Newsletter

Perkasa Dua Hari Beruntun, Hari Ini IHSG Bakal Loyo?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 February 2020 06:22
Perkasa Dua Hari Beruntun, Hari Ini IHSG Bakal Loyo?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan menguat pada perdagangan ketiga di pekan ini, Rabu (5/2/2020).

Pada perdagangan kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 0,95%, imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun turun 5,9 basis poin (bps), sementara rupiah terapresiasi 0,26% di pasar spot melawan dolar AS.


Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Apresiasi IHSG pada perdagangan kemarin menandai apresiasi kedua secara beruntun.

Kinerja IHSG pada perdagangan kemarin senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang kompak melaju di zona hijau. Hingga akhir perdagangan kemarin, indeks Nikkei terapresiasi 1,02%, indeks Shanghai naik 1,25%, indeks Hang Seng menguat 0,42%, indeks Straits Times terkerek 1,38%, dan indeks Kospi bertambah 0,36%.

Bursa saham Benua Kuning mengekor jejak Wall Street yang ditutup menguat pada perdagangan hari Selasa (4/2/2020). Pada penutupan perdagangan hari Selasa, indeks Dow Jones naik 1,44%, indeks S&P 500 menguat 1,5%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 2,1%.


Rilis data ekonomi yang menggembirakan menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham AS. Pada awal pekan ini, Manufacturing PMI AS periode Januari 2020 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 50,9, di atas konsensus yang sebesar 48,5, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.

Ekspansi aktivitas manufaktur AS pada bulan lalu menandai ekspansi pertama dalam enam bulan.

Tanda-tanda pulihnya perekonomian AS praktis menjadi kabar yang menggembirakan sekaligus melegakan bagi pelaku pasar. Pasalnya, The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS pada pekan kemarin memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di rentang 1,5%-1,75%.

Di sepanjang tahun 2019, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.

Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.

Jika tingkat suku bunga acuan kembali dipangkas, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan semakin terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Kini, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed lantas berpotensi untuk semakin menekan laju perekonomian AS. Praktis, rilis data ekonomi yang menggembirakan menjadi sesuatu yang melegakan bagi pelaku pasar.

[Gambas:Video CNBC]



Beralih ke AS, Wall Street mencetak apresiasi pada perdagangan kemarin, menandai apresiasi selama tiga hari beruntun. Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks Dow Jones naik 1,68%, indeks S&P 500 menguat 1,13%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,43%.

Rilis data ekonomi yang menggembirakan masih menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham AS. Seperti yang sudah disebutkan pada halaman pertama, Manufacturing PMI AS periode Januari 2020 versi ISM diumumkan di level 50,9, di atas konsensus yang sebesar 48,5, seperti dilansir dari Forex Factory.

Kemudian, penciptaan lapangan kerja periode Januari 2020 (di luar sektor pertanian) versi Automatic Data Processing (ADP) diumumkan sebanyak 291.000, di atas konsensus yang dihimpun oleh Dow Jones sebanyak 150.000. Penciptaan lapangan kerja tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan capaian bulan Desember yang hanya sebanyak 199.000.

Melansir CNBC International, penciptaan lapangan kerja yang sebanyak 291.000 pada bulan lalu merupakan capaian terbaik sejak Mei 2015.

Lebih lanjut, Services PMI periode Januari 2020 versi ISM diumumkan di level 55,5, di atas konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory.

Rilis data ekonomi yang menggembirakan tersebut memberikan harapan bahwa laju perekonomian AS akan membaik di tahun 2020.

Pada pekan lalu, pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal IV-2019 diumumkan di level 2,1% (QoQ annualized), sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Dow Jones.

Untuk keseluruhan tahun 2019, perekonomian AS hanya tumbuh 2,3%, menandai laju pertumbuhan terlemah dalam tiga tahun. Untuk diketahui, pada tahun 2017 perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, diikuti pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018.

Laju pertumbuhan tersebut juga berada di bawah target yang dipatok oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Pasca resmi memangkas tingkat pajak korporasi dan individu pada tahun 2017, Gedung Putih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi untuk setidaknya berada di level 3%.

Wall Street kembali bisa menepis sentimen negatif yang datang dari meluasnya infeksi virus Corona. Seperti yang diketahui, pada pekan lalu Badan Kesehatan Dunia PBB, WHO, mendeklarasikan kondisi darurat internasional terkait infeksi virus Corona.

"Kekhawatiran terbesar kami adalah potensi penyebaran virus ke negara-negara dengan sistem kesehatan yang lemah," kata Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kamis (30/1/2020), sebagaimana dikutip dari AFP.

Ia menegaskan peningkatan status ini menjadikan penyebaran virus Corona sebagai hal darurat yang perlu diperhatikan masyarakat internasional. Meski begitu, ini bukan berarti WHO tidak percaya kepada kemampuan China dalam menangani penyebaran virus tersebut.

Tetap saja, penyebarannya yang masif menjadi fokus badan dunia ini, apalagi jika masuk ke wilayah yang penanganan kesehatannya jauh di bawah China.

"Kita semua harus bertindak bersama sekarang untuk membatasi penyebaran lebih lanjut ... Kita hanya bisa menghentikannya bersama," tegasnya lagi.

Sebagai catatan, kondisi darurat internasional sudah lima kali dideklarasikan oleh WHO sejak aturannya berlaku pada tahun 2007 silam, yakni untuk flu babi, polio, Zika, Ebola, dan kini virus Corona.

Menjelang akhir pekan kemarin, AS mendeklarasikan kondisi darurat nasional di bidang kesehatan sebagai respons dari terus meluasnya infeksi virus Corona.

Merespons deklarasi darurat nasional oleh pemerintahan Presiden Trump, maskapai-maskapai besar di AS yakni Delta, American, dan United menghentikan seluruh penerbangan yang menghubungkan AS dan China. Pada perdagangan keempat di pekan ini, Kamis (6/2/2020), pelaku pasar patut mencermati beberapa sentimen. Pertama, kinerja Wall Street yang menggembirakan pada perdagangan kemarin.

Sebagai kiblat dari pasar keuangan dunia, apresiasi Wall Street pada perdagangan kemarin tentu berpotensi memantik aksi beli di pasar keuangan Asia pada hari ini.

Sentimen kedua yang perlu dicermati pelaku pasar adalah perkembangan terkait dengan infeksi virus Corona.

Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Dilansir dari halaman resmi Center for Disease Control and Prevention (CDC), hingga kini setidaknya sebanyak 28 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.

China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.

Melansir publikasi dari Johns Hopkins, hingga kini sebanyak 492 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 24.000.

Riset dari Standard & Poor's (S&P) menyebutkan bahwa virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 persentase poin. Jadi, kalau pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di level 6%, maka virus Corona akan memangkasnya menjadi 4,8% saja.

Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.

"Pada tahun 2019, konsumsi menyumbang sekitar 3,5 persentase poin dari pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,1%. Dengan perkiraan konsumsi domestik turun 10%, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berkurang sekitar 1,2 persentase poin," tulis riset S&P.

Meluasnya infeksi virus Corona memang datang di saat yang sangat tidak tepat, yakni kala masyarakat China tengah merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia. Di China, perdagangan di bursa sahamnya diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.

Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.

Pemerintah China sendiri memperkirakan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.

Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.

Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.

Melansir CNBC International, pasca tumbuh 12% pada tahun 2002, industri pariwisata China langsung terkontraksi pada tahun 2003 merespons merebaknya wabah SARS, menandai kontraksi pertama dalam satu dekade. Pemberitaan CNBC International tersebut mengutip publikasi riset dari Eric Lin selaku kepala riset di UBS Securities.

“Valuasi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata terpangkas 20%-50% dari puncaknya dalam periode Januari-Juni 2003,” tulis Lin dalam risetnya, seperti dilansir dari CNBC International.

Berbicara mengenai virus Corona, jika ternyata infeksinya merebak menjadi wabah seperti SARS, dampaknya ke perekonomian China bisa lebih besar. Pasalnya, kini perekonomian China sudah semakin tergantung kepada sektor jasa.

Melansir CNBC International, sektor jasa menyumbang sebesar 59,4% dari total produk domestik bruto (PDB) China pada tahun 2019, sementara pada tahun 2003 kala wabah SARS merambah China kontribusi dari sektor jasa hanyalah sebesar 39%.

Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global. Sentimen ketiga yang perlu dicermati pelaku pasar adalah rilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal IV-2019, sekaligus keseluruhan tahun 2019, oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Angka pertumbuhan ekonomi dirilis kemarin siang oleh BPS.

Sepanjang kuartal IV-2019, Badan Pusat Staitstik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,97% secara tahunan, di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan perekonomian tumbuh mencapai 5,04%.

Untuk keseluruhan tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,02%, di bawah konsensus yang sebesar 5,035%. Pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 merupakan pertumbuhan ekonomi terlambat sejak tahun 2015 silam.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Namun, sejak awal tahun 2019 perekonomian sudah terlihat lesu.

Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.

Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan. Lantas, dari data hingga sembilan bulan pertama tahun 2019 sudah bisa disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2019 tak akan bisa menyamai capaian tahun 2018 yang mencapai 5,17%.

Memasuki tahun 2020, perekonomian terlihat masih lesu. Sepanjang Januari 2020, BPS mencatat inflasi berada di level 0,39% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,68%.

Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,46% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,85%.

Sebagai catatan, dalam beberapa waktu terakhir inflasi Indonesia selalu berada di bawah ekspektasi. Untuk periode Desember 2019 misalnya, BPS mengumumkan terjadi inflasi sebesar 0,34% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan yang juga merupakan inflasi untuk keseluruhan tahun 2019 berada di level 2,72%.

"Dengan inflasi Desember 2019 0,34% maka inflasi 2019 secara keseluruhan 2,72%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS pada awal tahun ini.

Capaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,51%, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,93%.

Sebelumnya lagi pada awal Desember 2019, BPS mengumumkan bahwa sepanjang November 2019 terjadi inflasi sebesar 0,14% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan tercatat di level 3%.

Inflasi pada November 2019 berada di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia. Median dari 12 ekonom yang ikut berpartisipasi dalam pembentukan konsensus kala itu memproyeksikan tingkat inflasi secara bulanan di level 0,2%, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan berada di angka 3,065%.

Rilis angka inflasi yang kembali berada di bawah ekspektasi pada bulan Januari praktis menguatkan pandangan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di level yang rendah.

Pada perdagangan kemarin, rilis angka pertumbuhan ekonomi seakan diabaikan oleh pelaku pasar keuangan Indonesia. Pada hari ini, patut diwaspadai bahwa tekanan jual berpotensi menerpa merespons rilis angka pertumbuhan ekonomi yang jauh dari kata menggembirakan.

Khusus untuk IHSG, seperti yang sudah disebutkan di halaman pertama, apresiasi pada perdagangan kemarin menandai apresiasi selama dua hari beruntun. Jika ditotal, apresiasi IHSG dalam periode dua hari perdagangan tersebut mencapai 1,6%.

Lantas, ada kemungkinan bahwa pelaku pasar saham Tanah Air akan memilih untuk merealisasikan keuntungan yang sudah diraup pada perdagangan hari ini.

Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:

  • Rilis data transaksi berjalan Korea Selatan periode Desember 2019 (06:00 WIB)
  • Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada tanggal 1 Februari 2020 (20:30 WIB)


Berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019)

5,02%

Inflasi (Januari 2020)

2,68% YoY

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2020)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Kuartal III-2019)

-2,66% PDB

Neraca pembayaran (Kuartal III-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (Desember 2019)

US$ 129,18 miliar

 TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank) Next Article Jokowi Siap Umumkan Kabinet, IHSG Akan Tancap Gas?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular