dampak COVID-19, meski masih belum seagresif The Fed. 

Pada rapat kebijakan moneter bulan Februari lalu, BI menurunkan suku bunga acuannya (7-Day Reverse Repo Rate) meskipun pandemi COVID-19 belum masuk ke Indonesia. Penurunan suku bunga acuan dilakukan sebagai antisipasi (preemptive) terhadap penyebaran dampak virus Corona. 

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 Februari 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (20/2/2020).

Dengan pemangkasan suku bunga tersebut, diharapkan roda perekonomian dalam negeri lebih terpacu untuk meminimalisir efek pelambatan ekonomi China. BI menilai dampak penyebaran virus Corona bersifat V-Shape, artinya penurunan akan terjadi dengan cepat, tetapi pemulihan juga memakan waktu tidak lama.

Tidak sampai di situ, BI kembali memangkas suku bunga sebesar 25 bps menjadi 4,5% pada pekan lalu. Selain itu, BI kembali perkuat bauran kebijakan dan dukung mitigasi risiko COVID-19 dan dorong pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah RI juga tidak tinggal diam, stimulus fiskal sudah digelontorkan. Pemerintah melakukan relaksasi pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).



Untuk memberikan stimulus ini, pemerintah memperkirakan defisit anggaran 2020 bisa bertambah menjadi sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebelumnya, rencana defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 adalah 1,76% PDB.

"Itu Rp 125 triliun sendiri (tambahan defisit). Belanja tidak direm tapi penerimaan turun. Kita akan lihat APBN memberikan dampak suportif kepada ekonomi hampir 0,8% PDB," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, dalam konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3/2020).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengatakan, ada total sebesar Rp 62,3 triliun dari realokasi anggaran APBN, baik yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) baik di pemerintah pusat dan daerah untuk diprioritaskan seuasi dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sebelumnya, berbagai insentif juga sudah digelontorkan seperti subsidi avtur agar harga tiket pesawat turun, pembebasan pajak hotel dan restoran, tambahan anggaran Bantuan Sosial, serta penambahan jumlah rumah bersubsidi dan menambah anggaran subsidi uang muka.

Selain itu Presiden Jokowi juga mengatakan akan memberikan kelonggaran pembayaran bunga atau angsuran selama 1 tahun bagi tukang ojek, sopir taksi, maupun nelayan yang saat ini memiliki cicilan kredit. 

Adapun khusus pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menegah (UMKM), Jokowi mengatakan bahwa OJK telah memberikan kelonggaran relaksasi kredit untuk nilai kredit di bawah Rp 10 miliar.

"Baik kredit perbankan maupun industri keuangan non bank, penundaan cicilan sampai satu tahun dan penurunan bunga," kata Jokowi.

Dalam waktu dekat, implementasi tambahan bantuan sosial dalam Kartu Sembako selama 6 bulan kepada 200.000 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) pun akan diluncurkan. Tak terkecuali, dengan implementasi Kartu Pra Kerja. 

"Sebentar lagi juga akan kita keluarkan penerima kartu sembako selama 6 bulan ke depan akan ditambah 50 ribu diterima 200 ribu per keluarga penerima manfaat anggaran dianggarkan Rp 4,5 triliun," katanya.

"Akan segera dimulai kartu pra kerja implementasi kartu pra kerja antisipasi para pekerja yang kena Pemutusan Hubungan Kerja, pekerja harian yang kehilangan penghasilan dan pengusaha mikro yang kehilangan omzet, anggaran disiapkan Rp 10 triliun," jelasnya.

Semua kebijakan moneter dan fiskal tersebut dilakukan untuk melindungi perekonomian RI dari guncangan COVID-19. Dan ketika pandemi tersebut berhasil dihentikan, maka perekonomian akan rebound dengan cepat. 

Seperti yang dikatakan oleh Bernanke, kebijakan moneter dan fiskal tidak akan bekerja dengan baik jika pandemi COVID-19 tidak segera dihentikan. Namun setidaknya berbagai upaya sudah dilakukan, ketika pandemi ini berakhir, perekonomian akan berangsur normal kembali. Jadi sudah saatnya kembali optimistis menatap perekonomian RI dan global pada umumnya. Mulai optimisnya pelaku pasar terlihat dari penguatan bursa saham global dalam dua hari beruntun, dan pasar keuangan RI bisa berkaca dari hal tersebut. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Penjualan ritel Inggris (14:00 WIB)
  • Pengumuman suku bunga bank sentral Inggris (19:00 WIB) 
  • Data klaim tunjangan pengangguran AS (pukul 19:30 WIB) 


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Februari 2020 YoY)

2,68%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Februari 2020)

US$ 130,44 miliar




TIM RISET CNBC INDOESIA
(pap) Next Article Jika Rupiah Tembus Rp 17.000/US$, Jangan Samakan dengan 1998

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular