Newsletter

Apa Kabar Window Dressing & Kisah Desember Ceria Hari Ini?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
10 December 2019 06:07
Apa Kabar Window Dressing & Kisah Desember Ceria Hari Ini?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, pasar keuangan dalam negeri diwarnai dengan penguatan harga saham, nilai tukar rupiah serta penurunan imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat terbatas pada perdagangan kemarin (9/12/2019). Beberapa bursa kawasan Benua Kuning lain yang juga ditutup di zona hijau adalah bursa saham China, Jepang dan Korea Selatan. Sementara indeks utama Negeri Singa dan indeks Hong Kong mengalami koreksi.




Beralih ke pasar valas, mata uang Garuda mengalami apresiasi sebesar 0,18% terhadap dolar greenback dan ditutup di level Rp 14.010/US$. Bersama rupiah, nilai tukar negara kawasan Asia yang juga terkerek naik adalah dolar Singapura dan dolar Hong Kong.

Mata uang Asia yang terdepresiasi adalah renmimbi, yen dan won. Jika dibanding dengan lima mata uang negara kawasan Asia lainnya, rupiah mampu keluar sebagai juara pada perdagangan Senin (9/12/2019).



Sementara itu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun mengalami kenaikan. Nilai imbal hasil berbanding terbalik dengan harga surat utang. Artinya harga surat utang Indonesia seri acuan FR0078 mengalami koreksi.

Geliat IHSG memang mulai terasa memasuki hari ke-10 bulan Desember. Bulan ke-12 memang menjadi bulan penuh keberkahan untuk investor saham tanah air. Sejak 2009-2018, IHSG selalu mencatatkan return bulanan yang positif di penghujung tahun. Rerata return bulanan IHSG periode Desember secara historis mencapai 3,08%.

Aksi window dressing yang dilakukan di akhir tahun diharapkan mampu mengerek naik nilai transaksi harian serta performa IHSG. Namun, nilai transaksi harian di bursa masih di bawah rata-rata hari normal akhir-akhir ini.

Terakhir, data otoritas bursa mencatat nilai transaksi saham di BEI pada perdagangan kemarin mencapai Rp 6,395 triliun dengan asing membukukan net sell sebesar Rp 55,21 miliar. Kecilnya nilai transaksi ini dinilai karena investor yang lebih berhati-hati dalam mentransaksikan saham lapis dua maupun lapis tiga.

Selain window dressing arah gerak IHSG masih akan dibayangi oleh sentimen global terkait perang dagang Amerika Serikat dan China. Pasang-surut hubungan keduanya menyisakan ruang ketidakpastian yang berpotensi menahan penguatan indeks bursa dalam negeri. Beralih ke bursa utama AS, tiga indeks utama Wall Street mengalami koreksi pada penutupan perdagangan pagi tadi. Pelemahan yang terjadi mengakhiri periode reli tiga hari beruntun indeks bursa Paman Sam pekan kemarin. 

Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 105,32 poin atau 0,38% menjadi 27.909,74. Sementara itu indeks S&P 500 terpangkas 9,95 poin atau 0,32% menjadi 3.135,96 dan Nasdaq Composite turun 34,70 poin atau 0,4% menjadi 8.621,83.

Pada perdagangan Senin (9/12/2019), fokus utama investor kembali ke negosiasi dagang antara AS dan China mengingat deadline pengenaan tarif impor produk China mulai efektif pada 15 Desember nanti. 

Asisten Menteri Perdagangan China Ren Hongbin mengatakan pada hari Senin bahwa Beijing berharap untuk membuat kesepakatan dengan AS "sesegera mungkin." Komentar Ren muncul setelah data menunjukkan ekspor China turun pada bulan November menandai penurunan empat bulan berturut-turut. 

Larry Kudlow, penasihat ekonomi Gedung Putih, mengatakan kepada CNBC pada hari Jumat bahwa kedua belah pihak semakin "dekat" dengan kesepakatan. Bahkan Larry menyebut lebih dekat dengan kesepakatan dibaning pertengahan November lalu. Namun ia menyarankan agar Trump siap mundur dari perundingan jika kondisi tertentu tidak terpenuhi.

AS dan China telah memberlakukan tarif pada berbagai produk barang impor yang bernilai miliaran dolar sejak awal 2018. Tak dapat dipungkiri dampaknya memang besar. Volume perdagangan terkontraksi dan memburuknya sentimen bisnis dan konsumen.

Tak hanya itu, pertumbuhan ekonomi AS juga mengalami perlambatan. Terakhir pembacaan angka pertumbuhan ekonomi AS triwulan III direvisi naik menjadi 2,1% setelah sebelumnya berada di 1,9%.

Beralih ke kabar korporasi, Sanofi akan mengakuisisi perusahaan bioteknologi Synthorx seharga US$ 2,5 miliar, atau US$ 68 per saham. Harga akuisisi mewakili premi 172% dari harga penutupan Synthorx sebesar US$ 25,03 pada hari Jumat. Kesepakatan itu diharapkan akan selesai pada kuartal pertama tahun depan.

Sementara itu, saham Virgin Galactic melonjak lebih dari 12% setelah seorang analis di Morgan Stanley meningkatkan outlook rating emiten tersebut. Anali Morgan Stanley menyebut potensi perusahaan untuk menjadi disruptor di sektor penerbangan Memasuki perdagangan hari kedua pekan ini, investor perlu mencermati sederet sentimen global maupun domestik. Sentimen pertama datang dari kinerja Wall Street pada penutupan perdagangan pagi tadi. Pelemahan tiga indeks utama Wall Street sebagai kiblat pasar saham dunia tentu membawa kabar kurang mengenakkan bagi bursa Asia termasuk Indonesia pada perdagangan hari ini.

Kedua, pelaku pasar masih perlu mencermati dinamika hubungan AS dan China. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa China berharap dapat mencapai kesepakatan dagang fase-I dengan AS secepatnya.

Sampai saat ini Beijing masih kekeuh meminta AS untuk menghapus bea masuk yang dikenakan atas produk impor dari China senilai US$ 375 miliar. Tak hanya itu, Tiongkok juga meminta AS untuk membatalkan pengenaan tarif terhadap produk China lainnya seperti laptop, hand phone, baju dan mainan senilai US$ 156 miliar yang efektif berlaku 15 Desember nanti.

Sementara itu Presiden AS Donald Trump menuntut China untuk berkomitmen dalam beberapa hal seperti pembelian produk pertanian AS dengan jumlah minimal tertentu, perlindungan hak atas kekayaan intelektual, hingga persoalan devaluasi mata uang. 

Jika keinginan Trump tersebut tak terpenuhi, tak menutup kemungkinan presiden AS ke-45 itu akan meninggalkan ‘meja perundingan’ yang berakibat pada molornya kesepakatan dagang yang telah digaungkan sejak Oktober lalu. Kemungkinan ini didukung dengan rilis data ekonomi AS yang positif berupa penciptaan lapangan pekerjaan di sektor non-pertanian bulan November yang mencapai 266.000. 

Pasang-surut hubungan AS dan China masih menyimpan risiko ketidakpastian sehingga pelaku pasar perlu mengantisipasi segala kemungkinan terkait perkembangan negosiasi dagang antara kedua negara.

Ketiga, kondisi politik Negeri Paman Sam juga harus terus dipantau. Belum usai kisruh dagang AS-China yang berlangsung dalam 17 bulan terakhir, kini Trump tersandung isu pemakzulan.

Setelah ketua DPR AS Nancy Pelosi memberi lampu hijau untuk menyusun pasal pelengseran Trump, dini hari tadi sidang pemakzulan Trump digelar. Seorang pengacara dari Partai Demokrat menyebut Trump sebagai “bahaya yang jelas” karena telah menggunakan kekuasaannya untuk menghalangi investigasi.

Demokrat menduga Trump telah menyalahgunakan kekuasaan dengan memberikan bantuan militer untuk Ukraina yang menghadapi agresi militer Rusia. Harapannya Presiden Ukraina Volodymyr Zelenski dapat melakukan investigasi terhadap mantan wakil Presiden Joe Biden dan anaknya Hunter Biden. Seperti yang diketahui Joe Biden merupakan salah satu pesaing yang kuat dalam pemilu AS tahun depan. Panasnya kancah perpolitikan AS jelang pemilu makin memperkeruh suasana.

Beralih ke sentimen lokal, hari ini data penjualan eceran akan dirilis. Sejauh ini pertumbuhan penjualan ritel terus mencatatkan perlambatan pertumbuhan sejak bulan Mei. Terakhir penjualan ritel bulan September naik minimalis hanya 0,7% secara tahunan (yoy). Penjualan ritel bulan Oktober diprediksi tumbuh di angka 2,9% (yoy) jauh lebih tinggi dibanding bulan sebelumya. Jika penjualan eceran mengalami kenaikan tentu akan menjadi sentimen positif bagi bursa saham tanah air.

Berikut adalah rilis data ekonomi dari berbagai negara dunia yang rilis hari ini dan perlu investor cermati :
• Rilis data inflasi China Q3-2019 (08.30 WIB)
• Rilis data penjualan ritel bulan Oktober Indonesia (15.15 WIB)

Berikut adalah indikator perekonomian nasional :

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (3Q-2019 YoY)

5,02%

Inflasi (November 2019 YoY)

3%

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Oktober 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (3Q-2019)

-2,7% PDB

Neraca pembayaran (3Q-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (November 2019)

US$ 126,6 miliar

 



TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg) Next Article Menanti Angin Sejuk Desember Untuk Bursa Saham Tanah Air

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular