
Newsletter
Apakah Kita Sudah Bisa Berteman Lagi, Mister Market?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
20 March 2020 06:32

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan tanah air memasuki periode yang sangat sulit akibat merebaknya wabah corona (COVID-19) di dunia dan dalam negeri. Hingga kemarin, pasar keuangan RI masih kompak ditutup melemah.
Dari pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup anjlok signifikan hingga 5,2%. Bahkan 37 menit setelah pembukaan perdagangan, IHSG langsung melorot 5% dan membuat perdagangan disetop (trading halt). Dengan begitu, genap sudah IHSG membukukan pelemahan dalam empat hari perdagangan secara beruntun.
Per kemarin (19/3/2020), IHSG berada di level 4.105,42 dan menjadi level terendah sejak 29 Agustus 2020. Hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan, IHSG sudah nyungsep dan sentuh titik terendah dalam hampir 7 tahun terakhir.
Asing tak bosan-bosan keluar dari pasar saham RI. Pada perdagangan kemarin saja, asing mencatatkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 636,25 miliar. Jika dihitung dari awal tahun, total net sell yang dilakukan oleh asing di pasar saham RI sudah mencapai Rp 9,45 triliun.
IHSG saat ini dalam kondisi yang bisa dibilang cedera parah. Baru menginjak bulan ketiga tahun 2020, indeks bursa saham RI telah kehilangan nilai kapitalisasi pasarnya sebesar 34,83% (year to date/ytd).
Rontoknya pasar ekuitas Indonesia sah menempatkan IHSG menjadi runner up indeks pasar saham paling buruk di antara kawannya di Asia. Di posisi pertama dengan kinerja terburuk sejak awal tahun dicatatkan oleh bursa saham Filipina yang membukukan koreksi sejak awal tahun hingga 40% lebih (ytd).
Indonesia dan Filipina memang bukan negara dengan kasus infeksi COVID-19 di Asia Tenggara. Namun tingkat kematian akibat infeksi virus ganas tersebut di kedua negara ini merupakan yang paling tinggi di kawasan ASEAN sampai dengan Rabu (17/3/2020).
Bahkan ketika kemarin, Gubernur Bank Indonesia (BI) mengumumkan kembali pemangkasan suku bunga acuan, pasar benar-benar tak merespons stimulus yang diberikan. Sejak perdagangan dibuka kembali usai trading halt, IHSG masih enggan keluar dari level koreksi 5%. Kemarin, Perry Warjiyo selaku gubernur BI, kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps). Kini BI 7-Day Reverse Repo Rate berada di level 4,75%.
Tekanan yang hebat juga terjadi di pasar obligasi pemerintah RI. Hal ini tercermin dari kenaikan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah Indonesia untuk tenor 5 tahun dan 10 tahun.
Kenaikan yield mengindikasikan bahwa instrumen bersifat utang tersebut sedang mengalami penurunan harga. Lebih lanjut, penurunan harga mengindikasikan adanya tekanan jual.
Pada penutupan perdagangan kemarin, obligasi pemerintah RI tenor 5 tahun dan 10 tahun masing-masing mencatatkan kenaikan yield sebesar 39,4 bps dan 33,1 bps menandai terjadinya koreksi pada harga.
Capital outflows pun tak terelakkan. Per 17 Maret 2020, asing telah kabur dari pasar saham sebesar Rp 9,28 triliun. Sementara dai pasar obligasi, asing telah keluar sebesar Rp 78,76 triliun.
Aliran dana asing yang keluar dalam jumlah besar ini turut membebani kinerja mata uang rupiah. Pada penutupan perdagangan di pasar spot kemarin, nilai tukar rupiah dibanderol sebesar Rp 15.900 untuk US$ 1.
Artinya rupiah terdepresiasi sebesar 4,61% di hadapan dolar greenback dalam sehari. Level penutupan rupiah kemarin juga menjadi level terlemah rupiah sepanjang sejarah untuk level penutupan.
Miris memang. Namun mau bagaimana lagi, ini adalah realita yang harus dihadapi. Sejak wabah COVID-19 dideklarasikan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pasar keuangan global juga mendapatkan tekanan yang hebat.
Pasar saham global memang tertekan hebat akibat merebaknya pandemi. Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia bergerak dengan volatilitas yang tinggi. Tadi pagi tiga indeks saham utama bursa Paman Sam berhasil melenggang ke zona hijau.
Namun apresiasi yang dicatatkan pada penutupan tadi pagi tidak sebanding dengan koreksi yang terjadi pada periode perdagangan sebelum-sebelumnya. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup naik 188,27 poin atau naik nyaris 1%. S&P 500 terangkat 0,5%.
Sementara itu pada periode yang sama, indeks Nasdaq Composite mengungguli kinerja kawan-kawannya dengan apresiasi sebesar 2,3%. Hal ini didukung oleh kenaikan harga saham-saham teknologi.
Saham Netflix dan Facebook tadi pagi ditutup menguat masing-masing 5,3% dan 4,2%. sementara emiten milik orang terkaya nomor wahid di dunia Jeff Bezoz yakni Amazon, harga sahamnya terangkat 2,8%.
Sebenarnya pada awal perdagangan pasar saham AS sempat terkoreksi. Dow Jones sempat tergelincir 721 poin atau anjlok lebih dari 3% dan S&P 500 juga terkoreksi lebih dari 3%. Namun akhirnya berhasil ditutup naik pada akhir perdagangan.
“Hari ini adalah harinya para trader” kata Christian Fromhertz, CEO Tribecca Trade Group. “Ini bukanlah hari-hari perdagangan yang saya sukai, tapi pergerakan harian yang terjadi memang cukup gila” tambahnya, melansir CNBC International.
Industri yang juga bergerak di zona hijau pada perdagangan kemarin waktu AS adalah energi. Sektor ini di S&P 500 ditutup naik 6%. Beberapa perusahaan besar minyak AS seperti Diamondback Energy dan Apache bahkan naik lebih dari 11% akibat kenaikan signifikan pada harga minyak mentah kontrak West Texas Intermediate.
Walau kenaikannya tak banyak, apresiasi yang terjadi berhasil membuat Dow Jones kembali ke level 20.000 setelah sehari sebelumnya terkoreksi 6,3% dan keluar dari level psikologi tersebut menandai kali pertama berada di level terendah sejak Februari tiga tahun lalu.
Terlihat jelas bahwa Wall Street berayun dengan volatilitas tinggi akibat merebaknya COVID-19. Indeks S&P 500 telah berayun lebih dari 4% dalam delapan kali sesi perdagangan terakhir hingga kamis kemarin.
Wall Street memang sudah anjlok dalam. Namun tak bisa naik banyak karena kasus infeksi COVID-19 makin merebak di AS. Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan total kasus infeksi di AS per 20 Maret 2020 pukul 05.05 WIB mencapai angka 13.159 dengan total kematian mencapai 176 orang.
Wabah ini terus merebak dan tidak hanya menimbulkan ancaman dari sisi kesehatan saja. Namun COVID-19 juga menjadi ancaman terbesar bagi perekonomian global yang ditakutkan membawa perekonomian jatuh ke dalam jurang resesi. Hari ini adalah hari terakhir perdagangan pekan ini. Untuk itu ada beberapa sentimen yang perlu dicermati baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Pertama, Wall Street memang ditutup menguat pagi tadi.
Namun usai ditutup menguat, indeks futures Dow Jones malah turun 300 poin. Hal ini mengindikasikan bahwa penguatan Wall Street yang terjadi, masih dibayangi oleh kemungkinan volatilitas yang tinggi.
Volatilitas pasar saham AS dan dunia yang tinggi tak terlepas dari adanya pandemi wabah COVID-19. Sejak dideklarasikan oleh WHO sebagai pandemi, bursa saham global rontok terkena tekanan jual yang masif. Oleh karena itu perkembangan kasus infeksi COVID-19 baik secara global maupun lokal perlu menjadi perhatian utama.
Mengacu pada data kompilasi John Hopkins University CSSE, jumlah kasus infeksi COVID-19 secara global per hari ini pukul 05.05 WIB sudah mencapai 242 ribu lebih kasus. Lonjakan kasus baru kembali terjadi di luar China.
Jika dibandingkan dengan jumlah kasus kemarin, artinya ada penambahan kasus baru sebanyak 27.200 dalam sehari, atau naik 20% dari hari sebelumnya.
Lonjakan jumlah kasus yang terjadi secara global ini mengindikasikan adanya risiko yang besar bagi kesehatan, pasar keuangan maupun perekonomian global mengingat wabah ini sudah menjangkiti lebih dari 80% negara di dunia.
Jumlah kasus di luar China pun kini sudah dua kali lipat dari total kasus di China sebagai tempat yang diyakini sebagai asal mula virus merebak.
Beralih ke dalam negeri, sebanyak 82 kasus baru infeksi COVID-19 dilaporkan di Indonesia kemarin. Artinya total kasus di Indonesia kini sudah mencapai 309 orang. Sebanyak 25 orang dinyatakan meninggal dunia karena infeksi virus ganas ini dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kematian tertinggi di dunia.
Jumlah kasus masih berpotensi terus bertambah, baik secara global maupun lokal. Hal ini jelas bukan kabar yang baik untuk pasar hari ini. Bagaimanapun juga COVID-19 ini merupakan ancaman terbesar bagi perekonomian untuk saat ini.
Akibat merebaknya COVID-19, OECD merevisi turun perkiraan ekonomi global untuk tahun 2020 menjadi 2,4% dari sebelumnya 2,9% atau turun 50 bps. Organisasi tersebut juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dalam negeri sebesar 4,8% tahun ini.
Sementara itu, kemarin dalam konferensi persnya, BI juga merevisi turun perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sebelumnya 5-5,4% menjadi 4,2-4,6% atau turun 80 bps akibat adanya COVID-19.
Sebenarnya amunisi untuk meredam dampak COVID-19 sudah dipersiapkan oleh berbagai negara mulai dari AS hingga Indonesia. Baik itu stimulus fiskal yang berupa transfer uang tunai sebesar US$ 1.200 per orang di AS hingga paket stimulus ekonomi jilid III di Indonesia.
Bank sentral pun tak mau ketinggalan berpartisipasi untuk memberikan stimulus Mulai dari The Fed yang pangkas suku bunga acuan hingga 100 bps dan mulai melakukan program quantitative easing (QE).
Langkah yang serupa juga dilakukan oleh bank sentral Eropa (ECB) dengan melakukan program pembelian aset keuangan (QE) sebesar lebih dari EUR 750 miliar, Bank of England yang kembali pangkas suku bunga acuan hingga menjadi 0,1% dan terakhir BI yang menurunkan BI 7-DRRR menjadi 4,5%.
Namun pasar masih belum benar-benar merespons stimulus tersebut dengan nada yang positif. Bagaimanapun juga potensi pertambahan jumlah kasus yang masih akan terjadi menjadi risiko besar yang dilihat oleh pasar. Apa yang ingin pasar dengar sekarang adalah penurunan jumlah kasus infeksi COVID-19. Namun untuk hal ini agaknya susah. Jika berkaca dari China, penurunan jumlah kasus yang terjadi terbukti membuat pasar saham China saat ini menjadi yang terbaik di dunia walaupun masih mengalami tekanan.
Usai COVID-19 resmi dinyatakan sebagai pandemi, pasar memang porak-poranda. Aset-aset safe haven seperti emas dan obligasi pemerintah AS dilikuidasi untuk menutup margin calls dan mengimbangi kerugian dari investasi lainnya.
Kala harga emas turun dan yield obligasi pemerintah AS naik, indeks dolar yang mengukur keperkasaan greenback di hadapan enam mata uang lain justru mengalami peningkatan. Pasar sekarang memang sedang menghindari aset-aset berisiko (risk off) dan lebih memilih cash. Untuk sementara ini sambil wait and see, cash kembali menjadi aset primadona.
Sentimen terakhir yang juga turut berperan menggerakkan pasar hari ini adalah kenaikan harga minyak yang terjadi kemarin. Minyak mentah kontrak berjangka WTI melonjak lebih dari 20% dalam sehari, sementara Brent juga melesat tetapi lebih rendah dari WTI dengan penguatan 14%.
Sebenarnya penguatan harga minyak ini belum mencerminkan perbaikan dari sisi fundamentalnya mengingat ada risiko penurunan permintaan akibat COVID-19 dan potensi banjirnya pasokan di pasar akibat gagalnya OPEC gagal capai kata sepakat dan perang harga minyak antara Arab dan Rusia.
Lonjakan tajam harga minyak yang terjadi saat ini lebih mencerminkan bahwa pasar sedang bergerak dengan volatilitas yang tinggi.
Well, amunisi sudah dikeluarkan oleh pemerintah maupun otoritas moneter global. Namun, COVID-19 masih terus merebak dan menyebar luas. Pasar masih berpotensi terus dibayangi dengan volatilitas yang tinggi selagi musuh tak kasat mata masih belum dapat dijinakkan dan tampaknya hubungan dengan Mr. Market masih akan complicated Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Penetapan Loan Prime Rate tenor 1 dan 5 tahun oleh PBoC (08.30 WIB)
2. Rilis data penjualan rumah di AS bulan Februari (21.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg) Next Article Trump Keluarkan 'Amunisi' Lawan COVID-19, IHSG Bisa Rebound?
Dari pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup anjlok signifikan hingga 5,2%. Bahkan 37 menit setelah pembukaan perdagangan, IHSG langsung melorot 5% dan membuat perdagangan disetop (trading halt). Dengan begitu, genap sudah IHSG membukukan pelemahan dalam empat hari perdagangan secara beruntun.
Per kemarin (19/3/2020), IHSG berada di level 4.105,42 dan menjadi level terendah sejak 29 Agustus 2020. Hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan, IHSG sudah nyungsep dan sentuh titik terendah dalam hampir 7 tahun terakhir.
Asing tak bosan-bosan keluar dari pasar saham RI. Pada perdagangan kemarin saja, asing mencatatkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 636,25 miliar. Jika dihitung dari awal tahun, total net sell yang dilakukan oleh asing di pasar saham RI sudah mencapai Rp 9,45 triliun.
IHSG saat ini dalam kondisi yang bisa dibilang cedera parah. Baru menginjak bulan ketiga tahun 2020, indeks bursa saham RI telah kehilangan nilai kapitalisasi pasarnya sebesar 34,83% (year to date/ytd).
Rontoknya pasar ekuitas Indonesia sah menempatkan IHSG menjadi runner up indeks pasar saham paling buruk di antara kawannya di Asia. Di posisi pertama dengan kinerja terburuk sejak awal tahun dicatatkan oleh bursa saham Filipina yang membukukan koreksi sejak awal tahun hingga 40% lebih (ytd).
Indonesia dan Filipina memang bukan negara dengan kasus infeksi COVID-19 di Asia Tenggara. Namun tingkat kematian akibat infeksi virus ganas tersebut di kedua negara ini merupakan yang paling tinggi di kawasan ASEAN sampai dengan Rabu (17/3/2020).
Bahkan ketika kemarin, Gubernur Bank Indonesia (BI) mengumumkan kembali pemangkasan suku bunga acuan, pasar benar-benar tak merespons stimulus yang diberikan. Sejak perdagangan dibuka kembali usai trading halt, IHSG masih enggan keluar dari level koreksi 5%. Kemarin, Perry Warjiyo selaku gubernur BI, kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps). Kini BI 7-Day Reverse Repo Rate berada di level 4,75%.
Tekanan yang hebat juga terjadi di pasar obligasi pemerintah RI. Hal ini tercermin dari kenaikan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah Indonesia untuk tenor 5 tahun dan 10 tahun.
Kenaikan yield mengindikasikan bahwa instrumen bersifat utang tersebut sedang mengalami penurunan harga. Lebih lanjut, penurunan harga mengindikasikan adanya tekanan jual.
Pada penutupan perdagangan kemarin, obligasi pemerintah RI tenor 5 tahun dan 10 tahun masing-masing mencatatkan kenaikan yield sebesar 39,4 bps dan 33,1 bps menandai terjadinya koreksi pada harga.
Capital outflows pun tak terelakkan. Per 17 Maret 2020, asing telah kabur dari pasar saham sebesar Rp 9,28 triliun. Sementara dai pasar obligasi, asing telah keluar sebesar Rp 78,76 triliun.
Aliran dana asing yang keluar dalam jumlah besar ini turut membebani kinerja mata uang rupiah. Pada penutupan perdagangan di pasar spot kemarin, nilai tukar rupiah dibanderol sebesar Rp 15.900 untuk US$ 1.
Artinya rupiah terdepresiasi sebesar 4,61% di hadapan dolar greenback dalam sehari. Level penutupan rupiah kemarin juga menjadi level terlemah rupiah sepanjang sejarah untuk level penutupan.
Miris memang. Namun mau bagaimana lagi, ini adalah realita yang harus dihadapi. Sejak wabah COVID-19 dideklarasikan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pasar keuangan global juga mendapatkan tekanan yang hebat.
Pasar saham global memang tertekan hebat akibat merebaknya pandemi. Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia bergerak dengan volatilitas yang tinggi. Tadi pagi tiga indeks saham utama bursa Paman Sam berhasil melenggang ke zona hijau.
Namun apresiasi yang dicatatkan pada penutupan tadi pagi tidak sebanding dengan koreksi yang terjadi pada periode perdagangan sebelum-sebelumnya. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup naik 188,27 poin atau naik nyaris 1%. S&P 500 terangkat 0,5%.
Sementara itu pada periode yang sama, indeks Nasdaq Composite mengungguli kinerja kawan-kawannya dengan apresiasi sebesar 2,3%. Hal ini didukung oleh kenaikan harga saham-saham teknologi.
Saham Netflix dan Facebook tadi pagi ditutup menguat masing-masing 5,3% dan 4,2%. sementara emiten milik orang terkaya nomor wahid di dunia Jeff Bezoz yakni Amazon, harga sahamnya terangkat 2,8%.
Sebenarnya pada awal perdagangan pasar saham AS sempat terkoreksi. Dow Jones sempat tergelincir 721 poin atau anjlok lebih dari 3% dan S&P 500 juga terkoreksi lebih dari 3%. Namun akhirnya berhasil ditutup naik pada akhir perdagangan.
“Hari ini adalah harinya para trader” kata Christian Fromhertz, CEO Tribecca Trade Group. “Ini bukanlah hari-hari perdagangan yang saya sukai, tapi pergerakan harian yang terjadi memang cukup gila” tambahnya, melansir CNBC International.
Industri yang juga bergerak di zona hijau pada perdagangan kemarin waktu AS adalah energi. Sektor ini di S&P 500 ditutup naik 6%. Beberapa perusahaan besar minyak AS seperti Diamondback Energy dan Apache bahkan naik lebih dari 11% akibat kenaikan signifikan pada harga minyak mentah kontrak West Texas Intermediate.
Walau kenaikannya tak banyak, apresiasi yang terjadi berhasil membuat Dow Jones kembali ke level 20.000 setelah sehari sebelumnya terkoreksi 6,3% dan keluar dari level psikologi tersebut menandai kali pertama berada di level terendah sejak Februari tiga tahun lalu.
Terlihat jelas bahwa Wall Street berayun dengan volatilitas tinggi akibat merebaknya COVID-19. Indeks S&P 500 telah berayun lebih dari 4% dalam delapan kali sesi perdagangan terakhir hingga kamis kemarin.
Wall Street memang sudah anjlok dalam. Namun tak bisa naik banyak karena kasus infeksi COVID-19 makin merebak di AS. Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan total kasus infeksi di AS per 20 Maret 2020 pukul 05.05 WIB mencapai angka 13.159 dengan total kematian mencapai 176 orang.
Wabah ini terus merebak dan tidak hanya menimbulkan ancaman dari sisi kesehatan saja. Namun COVID-19 juga menjadi ancaman terbesar bagi perekonomian global yang ditakutkan membawa perekonomian jatuh ke dalam jurang resesi. Hari ini adalah hari terakhir perdagangan pekan ini. Untuk itu ada beberapa sentimen yang perlu dicermati baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Pertama, Wall Street memang ditutup menguat pagi tadi.
Namun usai ditutup menguat, indeks futures Dow Jones malah turun 300 poin. Hal ini mengindikasikan bahwa penguatan Wall Street yang terjadi, masih dibayangi oleh kemungkinan volatilitas yang tinggi.
Volatilitas pasar saham AS dan dunia yang tinggi tak terlepas dari adanya pandemi wabah COVID-19. Sejak dideklarasikan oleh WHO sebagai pandemi, bursa saham global rontok terkena tekanan jual yang masif. Oleh karena itu perkembangan kasus infeksi COVID-19 baik secara global maupun lokal perlu menjadi perhatian utama.
Mengacu pada data kompilasi John Hopkins University CSSE, jumlah kasus infeksi COVID-19 secara global per hari ini pukul 05.05 WIB sudah mencapai 242 ribu lebih kasus. Lonjakan kasus baru kembali terjadi di luar China.
Jika dibandingkan dengan jumlah kasus kemarin, artinya ada penambahan kasus baru sebanyak 27.200 dalam sehari, atau naik 20% dari hari sebelumnya.
Lonjakan jumlah kasus yang terjadi secara global ini mengindikasikan adanya risiko yang besar bagi kesehatan, pasar keuangan maupun perekonomian global mengingat wabah ini sudah menjangkiti lebih dari 80% negara di dunia.
Jumlah kasus di luar China pun kini sudah dua kali lipat dari total kasus di China sebagai tempat yang diyakini sebagai asal mula virus merebak.
Beralih ke dalam negeri, sebanyak 82 kasus baru infeksi COVID-19 dilaporkan di Indonesia kemarin. Artinya total kasus di Indonesia kini sudah mencapai 309 orang. Sebanyak 25 orang dinyatakan meninggal dunia karena infeksi virus ganas ini dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kematian tertinggi di dunia.
Jumlah kasus masih berpotensi terus bertambah, baik secara global maupun lokal. Hal ini jelas bukan kabar yang baik untuk pasar hari ini. Bagaimanapun juga COVID-19 ini merupakan ancaman terbesar bagi perekonomian untuk saat ini.
Akibat merebaknya COVID-19, OECD merevisi turun perkiraan ekonomi global untuk tahun 2020 menjadi 2,4% dari sebelumnya 2,9% atau turun 50 bps. Organisasi tersebut juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dalam negeri sebesar 4,8% tahun ini.
Sementara itu, kemarin dalam konferensi persnya, BI juga merevisi turun perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sebelumnya 5-5,4% menjadi 4,2-4,6% atau turun 80 bps akibat adanya COVID-19.
Sebenarnya amunisi untuk meredam dampak COVID-19 sudah dipersiapkan oleh berbagai negara mulai dari AS hingga Indonesia. Baik itu stimulus fiskal yang berupa transfer uang tunai sebesar US$ 1.200 per orang di AS hingga paket stimulus ekonomi jilid III di Indonesia.
Bank sentral pun tak mau ketinggalan berpartisipasi untuk memberikan stimulus Mulai dari The Fed yang pangkas suku bunga acuan hingga 100 bps dan mulai melakukan program quantitative easing (QE).
Langkah yang serupa juga dilakukan oleh bank sentral Eropa (ECB) dengan melakukan program pembelian aset keuangan (QE) sebesar lebih dari EUR 750 miliar, Bank of England yang kembali pangkas suku bunga acuan hingga menjadi 0,1% dan terakhir BI yang menurunkan BI 7-DRRR menjadi 4,5%.
Namun pasar masih belum benar-benar merespons stimulus tersebut dengan nada yang positif. Bagaimanapun juga potensi pertambahan jumlah kasus yang masih akan terjadi menjadi risiko besar yang dilihat oleh pasar. Apa yang ingin pasar dengar sekarang adalah penurunan jumlah kasus infeksi COVID-19. Namun untuk hal ini agaknya susah. Jika berkaca dari China, penurunan jumlah kasus yang terjadi terbukti membuat pasar saham China saat ini menjadi yang terbaik di dunia walaupun masih mengalami tekanan.
Usai COVID-19 resmi dinyatakan sebagai pandemi, pasar memang porak-poranda. Aset-aset safe haven seperti emas dan obligasi pemerintah AS dilikuidasi untuk menutup margin calls dan mengimbangi kerugian dari investasi lainnya.
Kala harga emas turun dan yield obligasi pemerintah AS naik, indeks dolar yang mengukur keperkasaan greenback di hadapan enam mata uang lain justru mengalami peningkatan. Pasar sekarang memang sedang menghindari aset-aset berisiko (risk off) dan lebih memilih cash. Untuk sementara ini sambil wait and see, cash kembali menjadi aset primadona.
Sentimen terakhir yang juga turut berperan menggerakkan pasar hari ini adalah kenaikan harga minyak yang terjadi kemarin. Minyak mentah kontrak berjangka WTI melonjak lebih dari 20% dalam sehari, sementara Brent juga melesat tetapi lebih rendah dari WTI dengan penguatan 14%.
Sebenarnya penguatan harga minyak ini belum mencerminkan perbaikan dari sisi fundamentalnya mengingat ada risiko penurunan permintaan akibat COVID-19 dan potensi banjirnya pasokan di pasar akibat gagalnya OPEC gagal capai kata sepakat dan perang harga minyak antara Arab dan Rusia.
Lonjakan tajam harga minyak yang terjadi saat ini lebih mencerminkan bahwa pasar sedang bergerak dengan volatilitas yang tinggi.
Well, amunisi sudah dikeluarkan oleh pemerintah maupun otoritas moneter global. Namun, COVID-19 masih terus merebak dan menyebar luas. Pasar masih berpotensi terus dibayangi dengan volatilitas yang tinggi selagi musuh tak kasat mata masih belum dapat dijinakkan dan tampaknya hubungan dengan Mr. Market masih akan complicated Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Penetapan Loan Prime Rate tenor 1 dan 5 tahun oleh PBoC (08.30 WIB)
2. Rilis data penjualan rumah di AS bulan Februari (21.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Februari 2020 YoY) | 2,68% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020) | 4,5% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -1,76% PDB |
Transaksi berjalan (2019) | -2,72% PDB |
Cadangan devisa (Februari 2020) | US$ 130,44 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg) Next Article Trump Keluarkan 'Amunisi' Lawan COVID-19, IHSG Bisa Rebound?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular