
Newsletter
Vivere Pericoloso! Hope for The Best, Prepare for The Worst
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
17 March 2020 06:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin (16/3/2020) pasar keuangan tanah air kompak melemah, padahal berbagai daya upaya sudah dikerahkan agar meredam kepanikan yang ada. Namun COVID-19 memang terlampau sakti dan sukses buat pasar keuangan dalam negeri babak belur.
Dari pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin ditutup anjlok 4,42%. Hampir saja IHSG terkena trading halt karena nyaris jatuh 5%. Hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan IHSG sudah melorot lebih dari 25%. Penyebabnya ya masih sama, apalagi kalau bukan wabah Corona (COVID-19).
Pasar memang lagi kacau balau. Berbagai upaya untuk menenangkan investor seolah tak digubris. Tekanan jual masih saja menghantui bursa saham tanah air. Sejak awal tahun asing mencatatkan aksi jual bersih sebesar Rp 7,55 triliun.
Dalam suasana tak kondusif seperti ini, banyak saham-saham berfundamental bagus yang diobral murah di pasar. Merespons hal tersebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membolehkan emiten untuk melakukan buyback tanpa perlu mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Untuk menahan gempuran yang terus-terusan terjadi, otoritas bursa juga mengambil berbagai langkah mulai dari menghentikan transaksi short selling, memberlakukan protokol trading halt jika indeks anjlok sampai 5%, hingga pemberlakuan autoreject asimetris untuk saham-saham yang terkoreksi 7%.
Di sisi lain stimulus moneter berupa penurunan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) dan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) baik rupiah maupun valas hingga stimulus fiskal yang mencakup relaksasi pajak dan berbagai insentif lain yang diberikan pemerintah seolah tak mampu membuat pasar menjadi lebih tenang.
Bahkan rilis data neraca dagang RI yang bagus di bulan Februari juga tak cukup kuat mengangkat pasar. Kemarin Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca dagang RI untuk bulan Januari surplus US$ 2,34 miliar dan menjadi yang tertinggi sejak 2011.
Akhirnya indeks saham tanah air harus rela ditutup tenggelam di zona merah kemarin, bahkan ketika bank sentral AS kembali memangkas suku bunga acuan secara agresif untuk memberikan stimulus kepada perekonomian di tengah pandemi. Namun kenyataannya pasar masih terus tertekan dan bergerak dengan volatilitas tinggi.
Senasib dengan pasar saham, di pasar obligasi, surat utang pemerintah juga mengalami tekanan jual. Hal ini terlihat dari penurunan imbal hasilnya (yield). Yield dan harga pada obligasi memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Kalau harga naik maka yield turun, begitu juga sebaliknya.
Untuk surat utang pemerintah RI yang bertenor 5 dan 10 tahun kemarin mengalami kenaikan yield masing-masing sebesar 34 dan 2,4 basis poin. Artinya ada penurunan harga. Saat harga sedang turun maka sedang terjadi aksi jual di pasar obligasi.
Akhirnya capital outflow pun tak terelakkan. Bank Indonesia (BI) mencatat hingga 4 Maret 2020, outflow dana asing dari Indonesia mencapai Rp 40,16 triliun. Padahal di akhir Februari outflow hanya tercatat sebesar Rp 30,8 triliun.
Kenaikan signifikan outflow dana asing tersebut diakibatkan oleh semakin meluasnya wabah COVID-19 yang kini resmi menyandang status sebagai pandemi. Hal ini membuat investor khawatir dan lebih memilih menghindari risiko (risk off).
Adanya capital outflow ini juga turut membebani kinerja mata uang rupiah. Pada penutupan perdagangan kemarin, nilai tukar rupiah dihargai Rp 14.900/US$. Nyaris menyentuh level psikologis Rp 15.000/US$.
Namun di pasar Non-Deliverable Forward (NDF) dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) kurs rupiah sudah berada di level Rp 15.000/US$ untuk tenor sepekan dan seterusnya.
Pagi tadi, pasar saham Amerika Serikat (AS) kembali ditutup dengan kebakaran hebat. Semua indeks utama pasar saham New York terbenam di zona merah. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambrol 12,9% dalam sehari. Indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing jatuh 12% dan 12,3%.
Wall Street ditutup jatuh setelah bank sentral AS, The Fed kembali memangkas suku bunga acuan yakni Federal Fund Rates (FFR) sebesar 100 basis poin (bps) ke level 0-0,25%. Suku bunga acuan ini merupakan level yang terendah sejak 2015.
“Tak ada jeda di pasar dengan aksi The Fed kemarin dan COVID-19 yang menjadi topik utama pemberitaan di dunia,” kata Frank Cappelleri, direktur eksekutif Instinet dalam sebuah catatan.
Tak hanya membuat suku bunga acuan menjadi nol persen, The Fed juga memulai program pembelian aset-aset keuangan atau yang dikenal dengan Quantitative Easing (QE). The Fed berencana akan membeli US$ 500 obligasi pemerintah dan US$ 200 miliar efek beragun aset (EBA) properti. Sehingga total suntikan likuiditas di pasar mencapai US$ 700 miliar.
Namun upaya ini malah direspons negatif oleh pasar. Bisa jadi penurunan suku bunga yang agresif ini menunjukkan seberapa besar risiko yang saat ini dihadapi dengan merebaknya wabah COVID-19. Tercatat sudah dua kali The Fed memberikan kejutan bagi pasar. Sebenarnya total pemangkasan suku bunga acuan hingga 150 bps sudah diantisipasi oleh pasar.
Namun penurunannya sangat agresif dan terjadi dalam satu bulan. Secara timing pun keputusan yang diambil oleh Federal Open Market Committee (FOMC) ini benar-benar di luar dugaan.
“Wabah corona telah membahayakan komunitas dan mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai negara” kata The Fed, mengutip CNBC Internasional.
Pandemi COVID-19 memang bukan main-main. Walau angka mortalitasnya lebih rendah dibanding SARS dan MERS, tetapi virus ini menyebar luas dengan sangat cepat. Di AS sudah ada lebih dari 4.000 kasus dilaporkan dan merenggut nyawa 74 orang.
“Sementara berita terus memburuk dan dengan koreksi harga yang terus terjadi seperti yang kami lihat beberapa kali dalam abad ini, hampir mustahil untuk menjaga hal-hal dalam perspektif”
“Kita tak bisa mengelak dari fakta bahwa kita tak hanya berurusan dengan ekonomi saja” tambah Cappelleri, seperti diwartakan CNBC Internasional.
Kejatuhan Wall Street pada perdagangan Senin (16/3/2020) waktu setempat membuat indeks DJIA anjlok 31,7% dari level tertingginya. Di saat yang sama indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite anjlok lebih dari 29% dari rekor tertingginya.
Anjloknya DJIA pagi tadi menandai ‘another black monday’ setelah terjadi market crash pada Senin, 19 Oktober 1987. Dengan pasar yang masih berpotensi besar untuk bergejolak, investor perlu mencermati beberapa sentimen yang akan menjadi penggerak pasar pada perdagangan hari ini. Pertama, investor perlu mencermati performa bursa saham Paman Sam pada perdagangan Senin (16/3/2020) waktu setempat.
Tadi pagi, Wall Street ditutup anjlok signifikan. Tentu hal ini bukan kabar bagus untuk bursa saham kawasan Benua Kuning yang akan buka pada pagi hari ini, termasuk untuk pasar saham tanah air.
Sentimen kedua yang perlu dicermati investor untuk perdagangan hari ini masih terkait dengan COVID-19, terutama fokus pada perkembangan kasus dan respons berbagai negara di dunia dalam menghadapi pandemi yang sekarang menjangkiti lebih dari separuh negara di dunia.
Data kompilasian John Hopkins University CSSE menunjukkan, hingga Selasa (17/3/2020) pukul 04.32 WIB total kasus kumulatif infeksi COVID-19 secara global mencapai 181.200. Jumlah korban meninggal mencapai 7.115.
Untuk pertama kalinya jumlah kasus di luar China, totalnya melampaui total kasus kumulatif di Tiongkok. Di China total kasus mencapai angka 81.000, sementara kasus di luar China mencapai lebih dari 100.000.
Artinya dalam satu hari kasus di luar China bertambah hampir 20.000. Angka yang fantastis tentunya untuk sebuah wabah. Jumlah kasus baru yang dilaporkan di luar China terus bertambah.
Italia saat ini menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak kedua setelah China (27.980 kasus). Saat ini seluruh Italia berada dalam karantina. Perdana Menteri Giuseppe Conte mulai memberlakukan kebijakan lockdown satu negara sejak pekan lalu. Warga Italia tidak diperbolehkan untuk keluar rumah kecuali untuk bekerja atau ada urusan mendesak lainnya.
Negara kawasan Eropa lain yang juga terjangkit COVID-19 dan melaporkan jumlah kasus di atas 1.000 antara lain Spanyol (9.942 kasus), Jerman (7.272 kasus), Perancis (6.650), Swiss (2.200 kasus), Belanda (1.414 kasus), Norwegia (1.333 kasus), Swedia (1.103 kasus), Belgia (1.058 kasus) dan Austria (1.018) kasus. Sementara itu di Inggris sudah mencapai 1.551 kasus.
Untuk mencegah penyebaran virus agar tak semakin meluas, Presiden Komisi Eropa (European Commission) mengajukan proposal untuk melarang turis asing non-esensial (tidak berkepentingan mendesak) masuk ke Eropa selama 30 hari.
“Kita harus mengurangi tekanan yang terjadi pada sistem kesehatan kita” kata Ursula von der Leyen, Presiden Eruopean Commission dalam sebuah video, melansir CNBC International.
Kini usulan tersebut sedang menunggu persetujuan dari masing-masing pemerintah anggota Uni Eropa yang diharapkan mencakup 30 negara dengan harapan Inggris dan Irlandia juga setuju dengan usulan tersebut.
Beberapa jam setelah proposal tersebut diajukan, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengumumkan untuk melarang orang yang tidak berkewarganegaraan Kanada untuk masuk ke negaranya.
“Kita kan menolak orang-orang yang bukan warga negara Kanada untuk masuk ke Kanada” kata Trudeau. Saat ini Perdana Menteri Kanada itu tengah diisolasi setelah istrinya Sophie Gregoire dinyatakan positif terinfeksi COVID-19.
Beralih ke Negeri Paman Sam. Jumlah kasus infeksi COVID-19 di AS juga terus bertambah. Kemarin, Presiden ke-45 AS Donald Trump mengatakan AS diperkirakan mampu mengontrol wabah COVID-19 paling cepat Juli atau Agustus.
Untuk mengurangi potensi penyebaran virus, pemerintahan Trump berencana untuk melakukan karantina pada beberapa tempat yang jadi pusat penyebaran atau ‘hot spots’. Trump untuk sementara ini tak berencana untuk mengkarantina satu negara seperti yang dilakukan di Italia. Kini beralih ke dalam negeri, di Indonesia hingga kemarin jumlah kasus infeksi COVID-19 bertambah 17 sehingga secara kumulatif mencapai 134 kasus. Sejak pertama kali diumumkan pada awal Maret, laju pertambahan kasus COVID-19 per harinya mencapai 32%.
Dari total 134 kasus, lima orang meninggal dunia dan delapan orang dinyatakan sudah sembuh. Jumlah kasus masih mungkin akan terus bertambah. Berdasarkan estimasi Badan Inteligen Negara (BIN), wabah COVID-19 di Indonesia akan mencapai puncaknya saat bulan Ramadhan nanti.
Beberapa kebijakan yang berbau ‘social distancing’ seperti meliburkan tempat sekolah, menutup sementara tempat pariwisata hingga kebijakan bekerja dari rumah bagi para pekerja sudah diterapkan di berbagai daerah seperti DKI Jakarta dan Solo.
Namun terkait kemungkinan langkah lockdown belum ada kepastian. Jika jumlah kasus terus bertambah dengan signifikan, bukan tidak mungkin opsi lockdown akan diambil.
Pandemi COVID-19 memang tak bisa disepelekan. Kurang dari tiga bulan wabah ini sudah menjangkiti lebih dari 100 negara di dunia dan menjadi pandemi. COVID-19 merupakan fenomena di lapangan yang merembet ke sektor keuangan. Ini berbeda dengan krisis 2008 lalu yang murni fenomena keuangan.
COVID-19 membuat prospek perekonomian global yang digadang-gadang akan bangkit di tahun ini kembali menjadi ‘gloomy’. Organisasi Kerja Sama Ekonomi (OECD) merevisi turun pertumbuhan ekonomi global pada Maret 2020 menjadi 2,4% lebih rendah dari 2,9% pada November tahun lalu.
Demi meredam dampak pandemi COVID-19, stimulus baik fiskal maupun moneter siap digelontorkan. Dari sisi moneter, bank-bank sentral sudah menurunkan suku bunga acuan dan sebagian berusaha memompa likuiditas dengan melakukan pembelian terhadap efek-efek atau surat berharga.
Sementara dari sisi fiskal pemerintah di berbagai negara termasuk di Indonesia telah menyiapkan berbagai stimulus agar roda perekonomian tetap bisa bergerak. Stimulus ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat di saat-saat genting seperti sekarang ini.
Sumber : Brown County Democrat, Financial Times, Guardian, Straits Times, CNBC Indonesia Research
Namun insentif dan stimulus yang diberikan masih belum mampu menenangkan apalagi mengangkat pasar. Kepanikan masih sangat terasa di pasar. Pergerakan dengan volatilitas tinggi masih akan berlanjut selagi musuh utama belum dapat dijinakkan (COVID-19).
Kondisi saat ini memang sangat sulit dan bisa dibilang berbahaya, dan satu ungkapan yang tepat menggambarkan kondisi sekarang ini adalah 'vivere pericoloso' atu hidup dalam bahaya.
Ungkapan dalam bahasa Italia tersebut pertama kali dipopulerkan oleh Presiden RI ke-I yakni Ir. Soekarno ketika menyampaikan pidatonya pada ulang tahun RI ke 19 tahun 1964 dengan judul Tahun Vivere Pericoloso.
Ya, kita hidup dalam bahaya saat ini. Ada musuh tak kasat mata yang mengintai, COVID-19 namanya. Ancamannya bukan hanya kesehatan, tapi keuangan juga perekonomian.
Namun bukan berarti kita harus pesimis dan kehilangan harapan. Kita harus tetap menjaga optimisme tetapi juga harus bersiap dengan semua kemungkinan. Bahkan skenario terburuk pun. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data produksi industri Jepang bulan Januari (11.30 WIB)
2. Rilis data penjualan ritel Amerika Serikat bulan Februari (19.30 WIB)
3. Rilis data produksi industri Amerika Serikat bulan Februari (20.15 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
(twg) Next Article Lupakan Joe Biden! Kembali ke Covid-19, Lockdown dan PPKM
Dari pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin ditutup anjlok 4,42%. Hampir saja IHSG terkena trading halt karena nyaris jatuh 5%. Hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan IHSG sudah melorot lebih dari 25%. Penyebabnya ya masih sama, apalagi kalau bukan wabah Corona (COVID-19).
Pasar memang lagi kacau balau. Berbagai upaya untuk menenangkan investor seolah tak digubris. Tekanan jual masih saja menghantui bursa saham tanah air. Sejak awal tahun asing mencatatkan aksi jual bersih sebesar Rp 7,55 triliun.
Dalam suasana tak kondusif seperti ini, banyak saham-saham berfundamental bagus yang diobral murah di pasar. Merespons hal tersebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membolehkan emiten untuk melakukan buyback tanpa perlu mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Untuk menahan gempuran yang terus-terusan terjadi, otoritas bursa juga mengambil berbagai langkah mulai dari menghentikan transaksi short selling, memberlakukan protokol trading halt jika indeks anjlok sampai 5%, hingga pemberlakuan autoreject asimetris untuk saham-saham yang terkoreksi 7%.
Di sisi lain stimulus moneter berupa penurunan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) dan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) baik rupiah maupun valas hingga stimulus fiskal yang mencakup relaksasi pajak dan berbagai insentif lain yang diberikan pemerintah seolah tak mampu membuat pasar menjadi lebih tenang.
Bahkan rilis data neraca dagang RI yang bagus di bulan Februari juga tak cukup kuat mengangkat pasar. Kemarin Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca dagang RI untuk bulan Januari surplus US$ 2,34 miliar dan menjadi yang tertinggi sejak 2011.
Akhirnya indeks saham tanah air harus rela ditutup tenggelam di zona merah kemarin, bahkan ketika bank sentral AS kembali memangkas suku bunga acuan secara agresif untuk memberikan stimulus kepada perekonomian di tengah pandemi. Namun kenyataannya pasar masih terus tertekan dan bergerak dengan volatilitas tinggi.
Senasib dengan pasar saham, di pasar obligasi, surat utang pemerintah juga mengalami tekanan jual. Hal ini terlihat dari penurunan imbal hasilnya (yield). Yield dan harga pada obligasi memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Kalau harga naik maka yield turun, begitu juga sebaliknya.
Untuk surat utang pemerintah RI yang bertenor 5 dan 10 tahun kemarin mengalami kenaikan yield masing-masing sebesar 34 dan 2,4 basis poin. Artinya ada penurunan harga. Saat harga sedang turun maka sedang terjadi aksi jual di pasar obligasi.
Akhirnya capital outflow pun tak terelakkan. Bank Indonesia (BI) mencatat hingga 4 Maret 2020, outflow dana asing dari Indonesia mencapai Rp 40,16 triliun. Padahal di akhir Februari outflow hanya tercatat sebesar Rp 30,8 triliun.
Kenaikan signifikan outflow dana asing tersebut diakibatkan oleh semakin meluasnya wabah COVID-19 yang kini resmi menyandang status sebagai pandemi. Hal ini membuat investor khawatir dan lebih memilih menghindari risiko (risk off).
Adanya capital outflow ini juga turut membebani kinerja mata uang rupiah. Pada penutupan perdagangan kemarin, nilai tukar rupiah dihargai Rp 14.900/US$. Nyaris menyentuh level psikologis Rp 15.000/US$.
Namun di pasar Non-Deliverable Forward (NDF) dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) kurs rupiah sudah berada di level Rp 15.000/US$ untuk tenor sepekan dan seterusnya.
Pagi tadi, pasar saham Amerika Serikat (AS) kembali ditutup dengan kebakaran hebat. Semua indeks utama pasar saham New York terbenam di zona merah. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambrol 12,9% dalam sehari. Indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing jatuh 12% dan 12,3%.
Wall Street ditutup jatuh setelah bank sentral AS, The Fed kembali memangkas suku bunga acuan yakni Federal Fund Rates (FFR) sebesar 100 basis poin (bps) ke level 0-0,25%. Suku bunga acuan ini merupakan level yang terendah sejak 2015.
“Tak ada jeda di pasar dengan aksi The Fed kemarin dan COVID-19 yang menjadi topik utama pemberitaan di dunia,” kata Frank Cappelleri, direktur eksekutif Instinet dalam sebuah catatan.
Tak hanya membuat suku bunga acuan menjadi nol persen, The Fed juga memulai program pembelian aset-aset keuangan atau yang dikenal dengan Quantitative Easing (QE). The Fed berencana akan membeli US$ 500 obligasi pemerintah dan US$ 200 miliar efek beragun aset (EBA) properti. Sehingga total suntikan likuiditas di pasar mencapai US$ 700 miliar.
Namun upaya ini malah direspons negatif oleh pasar. Bisa jadi penurunan suku bunga yang agresif ini menunjukkan seberapa besar risiko yang saat ini dihadapi dengan merebaknya wabah COVID-19. Tercatat sudah dua kali The Fed memberikan kejutan bagi pasar. Sebenarnya total pemangkasan suku bunga acuan hingga 150 bps sudah diantisipasi oleh pasar.
Namun penurunannya sangat agresif dan terjadi dalam satu bulan. Secara timing pun keputusan yang diambil oleh Federal Open Market Committee (FOMC) ini benar-benar di luar dugaan.
“Wabah corona telah membahayakan komunitas dan mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai negara” kata The Fed, mengutip CNBC Internasional.
Pandemi COVID-19 memang bukan main-main. Walau angka mortalitasnya lebih rendah dibanding SARS dan MERS, tetapi virus ini menyebar luas dengan sangat cepat. Di AS sudah ada lebih dari 4.000 kasus dilaporkan dan merenggut nyawa 74 orang.
“Sementara berita terus memburuk dan dengan koreksi harga yang terus terjadi seperti yang kami lihat beberapa kali dalam abad ini, hampir mustahil untuk menjaga hal-hal dalam perspektif”
“Kita tak bisa mengelak dari fakta bahwa kita tak hanya berurusan dengan ekonomi saja” tambah Cappelleri, seperti diwartakan CNBC Internasional.
Kejatuhan Wall Street pada perdagangan Senin (16/3/2020) waktu setempat membuat indeks DJIA anjlok 31,7% dari level tertingginya. Di saat yang sama indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite anjlok lebih dari 29% dari rekor tertingginya.
Anjloknya DJIA pagi tadi menandai ‘another black monday’ setelah terjadi market crash pada Senin, 19 Oktober 1987. Dengan pasar yang masih berpotensi besar untuk bergejolak, investor perlu mencermati beberapa sentimen yang akan menjadi penggerak pasar pada perdagangan hari ini. Pertama, investor perlu mencermati performa bursa saham Paman Sam pada perdagangan Senin (16/3/2020) waktu setempat.
Tadi pagi, Wall Street ditutup anjlok signifikan. Tentu hal ini bukan kabar bagus untuk bursa saham kawasan Benua Kuning yang akan buka pada pagi hari ini, termasuk untuk pasar saham tanah air.
Sentimen kedua yang perlu dicermati investor untuk perdagangan hari ini masih terkait dengan COVID-19, terutama fokus pada perkembangan kasus dan respons berbagai negara di dunia dalam menghadapi pandemi yang sekarang menjangkiti lebih dari separuh negara di dunia.
Data kompilasian John Hopkins University CSSE menunjukkan, hingga Selasa (17/3/2020) pukul 04.32 WIB total kasus kumulatif infeksi COVID-19 secara global mencapai 181.200. Jumlah korban meninggal mencapai 7.115.
Untuk pertama kalinya jumlah kasus di luar China, totalnya melampaui total kasus kumulatif di Tiongkok. Di China total kasus mencapai angka 81.000, sementara kasus di luar China mencapai lebih dari 100.000.
Artinya dalam satu hari kasus di luar China bertambah hampir 20.000. Angka yang fantastis tentunya untuk sebuah wabah. Jumlah kasus baru yang dilaporkan di luar China terus bertambah.
Italia saat ini menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak kedua setelah China (27.980 kasus). Saat ini seluruh Italia berada dalam karantina. Perdana Menteri Giuseppe Conte mulai memberlakukan kebijakan lockdown satu negara sejak pekan lalu. Warga Italia tidak diperbolehkan untuk keluar rumah kecuali untuk bekerja atau ada urusan mendesak lainnya.
Negara kawasan Eropa lain yang juga terjangkit COVID-19 dan melaporkan jumlah kasus di atas 1.000 antara lain Spanyol (9.942 kasus), Jerman (7.272 kasus), Perancis (6.650), Swiss (2.200 kasus), Belanda (1.414 kasus), Norwegia (1.333 kasus), Swedia (1.103 kasus), Belgia (1.058 kasus) dan Austria (1.018) kasus. Sementara itu di Inggris sudah mencapai 1.551 kasus.
Untuk mencegah penyebaran virus agar tak semakin meluas, Presiden Komisi Eropa (European Commission) mengajukan proposal untuk melarang turis asing non-esensial (tidak berkepentingan mendesak) masuk ke Eropa selama 30 hari.
“Kita harus mengurangi tekanan yang terjadi pada sistem kesehatan kita” kata Ursula von der Leyen, Presiden Eruopean Commission dalam sebuah video, melansir CNBC International.
Kini usulan tersebut sedang menunggu persetujuan dari masing-masing pemerintah anggota Uni Eropa yang diharapkan mencakup 30 negara dengan harapan Inggris dan Irlandia juga setuju dengan usulan tersebut.
Beberapa jam setelah proposal tersebut diajukan, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengumumkan untuk melarang orang yang tidak berkewarganegaraan Kanada untuk masuk ke negaranya.
“Kita kan menolak orang-orang yang bukan warga negara Kanada untuk masuk ke Kanada” kata Trudeau. Saat ini Perdana Menteri Kanada itu tengah diisolasi setelah istrinya Sophie Gregoire dinyatakan positif terinfeksi COVID-19.
Beralih ke Negeri Paman Sam. Jumlah kasus infeksi COVID-19 di AS juga terus bertambah. Kemarin, Presiden ke-45 AS Donald Trump mengatakan AS diperkirakan mampu mengontrol wabah COVID-19 paling cepat Juli atau Agustus.
Untuk mengurangi potensi penyebaran virus, pemerintahan Trump berencana untuk melakukan karantina pada beberapa tempat yang jadi pusat penyebaran atau ‘hot spots’. Trump untuk sementara ini tak berencana untuk mengkarantina satu negara seperti yang dilakukan di Italia. Kini beralih ke dalam negeri, di Indonesia hingga kemarin jumlah kasus infeksi COVID-19 bertambah 17 sehingga secara kumulatif mencapai 134 kasus. Sejak pertama kali diumumkan pada awal Maret, laju pertambahan kasus COVID-19 per harinya mencapai 32%.
Dari total 134 kasus, lima orang meninggal dunia dan delapan orang dinyatakan sudah sembuh. Jumlah kasus masih mungkin akan terus bertambah. Berdasarkan estimasi Badan Inteligen Negara (BIN), wabah COVID-19 di Indonesia akan mencapai puncaknya saat bulan Ramadhan nanti.
Beberapa kebijakan yang berbau ‘social distancing’ seperti meliburkan tempat sekolah, menutup sementara tempat pariwisata hingga kebijakan bekerja dari rumah bagi para pekerja sudah diterapkan di berbagai daerah seperti DKI Jakarta dan Solo.
Namun terkait kemungkinan langkah lockdown belum ada kepastian. Jika jumlah kasus terus bertambah dengan signifikan, bukan tidak mungkin opsi lockdown akan diambil.
Pandemi COVID-19 memang tak bisa disepelekan. Kurang dari tiga bulan wabah ini sudah menjangkiti lebih dari 100 negara di dunia dan menjadi pandemi. COVID-19 merupakan fenomena di lapangan yang merembet ke sektor keuangan. Ini berbeda dengan krisis 2008 lalu yang murni fenomena keuangan.
COVID-19 membuat prospek perekonomian global yang digadang-gadang akan bangkit di tahun ini kembali menjadi ‘gloomy’. Organisasi Kerja Sama Ekonomi (OECD) merevisi turun pertumbuhan ekonomi global pada Maret 2020 menjadi 2,4% lebih rendah dari 2,9% pada November tahun lalu.
Demi meredam dampak pandemi COVID-19, stimulus baik fiskal maupun moneter siap digelontorkan. Dari sisi moneter, bank-bank sentral sudah menurunkan suku bunga acuan dan sebagian berusaha memompa likuiditas dengan melakukan pembelian terhadap efek-efek atau surat berharga.
Sementara dari sisi fiskal pemerintah di berbagai negara termasuk di Indonesia telah menyiapkan berbagai stimulus agar roda perekonomian tetap bisa bergerak. Stimulus ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat di saat-saat genting seperti sekarang ini.
Negara | Fiskal | Moneter |
Australia | Rencana paket stimulus ekonomi senilai US$ 17,6 miliar (bantuan tunai US$ 750 untuk ~6 juta warga Australia berpenghasilan rendah, US$ 6,7 miliar untuk gaji pegawai, US$ 4 miliar untuk insentif investasi, US$ 1,2 miliar untuk program magang & US$ 1 miliar untuk sektor pariwisata | Reserves Bank of Australia (RBA) memangkas suku bunga acuan 25 bps ke level terendah 0,5% |
Jepang | Jepang sedang mempersiapkan paket stimulus ekonomi sebesar US$189 miliar untuk diberikan pada rumah tangga serta memberikan subsidi untuk perusahaan di sektor pariwisata yang terdampak COVID-19 | Bank of Japan (BoJ) bersiap untuk membeli US$ 1,88 miliar surat utang pemerintah bertenor 10 tahun dan akan menyuntikkan likuiditas ke pasar senilai JPY 1,5 triliun |
Inggris | Sedang mempersiapkan paket stimulus ekonomi senilai GBP 30 miliar (US$ 39 miliar) dengan alokasi sebesar GBP 7 miliar untuk warga dan sektor bisnis, GBP 5 miliar untuk sektor kesehatan publik dan sisanya dialokasikan untuk pengeluaran pemerintah tahun ini | Bank of England (BoE) memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps ke level 0,25% |
Amerika Serikat | Trump mengusulkan untuk membebaskan Pajak Penghasilan (PPh) atau mengenakan PPh sebesar nol persen | The Federal Reserves memangkas Federal Fund Rates (FFR) 50 bps ke rentang 1-1,25% |
Indonesia | Pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal sebesar Rp 10 triliun (US$ 718 juta) untuk sektor-setor yang terdampak wabah COVID-19. Selain itu pemerintah juga melakukan relaksasi pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). | Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) 25 bps ke level 4,75% dan menurunkan GWM rupiah sebesar 50 bps dan GWM valas menjadi 4% dari DPK untuk bank yang beriorientasi kegiatan ekspor impor |
Namun insentif dan stimulus yang diberikan masih belum mampu menenangkan apalagi mengangkat pasar. Kepanikan masih sangat terasa di pasar. Pergerakan dengan volatilitas tinggi masih akan berlanjut selagi musuh utama belum dapat dijinakkan (COVID-19).
Kondisi saat ini memang sangat sulit dan bisa dibilang berbahaya, dan satu ungkapan yang tepat menggambarkan kondisi sekarang ini adalah 'vivere pericoloso' atu hidup dalam bahaya.
Ungkapan dalam bahasa Italia tersebut pertama kali dipopulerkan oleh Presiden RI ke-I yakni Ir. Soekarno ketika menyampaikan pidatonya pada ulang tahun RI ke 19 tahun 1964 dengan judul Tahun Vivere Pericoloso.
Ya, kita hidup dalam bahaya saat ini. Ada musuh tak kasat mata yang mengintai, COVID-19 namanya. Ancamannya bukan hanya kesehatan, tapi keuangan juga perekonomian.
Namun bukan berarti kita harus pesimis dan kehilangan harapan. Kita harus tetap menjaga optimisme tetapi juga harus bersiap dengan semua kemungkinan. Bahkan skenario terburuk pun. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data produksi industri Jepang bulan Januari (11.30 WIB)
2. Rilis data penjualan ritel Amerika Serikat bulan Februari (19.30 WIB)
3. Rilis data produksi industri Amerika Serikat bulan Februari (20.15 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Februari 2020 YoY) | 2,68% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2020) | 4,75% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -1,76% PDB |
Transaksi berjalan (2019) | -2,72% PDB |
Cadangan devisa (Februari 2020) | US$ 130,44 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg) Next Article Lupakan Joe Biden! Kembali ke Covid-19, Lockdown dan PPKM
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular