
Sinterklas Resmi Kunjungi Wall Street, IHSG Siap Party?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan menguat pada perdagangan kemarin (26/12/2019).
Pada penutupan perdagangan kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,21%, imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun turun 2 bps, sementara rupiah terapresiasi 0,07% di pasar spot melawan dolar AS.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Pasar keuangan Indonesia sukses menutup hari di zona hijau pasca perdagangan diliburkan dalam dua hari sebelumnya guna memperingati hari raya Natal.
Sentimen positif bagi pasar keuangan Asia datang dari perkembangan positif yang menyelimuti hubungan AS-China di bidang perdagangan.
Seperti yang diketahui, AS dan China sebelumnya telah mengumumkan bahwa mereka berhasil mencapai kesepakatan dagang tahap satu yang sudah begitu dinanti-nantikan pelaku pasar saham dunia.
Dalam wawancara dengan CNBC International, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengungkapkan bahwa dirinya optimistis kesepakatan dagang akan bisa diteken pada bulan Januari.
Kemudian, cuitan Trump kini semakin mempertegas bahwa kesepakatan dagang akan benar-benar bisa diteken. Pada hari Jumat waktu setempat (20/12/2019), Trump memposting sebuah cuitan yang isinya mengatakan bahwa dirinya telah melangsungkan "pembicaraan yang sangat baik" dengan Presiden China Xi Jinping terkait dengan beberapa hal, termasuk kesepakatan dagang kedua negara. Pembicaraan tersebut dilakukan melalui sambungan telepon.
"Telah melangsungkan pembicaraan yang sangat baik dengan Presiden Xi dari China terkait kesepakatan dagang kami yang begitu besar. China telah memulai pembelian produk agrikultur dan produk-produk lainnya secara besar. Formalisasi kesepakatan dagang sedang disiapkan. Juga berbicara mengenai Korea Utara, di mana kami bekerja sama dengan China, & Hong Kong (progres!)," cuit Trump melalui akun Twitter @realDonaldTrump.
[Gambas:Twitter]
Dari kubu Beijing, ada juga perkembangan yang positif. Melansir CNBC International yang mengutip kantor berita Xinhua, Xi mengatakan bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan AS akan menguntungkan kedua belah pihak.
"Kesepakatan dagang tahap satu yang telah dicapai antara AS dan China merupakan sebuah hal yang baik bagi AS, China, dan seluruh dunia," kata Xi, seperti dilansir dari CNBC International.
"Baik pasar [keuangan] AS maupun China, beserta dengan [pasar keuangan] dunia, telah merespons dengan sangat positif hal ini [disepakatinya kesepakatan dagang tahap satu]. AS berniat untuk menjaga komunikasi secara intens dengan China dan berjuang untuk menandatangani dan mengimplementasikannya secepat mungkin."
Sebagai catatan, hingga kini teks kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China memang belum ditandatangani. Menurut Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, kedua negara berencana untuk memformalisasi kesepakatan dagang tahap satu tersebut pada pekan pertama Januari 2020.
Sebelumnya, sempat terdapat kekhawatiran terkait dengan peluang ditekennya kesepakatan dagang tahap satu. Walaupun Trump menyebut bahwa nilai pembelian produk agrikultur oleh China akan mencapai US$ 50 miliar, pihak Beijing yang diwakili oleh Wakil Menteri Pertanian dan Pedesaan Han Jun hanya menyebut bahwa mereka akan meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS secara signifikan, tanpa menyebut nilainya.
Pada hari Selasa (24/12/2019), Trump mengatakan bahwa AS telah kian dekat untuk menuntaskan kesepakatan dagang dengan China. Menurut Trump, nantinya akan ada seremoni penandatanganan kesepakatan dagang bersama dengan Presiden Xi.
Jika kesepakatan dagang tahap satu dengan China benar diteken nantinya, laju perekonomian AS dan China di tahun-tahun mendatang bisa terus dipertahankan di level yang relatif tinggi.
Mengingat posisi AS dan China sebagai dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi, tentu prospek ditekennya kesepakatan dagang yang semakin nyata menjadi sentimen positif bagi pasar saham Asia.
Beralih ke AS, Wall Street sukses mencetak rekor pasca perdagangan kembali dibuka menyusul libur hari raya Natal.
Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks Dow Jones naik 0,37%, indeks S&P 500 menguat 0,51%, sementara indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,78%. Ketiga indeks saham acuan di AS tersebut ditutup di level tertinggi sepanjang masa.
Lantas, lagi-lagi Wall Street mencetak rekor. Sebelumnya pada perdagangan hari Jumat (20/12/2019) dan Senin (23/12/2019), tiga indeks saham acuan di AS tersebut sudah mengukir rekor level penutupan tertinggi sepanjang masa.
Langkah China yang sudah semakin membuka perekonomiannya kepada dunia menjadi salah satu faktor yang memantik aksi beli di bursa saham AS. Melansir Bloomberg, China mengumumkan bahwa pihaknya akan menurunkan bea masuk bagi sebanyak 859 jenis produk impor mulai awal tahun depan.
Kementerian Keuangan China menyebut bahwa pihaknya akan menerapkan bea masuk sementara yang lebih rendah dari bea masuk yang dikenakan terhadap barang-barang dari most-favored-nation (MFN).
Daging babi beku, alpukat beku, hingga beberapa jenis semikonduktor termasuk ke dalam daftar produk yang bea masuknya akan dikurangi oleh Beijing.
Sebagaimana dilansir dari Reuters, bea masuk terhadap daging babi beku akan dipangkas menjadi 8%, dari tarif MFN yang sebesar 12%, sedangkan bea masuk terhadap alpukat beku akan dikurangi menjadi 7%, dari tarif MFN sebesar 30%.
Pada tahun 2018, nilai dari 859 jenis produk impor tersebut adalah sekitar US$ 389 miliar atau sekitar 18% dari total impor China kala itu yang senilai US$ 2,14 triliun.
Penguarangan bea masuk ini bisa dinikmati oleh negara-negara yang menjadi anggota World Trade Organization (WTO). Sementara itu, bagi negara-negara yang memiliki kesepakatan dagang dengan China, bea masuknya bisa menjadi lebih rendah lagi.
Dilansir dari Bloomberg, negara-negara yang memiliki kesepakatan dagang dengan China meliputi Selandia Baru, Peru, Kosta Rika, Swiss, Islandia, Singapura, Australia, Korea Selatan, Georgia, Chili, dan Pakistan.
Sekedar mengingatkan, perang dagang AS dengan China pada awalnya dipicu oleh kekesalan Trump terhadap besarnya defisit neraca perdagangan AS dengan China. Kemudian, komplain AS terkait pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam semakin mengeskalasi perang dagang antar keduanya.
Berbicara mengenai besarnya defisit neraca perdagangan AS dengan China, hal ini salah satunya disebabkan oleh hambatan, baik tarif maupun non-tarif, yang diterapkan China guna melindungi perusahaan-perusahaan domestik.
Kini, langkah China untuk semakin membuka pasar domestiknya dengan menurunkan besaran bea masuk terhadap produk-produk impor tentu diharapkan akan semakin melunakkan AS dalam negosiasi dagang kedua negara.
Langkah China yang sudah semakin membuka perekonomiannya kepada dunia (yang diharapkan akan semakin melunakkan AS dalam negosiasi dagang) sukses mendorong aksi beli di bursa saham AS kala sejatinya rilis data ekonomi sedang tidak mendukung.
Kemarin, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 21 Desember 2019 diumumkan sebanyak 222.000, lebih banyak dari estimasi yang sebanyak 220.000, seperti dilansir dari CNBC International.
Pada perdagangan hari ini, Jumat (27/12/2019), pelaku pasar patut mencermati beberapa sentimen. Pertama, kinerja Wall Street yang menggembirakan pada perdagangan kemarin.
Sebagai kiblat dari pasar keuangan dunia, kinerja Wall Street yang menggembirakan pada perdagangan hari Kamis tentu berpotensi memantik aksi beli di pasar keuangan Asia pada hari ini.
Sentimen kedua yang perlu dicermati pelaku pasar adalah perkembangan terkait hubungan AS-China di bidang perdagangan. Seperti yang sudah disebutkan di halaman pertama,sebelumnya sempat terdapat kekhawatiran terkait dengan peluang ditekennya kesepakatan dagang tahap satu.
Pasalnya, walaupun Trump menyebut bahwa nilai pembelian produk agrikultur oleh China akan mencapai US$ 50 miliar, pihak Beijing yang diwakili oleh Wakil Menteri Pertanian dan Pedesaan Han Jun hanya menyebut bahwa mereka akan meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS secara signifikan, tanpa menyebut nilainya.
Namun, kekhawatiran terkait dengan nilai pembelian produk agrikultur asal AS oleh China tampaknya akan mulai sirna. Melansir pemberitaan Bloomberg, impor China atas kedelai asal AS berada di level tertinggi dalam 20 bulan di bulan November.
Di sepanjang bulan lalu, China diketahui mengimpor kedelai dari AS sebanyak 2,6 juta ton, level tertinggi sejak Maret 2018. Impor kedelai dari AS yang mencapai 2,6 juta ton tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan volume pada bulan Oktober yang hanya 1,1 juta ton.
Peningkatan impor kedelai tersebut dipicu oleh keputusan China yang secara berkala membebaskan perusahaan-perusahaan dari bea masuk tambahan kala membeli kedelai asal AS. Untuk diketahui, sebagai bagian dari perang dagang kedua negara, China sebelumnya telah membebankan bea masuk sebesar 30% terhadap kedelai asal AS.
Tak sampai di situ, China kini dikabarkan sedang melakukan tinjauan untuk membebaskan pengenaan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai US$ 60 miliar. Pemberitaan dari Bloomberg yang mengutip pernyataan dari Otoritas Bea Cukai China meyebut bahwa Beijing akan merilis daftar barang-barang asal AS yang akan dibebaskan dari pengenaan bea masuk tambahan pada waktu yang tepat.
Sentimen ketiga yang perlu dicermati pada perdagangan hari ini adalah terkait periode Santa Claus Rally yang sudah mulai terasa di pasar saham AS.
Sebelumnya pada perdagangan hari Selasa, Wall Street terlihat mulai kehabisan nafas pasca mencetak rekor penutupan tertinggi pada hari Jumat dan Senin.Pada penutupan perdagangan hari Selasa, indeks Dow Jones turun 0,13%, indeks S&P 500 melemah 0,02%, sementara indeks Nasdaq Composite naik 0,08%.
Lantas, Wall Street melemah kala periode Santa Claus rally resmi dimulai. Untuk diketahui, Santa Claus rally merupakan sebuah reli di pasar saham AS yang terjadi pada lima perdagangan terakhir di bulan Desember hingga dua perdagangan pertama di bulan Januari. Perdagangan pada hari selasa menjadi awal dari periode Santa Claus rally tahun 2019.
Melansir CNBC International yang mengutip Stock Trader’s Almanac, secara rata-rata sejak tahun 1950, indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 1,3% pada periode lima perdagangan terakhir di bulan Desember hingga dua perdagangan pertama di bulan Januari.
Dalam 10 tahun terakhir, fenomena Santa Claus rally terbukti masih terus terjadi. Dalam 10 tahun terakhir, berdasarkan data Stock Trader’s Almanac yang kami kutip dari CNBC International, indeks S&P 500 hanya membukukan koreksi sebanyak dua kali selama periode Santa Claus rally, yakni di tahun 2014 dan 2015.
Ada beberapa penjelasan di balik fenomena Santa Claus rally, seperti optimisme meyambut tahun baru dan investasi dari bonus musim liburan misalnya. Selain itu, ada juga teori yang mengatakan bahwa beberapa investor institusi besar yang cenderung lebih pesimistis terhadap pasar saham sedang berlibur pada periode ini, sehingga pasar didominasi oleh investor ritel yang cenderung lebih optimistis.
Walaupun absen di hari pertama, fenomena Santa Claus rally kini sudah mulai terasa dengan apresiasi Wall Street pada perdagangan kemarin.
Jika Wall Street terus mencetak apresiasi di penghujung tahun 2019, tentu pasar saham keuangan tanah air berpotensi ikut terkerek naik, mengingat Wall Street merupakan kiblat dari pasar keuangan dunia.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
- Rilis indeks keyakinan konsumen Korea Selatan periode Desember 2019 (04:00 WIB)
- Rilis tingkat pengangguran Jepang periode November 2019 (06:30 WIB)
- Rilis pertumbuhan penjualan barang-barang ritel Jepang periode November 2019 (06:50 WIB)
- Rilis pembacaan awal atas pertumbuhan produksi industri Jepang periode November 2019 (06:50 WIB)
- Rilis pertumbuhan laba bersih perusahaan-perusahaan industri China periode Januari-November 2019 (08:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019) | 5,02% YoY |
Inflasi (November 2019) | 3% YoY |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Desember 2019) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Kuartal III-2019) | -2,66% PDB |
Neraca pembayaran (Kuartal III-2019) | -US$ 46 juta |
Cadangan devisa (November 2019) | US$ 126,6 miliar |
 TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank) Next Article Jokowi Siap Umumkan Kabinet, IHSG Akan Tancap Gas?
